KESENJANGAN
DAN DEVIANT ALA MARX
Karl Marx adalah
seseorang teoritikus yang beraliran makro alias ia selalu memandang masyarakat
seara menyeluruh dan idak terfokus pada individu. Dalam kajian – kajiannya, ia
banyak membahas tentang pertentangan dan perjuangan kelas. Ia juga dikenal
dengan teori dan pemikiran yang radikal dan selalu menyuarakan hal – hal yang
sifatnya revolusioner.
Ia juga membagi
masyarakat industri menjadi dua kelas utama yaitu kelas borjuis yang merupakan
kelas – kelas bagi para pemilik modal dan kelas proletar yang merupakan kelas
bagi para pekerja dan buruh pabrik serta orang – orang yang tidak mempunyai
modal.
Dalam pandangannya
tentang materialisme historis, ia menjelaskan bagaimana sebuah kesenjangan
terbangun dengan sangat struktural dan terjaga. Artinya, kelas pekerja dalam
pandangan marx memang merupakan kelas masyarakat yang selalu mendapat perlakuan
yang tidak adil dan dijauhkan dari kesetaraan dan kesejahteraan. Dan kelas
borjuis adalah kelas yang memiliki segalanya dan bisa mengatur apapun (The Ruling Class) dikarenakan
kepemilikannya atas modal.
Bahkan dalam
bahasannya mengenai alienasi kelas pekerja ia menyatakan bahwa efek produksi
kapitalis itu sangat menghancurkan manusia dan masyarakat. Karena dengan ia
mempekerjakan seseorang yang artinya ia juga telah menguasai orang tersebuat
baik sisi waktu maupun tenaga mereka yang harus mereka jual kepada kapitalis
dan mereka harus tersisih dari kehidupan mereka sendiri (Ritzer,2012:88).
Dalam
pandangannya mengenai Deviant, ia memandang juga bahwa status Deviant atau
Non-Deviant itu selalu ditentukan oleh kaum – kaum yang berada pada tataran The Ruling Class. Artinya menurut Marx
orang – orang yang menjadi Deviant adalah mereka yang tidak sesuai dengan
keinginna dan kebutuhan yang didasarkan pada kebutuhan produksi kapitalis. Jadi
masyarakat kelas pekerja atau proletarian tidak bisa menentukan diri mereka
sendiri untuk tidak deviant atau tidak. Sehingga orang – orang yang hanya bisa
menyokong kepentingan kapitalislah yang dianggap sebagai masyarakat berguna dan
ika tida, maka ia dianggap sebagai orang – orang yang tidak berguna dan
menyimpang atau yang disebut dengan deviant.
CONTOH KASUS
SNMPTN Bukan Untuk Difabel
LBH Jakarta Akan Somasi Mendikbud
Selasa, 11 Maret 2014
Jakarta,
HanTer – Sebanyak 62 perguruan
tinggi negeri (PTN) melarang para penyandang cacat fisik (difabel) untuk
mendaftar sebagai calon mahasiswa baru untuk hampir semua jurusan.
Direktur Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Febi Yonesta, menyatakan, segera melayangkan surat
somasi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, MRPTNI, dan Panitia Pelaksana
SNMPTN 2014.
Pasalnya, tiga
lembaga tersebut yang harus bertanggung jawab atas perlakuan diskriminasi yang
diterima para difabel. Mereka juga mendesak pemerintah menarik aturan tersebut.
Menurut Febi, bila
merujuk pada ratifikasi yang dilakukan Indonesia mengenai Convention on the
Right of Persons with Disabilities (CRPD) melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2011 pada Pasal 24 ayat (1) menyatakan, negara-negara pihak mengakui hak
orang-orang difabel atas pendidikan.
Dalam rangka
memenuhi hak ini tanpa diskriminasi dan berdasarkan kesempatan yang sama.
Negara-negara pihak wajib menjamin sistem pendidikan yang bersifat inklusif
pada setiap tingkatan dan pembelajaran jangka panjang.Sehingga, persyaratan
SNMPTN itu dinilai menyalahi hukum yang menjadi pegangan dunia internasional.
“Kebijakan itu
langkah mundur dan melanggar terhadap begitu banyak prinsip hukum yang telah
disepakati, serta melanggar terhadap prinsip hak asasi manusia yang telah
dijunjung tinggi dunia,” bebernya.
Namun, saat
dikonfirmasi Ketua MRPTNI, Idrus Paturusi, mengaku belum mengetahui
permasalahan tersebut. Menurutnya, para difabel dapat mengikuti seleksi masuk
PTN pada tahun ini.
“Setahu saya tidak ada peraturan
yang melarang difabel untuk ikut,” kata Idrus. (as)
ANALISA
Dari kasus di atas dapat dianalisa dengan pandangan – pandangan dari Marx.
Dalam hal ini Difabel banyak dipandang sebagai Deviant oleh banyak PTN. Hal ini
cisa dikarenakan dikarenakan kekurangan sempurnanya modal yang mereka miliki.
Karena banyak dari para difable juga merupakan masyarakat kelas menengah
kebawah yang tidak mempunyai modal yang berarti juga mereka bukan merupakan The Ruling Class yang membuat mereka
tidak berkuasa untuk menentukan posisi mereka dalam pandangan Marx.
Yang kedua adalah mereka dipandang Deviant karena kekurangan fisik mereka
menyebabkan banyak keterbatasan yang akan mereka alami dalam melakukan kegiatan
– kegiatan sosial mereka. Hal ini dipandang kapitalis sebagai kekurangan yang
dapat menghambat proses borjuasi mereka. Dikarenakan dalam pandangan kapitalis,
keterbatasan akan juga mempengaruhi berapa banyaknya keuntngan yang mereka
miliki. Karena dalam kegiatan belajar mengajar di kampus memang sudah wajar
ketika hasil yang ingin dicapai adalah untuk kepentingan perusahaan yang
notabene memenuhi kebutuhan kelas pekerja.
Artinya mahasiswa dikampus memang sengaja diproduksi utuk menjadi pekerja
ketika mereka keluar dari lingkungan kampus. Hal inilah mungkin yang mendorong
mengapa ada wacana bahwa siswa difable tidak diterima banyak perguruan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer, George. 2012 .Teori Sosiologi
(dari sosiologi klasik sampai perkembangan terakhir Postmodern).
Yoyakarta:Pustaka Pelajar
http://harianterbit.com/2014/03/11/lbh-jakarta-akan-somasi-mendikbud/ Diakses pd Tanggal 18 Maret 2014 Pukul 21.25
Film ini adalah satu
dari sedikit film yang mengangkat sisi kekurangan seseorang dalam hal fisik
(difabel) yang diangkat dengan proporsional dan reaistis erta tidak terkesan eksploitatif
dan menyinggung. Hal ini juga akan sangat bagus jika diguakan sebagai unit
analisa dari kajian tentang devian yang selama ini lekat dan disematkan kepada
mereka yang difabel dan tidak sempurna atau tidak normal.
Film ini menceritakan
bagaimana kehidupan sehari – hari dua orang difabel yang menjalani hidupnya
dengan biasa dan yang lebih menarik lagi adalah dimasukkannya unsur percintaan
yang mereka berdualah sebagai pelaunya. Dua orang difabel yang satu tuna rungu
yang oromatis tuna wicara dan si perempuan tuna netra menjalin sebuah hubungan
percintaan dan menggugah rasa kemanusiaan banyak orang ormal yang selama ini
menganggap bahwa orang dengan kecacata fisik selalu dianggap lemah dan
menyimpang.
Film ini juga
menjelaskan bagaimana ke-devianan yang mereka terima dari masyarakat dalam
setiap kehidupan sosial mereka justru adalah faktor bagaimana mereka saling
menguatkan dan saling mndorong agar merka bisa membuktikan mereka bisa melampaui
apa yang dikira oleh banyak orang normal. Hingga ahrnya si wanita yang tuna
netra mampu mengajari pacarnya yang seorang tuna rungu untuk mengatakan
allahuakbar agar ia mampu menjadi imam karena tuntutan agamanya.
Dalam hal ini dapat
juga dilihat agama juga memposisikan orang dengan kekurangan fisik menjadi kaum
– kaum menyimpang karena agama khususnya islam di indonesia adalah sebuah agama
yang didirikan oleh kaum normal dan semua tatanan juga berlaku untuk kaum
normal.
Hal ini juga akan
menjadi kritikbagi agama sendiri denga kajian tentang budaya maskulin yang sangat
dominan dan jika menghadapi seorang lelaki ang cacat apakah tugas yang tidak
bisa dlakukan suami boleh dilakukan oleh wanita yang dalam kasus ini adalah
imam sholat? Aaukan harus ada perlakuan berbeda bagi para pemeluk agama yang
difabel? Karena agama percaya bahwa tuhan mengetahui segalanya, akan tetapi
semuanya direduksi oleh aktor – aktor agama yang jamak berasal dari kaum normal
dan membuat batas dan kriteria sehingga menjadi batasan juga bagi mereka yang
difabel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar