Rabu, 25 Juni 2014

Response Paper Individu (Rahaninda Putri Assanti Kelompok 6)

Rahaninda Putri Assanti
115120101111002 / Kesenjangan dan Ekslusi Sosial

Kesenjangan, Ekslusi Sosial dan Penyimpangan dalam perspektif modernism Struktural
Fungsional Teori The Normal dan Pathological ”Durkheim”

Pandangan Durkheim terhadap solidaritas sosial erat kaitannya dengan pembagian antara solidaritas mekanik dengan solidaritas organik dimana pada saat itu terjadi pergeseran dari masyarakat mekanik ke arah masyarakat organik pada masyarakat modern sehingga mengakibatkan adanya pembagian kerja. Pembagian kerja inilah yang membuat tersingkirnya beberapa kelompok pada masyarakat yang dikenal dengan ekslusi sosial. Sehingga dalam hal ini, yang tergolong dalam ekslusi sosial adalah kelompok-kelompok didalam masyarakat yang tidak dianggap karena tidak masuk dalam kelompok yang menjadi sasaran target kebijakan pemerintah dan tidak tergabung dalam pembagian kerja tersebut sehingga keberadaan mereka dikesampingkan secara sosial, politik, dan ekonomi seperti gay, difabel, cacat fisik mental, masyarakat korban narkoba, kekerasan dan kenakalan, orang-orang putus asa, orang yang tergabung dalam panti jompo serta kaum marjinal.
Ekslusi sosial kemudian mengancam solidaritas sosial karena dianggap menyebabkan timbulnya kelas-kelas sosial yang berakhir menjadi ketimpangan sosial, sebagai contoh individu yang tergabung dalam komunitas mahasiswa kemudian dalam perjalanan karirnya, salah satu mahasiswa tersebut merupakan pecandu narkoba yang kemudian ditangkap dan direhabilitasi. Narkoba yang di dalam masyarakat merupakan barang haram yang tidak boleh dikonsumsi. Dalam hal ini, mahasiswa pecandu narkoba dianggap sebagai ekslusi karena pada akhirnya orang-orang tersebut tidak dianggap dalam kelompok yang menjadi sasaran target kebijakan sehingga mengancam solidaritas sosial komunitas mahasiswa tersebut dimana akan kehilangan akses dalam berpartisipasi di segi sosial, politik dan ekonomi. Oleh karena itu, proses termarjinalisasinya bukan oleh pemerintah saja tetapi juga didalam masyarakat. 
Dalam konsep Durkheim yang lain yaitu berbicara mengenai anomie dimana keadaan masyarakat yang tidak ada norma yang disebabkan karena adanya perubahan-perubahan situasi ekonomi dan politik secara besar-besaran. Kondisi seperti itulah yang membuat standar-standar nilai dan norma mulai goyah sehingga individu yang mengalami itu akan teraleinasi dengan lingkungannya. Oleh karena itu, yang sering terjadi adalah akibat pembagian kerja yang tidak seimbang maka terjadilah anomie. Sebagai contoh, kelompok preman. Preman dianggap sebagai masyarakat yang anomie karena preman tidak memiliki pedoman yang kuat untuk dapat dipelajari dan menjadi pegangan oleh para anggota masyarakatnya dengan kata lain preman termasuk dalam kelompok perlawanan akan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, preman selalu melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat dan menganggu kestabilan sosial masyarakatnya. Di tingkat selanjutnya kemudian Durkheim menggolongkan pada keadaan disorganisasi sosial yang mana norma kemudian menjadi tidak berfungsi lagi di masyarakat. Keadaan ini yang disebut Durkheim sebagai devian. 
Devian dalam pengertiannya merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang dimana perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat, sebagai contoh adalah komunitas gay. Nilai dan norma yang berlaku dimasyarakat pada umumnya adalah wanita berpasangan dengan laki-laki sebaliknya laki-laki berpasangan dengan wanita tetapi yang terjadi saat ini, munculah gay dimana laki-laki berpasangan dengan laki-laki. Hal ini yang kemudian dianggap menyimpang oleh masyarakat sehingga menjadi kaum yang termarjinalisasi atau terpinggirkan karena sulit untuk mengakses pelayanan publik. Selain itu, komunitas gay juga termasuk dalam kelompok-kelompok yang dikeluarkan dari sistem sosial.
Durkheim juga menggagas mengenai konsep normal dan patologis dimana menurut Durkheim masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang mudah dikenali karena di dalam masyarakat tersebut akan ditemukan kondisi-kondisi yang serupa dengan tahap-tahapan yang serupa juga, misalkan pada masyarakat Indonesia crime atau kejahatan sangat sering terjadi di dalam masyarakat sama halnya dengan negara-negara maju seperti Amerika yang mana crime atau kejahatan juga sering terjadi dalam masyarakatnya. Kondisi yang serupa itulah oleh Durkheim dianggap sebagai hal yang normal karena kejahatan itu tidak mungkin dihilangkan dalam masyarakat dimanapun. Oleh karena itu, kejahatan seperti korupsi menurut saya merupakan hal yang normal yang terjadi di seluruh elemen masyarakat bahkan korupsi sejatinya tidak akan bisa dihilangkan. Korupsi akan terus merajalela karena tahap-tahapan orang yang melakukan korupsi (koruptor) serupa di seluruh negara. Durkheim bahkan melihat kejahatan bukan termasuk dalam patologis. 
Sedangkan patologi sosial menurut Durkheim adalah dalam suatu tatanan masyarakat, masyarakat pasti memiliki kriteria-kriteria masyarakat yang tergolong masyarakat “sehat” sehingga disini konsep norma lebih diterapkan dalam masyarakat. Patologi dianalogikan sebagai penyakit sosial dan orang yang melakukannya akan dianggap patolog. Sedangkan siapa yang dianggap patolog adalah semua bergantung dari norma masyarakat, sebagai contoh beredarnya video mesum yang dilakukan oleh anak-anak dibawah umur. Pada umumnya, anak-anak dibawah umur diberikan pendidikan dini terhadap bahaya seks bebas karena anak-anak seharusnya banyak diberikan perhatian dan kasih sayang yang lebih dari orang-orang disekitarnya. Dan untuk berbuat seronoh, anak-anak belum waktunya melakukan hal tersebut karena imbasnya tidak hanya pada perkembangan psikis anak tetapi juga sosial anak dalam masyarakat. Oleh karena itu, hal-hal semacam inilah yang kemudian menjadi penyakit sosial.
Kesimpulan dari perspektif Durkheim diatas menurut saya bahwa solidaritas sosial akan tercipta apabila masyarakat selalu harmonis sebaliknya ekslusi sosial dianggap sebagai ancaman solidaritas karena adanya sekelompok orang yang sudah mengekslusikan kelompok lain sehingga rentan terjadi konflik pertentangan dalam masyarakat. Ekslusi sosial imbasnya akan mengarah pada pola adaptasi masyarakat yang tidak sempurna sehingga masyarakat akan mengalami anomi dan devian. Kondisi ini yang dinamakan dengan patologi sosial. Karena aliran Durkheim berstruktur makro maka bersifat fungsionalis sehingga ketika terjadi penyimpangan maka masyarakat berupaya mengembalikan kondisi menjadi harmonis agar semua kembali berfungsi sesuai fungsinya di masyarakat. Permasalahan-permasalahan yang terjadi harus segera diatasi dengan serius oleh pihak-pihak yang bersangkutan sehingga mampu memperkecil tingkat kesenjangan yang ada di masyarakat seperti kemiskinan.

 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rahaninda Putri Assanti / 115120101111002 

Kesenjangan dan Ekslusi Sosial dalam perspektif Judith Butler, Mike Oliver dan Foucoult dan Perspektif Stigma dan Identitas Sosial Goffman

Dalam perspektif feminisme, kesenjangan sosial dijelaskan melalui konstruksi tubuh dan pemaknaan tubuh dalam masyarakat dimana tubuh adalah dualitas identitas antara identitas yang dibentuk oleh masyarakat atau pemberian identitas itu sendiri oleh masyarakat atau identitas dibentuk atas dasar pemikiran si pemilik tubuh tersebut sehingga membentuk identitas yang melekat pada dirinya. Dualitas inilah yang kemudian menyebabkan Judith Butler memberi pandangannya bahwa gender adalah konstruksi pengalaman individu. Sehingga individu memiliki kekuasaan atas tubuhnya sendiri, individu berhak mengkonstruksi gender.  Sebagai contoh, seorang laki-laki yang senang dipanggil “sis” atau “mbak”. Tentu ini menjadi sangat aneh karena dia adalah seorang laki-laki dan normalnya, seorang laki-laki dipanggil “mas”. Akan tetapi, Butler berkata bahwa tubuh itu dimaknai terhadap apa yang dimiliki individu tersebut. Kemudian dari contoh diatas, orang lain memaknai tubuh anda sehingga menjadi identitas anda dan mengperformakan dirinya mungkin sebagai wanita dilihat dari segi tingkah lakunya. 
Berbeda pandangan dengan Mike Oliver yang mengatakan bahwa tubuh yang berbeda justru menjadi objek masyarakat dimana kenormalan tubuh dimaknai dalam masyarakat yang memiliki 2 tangan dan 2 kaki yang lengkap kemudian mampu melihat, mendengar dan berbicara. Akan tetapi, ada beberapa individu yang tidak memiliki salah satu aspek kenormalan tersebut sehingga menjadi berbeda dengan orang-orang normal di masyarakat. Inilah yang kemudian menjelaskan bahwa lingkungan yang menentukan tubuh. Lingkungan menjadikan orang-orang diluar individu yang normal menjadi “dis” atau tidak mampu dalam mengakses pelayanan publik. Sebagai contoh, tuna daksa yang kesulitan mencapai lantai 2 karena akses tangga yang tidak disesuaikan dengan kemampuan si tuna daksa. Seharusnya, lingkungan memberikan akses lantai 2 dengan tangga yang landai sehingga tuna daksa mampu berjalan dan tidak merasa kesulitan. Apabila lingkungan mampu memberikan akses yang memudahkan bagi difabel maka yang akan terjadi sebenarnya adalah penyebutan difabel itu tidak akan ada. Karena antara difabel dan yang normal sama-sama mampu mengakses pelayanan publik dengan mudah. Disisi lain, pembentukan lingkungan yang berbeda menurut Oliver merupakan salah satu strategi kapitalisme dan materialisme untuk membuat perbedaan akses tersebut. Strategi ini tentu bukan tanpa alasan yang adil karena pada dasarnya mengandung sebuah kepentingan yang memihak. 
Tokoh ketiga yang membahas tubuh dan kuasa adalah Michael Foucault dimana menurut Foucault konsep moralitas berpengaruh pada penggunaan tubuh yang harus disesuaikan dengan aturan yang berlaku di masyarakat (norma-norma). Sebagai contoh, seorang wanita yang memutuskan untuk menjadi pelacur yang kemudian dianggap oleh masyarakat telah melakukan perilaku meyimpang karena tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan konsep etis bagi foucault berkaitan dengan kualitas dari individu itu sendiri, sebagai contoh etiskah saya (seorang wanita) menjual tubuh saya untuk dinikmati banyak lelaki dengan harga yang standart ? Sehingga kemudian Foucault memandang bahwa tubuh dapat dimaknai sebagai subjek dan objek.  Dalam sudut pandang subjek, tubuh dimaknai atas kemauan individu dalam memperlakukan tubuhnya misalkan menjadi pelacur. Sedangkan dalam sudut pandang objek, terdapat praktik kuasa terhadap tubuh. Praktik kuasa ini berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang membuat standar-standar  dimana tubuh harus mengikuti standar-standar tersebut. Pembahasan tubuh sebagai objek ini yang kemudian berhubungan dengan regim kebenaran Foucault. Regim kebenaran adalah dimana sesuatu yang dianggap di masyarakat merupakan hal yang benar. Definisi kebenaran yang diakui masyarakat sedangkan diluar itu dianggap diluar definisi. Sebagai contoh melanjutkan contoh diatas, dokter yang memutuskan seorang wanita kemudian didiagnosa mengidap penyakit HIV/AIDS sehingga wanita HIV/AIDS merasa mengalami kesenjagan di masyarakat. Dampak ekstrimnya, hal-hal seperti itu menurut Foucault dianggap sebagai parologi dan bahkan tidak dianggap di masyarakat. 
Dalam pembahasan selanjutnya, penulis menguraikan pandangan teori Stigma menurut Goffman. Stigma pada dasarnya merupakan pelabelan yang bersifat negatif dimana orang yang memiliki stigma maka orang tersebut dianggap melakukan hal diluar masyarakat. Oleh karena itu, stigma dapat menjadi sebuah identitas yang melekat pada individu. Sebagai contoh, PSK dianggap tidak berpendidikan, tidak bermoral, miskin. Padahal dibalik itu, tidak semua PSK seperti itu. Kenyataannya, ada seorang PSK yang memang pendidikan terakhirnya sarjana dan otomatis pelajaran moral yang didapat ketika sekolah juga baik. Selain itu, background keluarga yang sederhana tidak menggolongkan PSK tersebut menjadi PSK yang miskin. Akan tetapi, mengapa seakan-akan stigma masyarakat melihat PSK selalu negatif ? Tentu ini terjadi akibat stigma yang diproduksi masyarakat secara terus-menerus. Dalam penggolongan identitas sosial menjadi 2 menurut Goffman menurut saya menjadi suatu hal yang penting untuk memotivasi individu yang terstigma untuk dapat terus bersosialisasi dengan masyarakat dan sebaliknya masyarakat termotivasi untuk memahami individu yang terstigma dalam arti untuk jenis identitas sosial Virtual Social Identity mengatakan bahwa asumsi atau prasangka yang muncul menghubungkan dengan realitas yang belum terbentuk sepenuhnya sehingga karakter yang cenderung menyalahkan. Sebagai contoh, masyarakat yang belum sepenuhnya mengerti tentang kehidupan PSK yang sebenarnya sehingga muncul perlakuan semena-mena dari masyarakat. Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa, masyarakat seharusnya termotivasi untuk mencari tau kehidupan PSK itu seperti apa sehingga masyarakat tidak mejugde hal negatif terhadap PSK dengan cara mengunjungi tempat prostitusi (Dolly), melakukan wawancara atau FGD. Dengan cara ini diharapkan masyarakat tidak akan melakukan hal yang semena-mena terhadap PSK. Sebaliknya, penggolongan identitas yang kedua adalah katagori atau atribut yang realitasnya dapat terbukti. Sebagai contoh, PSK yang berusaha mempertahankan diri dalam persaingan sosial di masyarakat. Sehingga disini, PSK terus termotivasi melakukan hal-hal yang inovatif demi ekssistensinya di masyarakat agar tidak terstigma di masyarakat.
Identitas sosial kemudian sangat berbeda dengan stigma dimana identitas sosial merupakan apa yang menjadi identitas dalam dirinya sedangkan stigma merupakan ciri yang melekat pada individu yang diberikan masyarakat sehingga bersifat negatif. Antara identitas sosial dan stigma dapat melebur apabila pendefinisiannya tidak jelas dalam arti seorang individu yang merasa identitas dirinya adalah stigma dari masyarakat maka individu tersebut akan melakukan dan menjadikan dirinya sesuai dengan identitas yang ada dirinya sekaligus stigma yang diberikan. Sebagai contoh, wanita yang digolongkan dalam PSK di masyarakat dan menganggap dirinya sebagai pelacur. Hal ini tentu menimbulkan pengaruh bagi individu yang memiliki stigma tersebut dan pengaruh bagi masyarakat. Pengaruh individu yang memiliki stigma PSK cenderung merendahkan diri di masyarakat, bersikap antisipatif dan depensif terhadap berbagai situasi, interaksi yang ditimbulkan cemas dan bimbang. Sedangkan pengaruh bagi masyarakat dapat digolongkan menjadi 2 yaitu masyarakat yang memang mau menerima individu yang terstigma atau justru menolak individu yang terstigma dengan cara menjauhinya. 
Penutup penulis adalah beberapa poin yang berhubungan dengan stigma mencakup stereotipe, labeling,dan diskriminasi dimana pada akhirnya individu yang terstigma cenderung ditekan di masyarakat. Oleh karena itu, disini masyarakat memiliki peran andil dalam meminimalisir kesenjangan yang dialami individu yang memiliki stigma sebagai bentuk kepedulian sosial dalam masyarakat yang tentu juga didukung oleh pemerintah. 

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rahaninda Putri Assanti / 115120101111002

Kesenjangan dan Eklusi Sosial (Analisis Film) Bermula Dari Huruf "A"

Dalam analisis film Bermula dari huruf A saya melihat adanya penggambaran karakter yang jelas antara kehidupan orang yang normal dan kehidupan orang tidak normal (difabel). Bagaimana cara komunikasi keduanya dan keseharian difabel dalam menjalani aktivitasnya, seperti jam dinding yang dipecah kacanya agar tuna netra mampu meraba jarum jam menunjukkan angka berapa begitu juga penggunaan handphone yang memiliki kemampuan menyuarakan apabila sms masuk dan tuna netra mampu membuat minuman dimana tuna netra akan kesulitan mengambil gelas atau gula. Tetapi hal-hal semacam itu justru tidak menjadi masalah bagi seorang tuna netra karena tuna netra mampu melakukan itu semua sama halnya dengan orang normal. Hanya saja perbedaannya dapat dilihat dari keterbatasan kemampuan untuk melihat hal yang tampak. Penggambaran inilah yang menjadi bukti bahwa sebenarnya penggolongan antara yang normal dan tidak normal seharusnya tidak ada karena sejatinya, orang yang tidak normal mampu melakukan hal-hal yang dapat dilakukan orang normal. 
Konsep Mike Oliver yang menyatakan bahwa tubuh-tubuh yang berbeda justru menjadi objek masyarakat. Konsep ini yang kemudian saya temui di film Bermula dari huruf A dimana interaksi antara penjual emas dengan wanita tuna netra dan laki-laki tuna rungu yang kesulitan memahami maksud pembicaraan. Sederhananya, si penjual emas tidak mengerti bahasa yang dikemukakan oleh lelaki tuna rungu sehingga wanita tuna netra menterjemahkan maksud dari lelaki tuna rungu tersebut yang ditunjukkan dengan adegan dialog “harganya berapa mas ?” . Hal semacam ini yang perlu ditelaah, bagaimana si penjual emas (orang yang normal) seharusnya mengerti bahasa yang dimaksudkan karena terkadang lingkungan yang menjadikan hal tersebut menjadi “dis” atau tidak mampu. Pemerintah seharusnya sejak dini mulai mengajarkan masyarakat untuk belajar bersama-sama memahami isyarat-isyarat tangan untuk keperluan tuna netra atau jika perlu pendidikan isyarat keperluan tuna netra juga di ajarkan di lembaga sekolah sejak dini. Diharapkan, bahasa kemudian tidak dipahami sebagai bahasa Indonesia untuk orang normal saja tetapi juga bahasa isyarat kaum tuna netra sehingga praktiknya, masyarakat ketika bertemu dengan tuna netra maka masyarakat yang normal akan mengerti maksud pembicaraan tuna netra dan terciptalah kondisi yang normal-normal saja di masyarakat. Disisi lain, lingkungan juga tidak akan mendiskriminasikan masyarakat difabel karena keterbatasan akses yang dimiliki terutama dalam hal berinteraksi. 
Kesimpulannya adalah difabel bukan menjadi alasan mengapa manusia itu kemudian digolongkan menjadi normal dan tidak normal karena menjadi difabel pun masyarakat mana yang mau menjadi difabel. Oleh karena itu, bagaimana kemudian difabel diberikan akses yang sama yang adil yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing difabel sehingga tidak akan tercipta adanya kesenjangan sosial. Sama halnya dengan apa yang ditayangkan film Bermula dari huruf A dimana difabel kemudian banyak mempengaruhi aspek gender dan agama didalamnya dimana gender diperlihatkan yang menjadi imam sholat bukan laki-laki tuna rungu tetapi wanita tuna netra sehingga dari situ timbul asumsi bahwa sebenarnya menurut feminisme liberal adanya kesamaan kedudukan dan hak dimana wanita juga mampu menjadi imam sholat laki-laki. Akan tetapi apabila disinggung soal agama justru menjadi tidak relevan karena ajaran agama mengajarkan secara tegas posisi imam dalam sholat adalah laki-laki sedangkan makmumnya adalah wanita. Hal itu yang kemudian terjadi dalam film dikarenakan si laki-laki tuna rungu tidak mampu mengucap lafadz “Allahu Akbar” dengan pengucapan “rrrr” dengan jelas. Sehingga dari situ, laki-laki tuna rungu termotivasi untuk belajar mengucapkan lafadz Allahu Akbar yang diajarkan oleh si wanita tuna netra tersebut. Dari hubungan keduanya kemudian menciptakan hubungan emosional dan seksualitas yang diperlihatkan dengan komunikasi antar keduanya. Oleh sebab itu, difabel sebenarnya bukan orang yang dianggap lemah tetapi menurut saya, difabel adalah orang yang sangat luar biasa dengan keterbatasan yang dimiliki oleh orang diluar difabel. 

------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Tidak ada komentar:

Posting Komentar