Rabu, 25 Juni 2014

Kesenjangan dan Eksklusi Sosial (Ismiasih Wahyu Ulfiani kelompok 4)

Ismiasih Wahyu Ulfiani / 115120101111024
Kesenjangan dan Eksklusi Sosial
            Merupakan peminggiran yang terjadi pada orang-orang yang dalam kehidupannya di anggap menyimpang atau keluar dari standart kenormalan yang ada. Fenomena ini dianggap menghalangi atau menghambat individu, keluarga maupun kelompok dari sumber daya yang dibutuhkan bahkan kesempatan mereka yang dianggap menyimpang dari kenormalan ini pun untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial ekonomi dan politik yang ada di masyarakat sangat minim. Hal ini dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 1998 yang mewajibkan 1 orang penyandang disabilitas untuk di pekerjakan dari 100 karyawan sebuah perusahaan, meskipun tampaknya memberikan kesempatan untuk mengakses kegiatan ekonomi tetap saja kuota yang diberikan hanya 1 % saja. Kesempatan yang sama hanya sebagai slogan saja.
            Setiap individu mempunyai kedaulatan masing-masing yang dimana setiap individu ini bebas dan berhak untuk mengikuti segala bentuk penyelenggaraan sosial guna menopang keberlanjutan hidupnya, inilah gagasan yang dimiliki oleh Adam Smith. Menurutnya, individu merupakan wujud yang mutlak dimana terdapat keseimbangan dalam lingkungan tempat individu berada sehingga jauh dari pertentangan dan tidak ada intervensi atas ekonomi sehingga semua manusia mendapatkan hak yang sama dengan porsi yang sama pula. Mungkin apabila di cermati lagi, Adam Smith ini sangat fungsional karena bagaimanapun keadaan individu, baik dianggap aneh maupun normal tetap harus mendapatkan perlakuan yang sama. Jika mengingat gagasan Karl Marx, tentu saja gagasan milik Adam Smith ini sangat bertolak belakang, jika menurut karl marx masyarakat itu tergolong atas dua kelompok yakni borjuis dan proletar maka berbeda dengan Smith yang melihat masyarakat itu sama, setara. Tidak ada yang kaya dan tidak ada juga yang miskin.
            Deprivasi merupakan semacam kerugian yang dapat menimbulkan kemiskinan. Hal ini karena deprivasi ini terjadi  melalui proses eksklusi yang biasanya menimpa kaum-kaum atau individu yang mungkin dinilai tidak simetris dan normal. Orang yang tereksklusi atau termarjinalkan biasanya sulit untuk mengakses aspek-aspek yang dapat menunjang kehidupannya seperti aspek sosial, ekonomi, politik dan bahkan pendidikan yang otomatis juga memutuskan jaringan sosial dan peluang berkembangnya individu untuk menuju ke kehidupan yang lebih baik. Orang-orang yang tereksklusi itu biasanya adalah siapa saja yang berkemampuan ekonomi lemah dengan diukur dari tingkat pendapatan yang rendah sehingga orang ini dianggap miskin, kemudian jika sudah begitu maka jelas akses terhadap pekerjaan pun juga terbatas karena jaringan sosial yang dimiliki sudah pasti sedikit dan kurang bisa mendukung keteraksesan aspek kehidupan sosial. Kemiskinan yang melanda masyarakat yang tereksklusi ini pada akhirnya akan berdampak pada deprivasi yang akhirnya menghilangkan akses-akses yag harusnya bisa dicapai.
            Dari eksklusi sosial yang sudah disinggung, pada akhirnya akan melahirkan devian yang merupakan istilah yang dilekatkan pada orang-orang yang dianggap menimpang tadi. Marx melihat bahwa orang yang dikatakan sebagai devian itu adalah orang yang tidak memiliki daya atau kemampuan untuk menunjang berbagai kegiatan kapitalis dalam melakukan pengakumulasian modal atau dengan kata lain ialah devian itu adalah orang-orang yang tidak masuk dalam struktur kapitalis. Ini konsisten dengan kajian marx mengenai material dimana infrastruktur menentukan suprastruktur yang berarti bahwa ekonomi memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap aspek aspek sosial di atasnya. Seringkali kaum borjuis melakukan hegemony melalui mekanisme kontrol yang diinstitusionalkan misalnya saja keluarga, media, sekolah seolah-olah lembaga-lembaga ini menuntut seseorang untuk selalu berusaha demi mendapatkan kerja yang lebih baik dengan sekolah setinggi mungkin.
            Lebih spesifiknya lagi, devian menurut marx ini adalah orang-orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan materi. Jika seseorang itu adalah tergolong miskin tetapi dia bekerja misalnya sebagai buruh atau kuli maka orang tersebut tidak disebut devian, karena masih bisa menunjang kegiatan kapitalis untuk mencapai tujuan akumulasi modal yang telah ditargetkan oleh penguasanya. Marx adalah tokoh sosiologi yang makro, jadi dalam mengkaji materi cakupannya dia adalah kelompok atau populasi yang menempati suatu wilayah tertentu, dan dalam membahas permasalahan mengenai devian ini, marx menggolongkan populasi devian menjadi dua yang berguna dan mengancam. Berguna ini maksudnya adalah tidak berbahaya karena kelompok ini dianggap tidak memiliki gagasan apapun yang dapat mengancam kapitalis (social junk) misalnya saja orang gila, pengontrolannya dilakukan oleh lembaga negara seperti RSJ. Kemudian dikatakan mengancam karena kelompok ini memiliki pemikiran kritis untuk memberontak budaya kapitalis (social dynamite) seperti halnya mahasiswa, pengontrolannya pun juga dilakukan secara legal oleh negara.
            Durkheim juga merupakan tokoh sosiologi yang membahas devian yang tentu berbeda dengan konsep Marx, disini durkheim melihat bahwa eksklusi yang terjadi di masyarakat dapat mengancam solidaritas, hal ini dikarenakan adanya kelompok yang berada dalam masyarakat yang tidak dianggap dengan kata lain ada beberapa yang tidak masuk dalam kenormalan yang terbentuk dan disepakati suatu kelompok. Eksklusi tersebut pada akhirnya dapat memunculkan anomie. Anomie ini merupakan keadaan yang mengambang dari nilai dan norma yang berlaku pada akhirnya hal ini memunculkan kaum devian dimana yang tergolong dalam devian ini dinilai melakukan tindakan atau perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Selain itu juga kajian durkheim juga merujuk pada lingkungan sosial jadi penentu bahwa kelompok sosial itu devian atau tidak disesuaikan dengan pandangan masyarakat kebanyakan utamanya dalam hal bertingkah laku.















Analisis Film dengan teori Judith Butler
Dari film tersebut dapat dianalisis menggunakan teori Judit Butler mengenai pemaknaan tubuh yang menghasilkan konstruksi terhadap identitas. Di tengah dominasi makna terhadap mereka yang dikonstruksi masyarakat sebagai manusia yang mempunyai kebutuhan khusus yang membuat mereka di ekslusi oleh masyarakat akan tetapi mereka berusaha membuat identitas baru dengan jalan performa atau suatu tampilan yang digunakan untuk mendobrak identitas lama yang membuat mereka menjadi ekslusi. Performa tersebut dalam bentuk interaksi yang dilakukan si laki-laki dan perempuan, dalam interaksi yang terjalin dalam bentuk suatu kerjasama yaitu ketika si perempuan mengajari si laki-laki mengeja ‘A’ begitu sebaliknya ketika laki-laki berusaha melindungi si perempuan dari gangguan apapun dengan kemampuan yang dimilki walaupun dibatasi oleh komunikasi verbal. Akan tetapi, dari performa tersebut merupakan usaha dari manusia yang ‘dikonstruksi’ berkebutuhan khusus ingin menunjukkan ke masyarakat bahwa manusia yang selama ini ‘dianggap’ berkebutuhan khusus dapat melakukan suatu kerjasama yang saling menguntungkan layaknya manusia normal ketika mereka menunjukkan dalam bentuk laki-laki adalah mata atau penunjuk jalan bagi si perempuan sedangkan perempuan adalah lidah atau alat komunikasi bagi si laki-laki. Dari keterbatasannya tersebut mereka melakukan kerjasama untuk menutupi kekurangan yang dimilikinya dan dapat mendobrak identitas konstruksi masyarakat yang menyebabkan mereka menjadi ekslusi dengan mereka sebenarnya juga dapat melakukan hal yang biasa dilakukan oleh manusia normal lainnya.

Selain itu juga mereka membuat konstruksi dan pemaknann terhadap tubuh mereka sendiri sebagai bentuk tubuh adalah tubuh manusia normal bukan tubuh manusia ekslusi dengan jalan mereka lakukan pemaknaan terhadap tubuh mereka adalah tubuh normal lewat cara interaksi yang dilakukan dengan saling melengkapi kelemahan mereka dengan cara si perempuan dengan kelebihan yaitu dapat berbicara menuntun bagi si laki-laki yang tidak dapat berbicara sehingga perempaun adalah lidah bagi si laki-laki, sementara bagi laki-laki yang mempunyai kelebihan dapat melihat menjadi mata untuk melihat dunia. Dengan cara interaksi yang saling melengkapi kelemahannya dapat mengontruksi tubuh mereka adalah tubuh yang tidak ekslusi karena dari hasil interaksinya tersebut dapat membentuk suatu identitas bahwa mereka adalah tubuh normal bukan tubuh yang ekslusi karena mereka dapat melakukan hal yang dilakukan tubuh normal.



Ismiasih Wahyu Ulfiani/115120101111024
Kesenjangan dan Eksklusi Sosial
            Kesenjangan dan eksklusi merupakan suatu fenomena peminggiran atau juga bisa disebut pemarjinalan pada individu atau bahkan sekelompok orang akibat dianggap tidak normal seperti keadaan lingkungan sekitarnya. Biasanya kesenjangan ini terjadi ketika ada hal lain yang terlihat dari hal yang umum. Tidak hanya mencakup segi kenormalan fisik manusia yang dapat dikatakan normal dengan dua kaki dua mata dan dua tangan yang kesemuanya berfungsi dengan baik tetapi juga mencakup mental seseorang. Tanpa kita sadari sebenarnya eksklusi dengan modernitas itu sama, yakni ada standart yang ditetapkan disana sebagai tolak ukur dari kenormalan.
            Dalam mengkaji masalah eksklusi ini jika kemarin sudah membahas durkheim dan karl marx yang menyatakan seseorang atau kelompok yang tereksklusi itu dinamakan kaum devian, maka judith butler, mike oliver dan michael foucault memiliki kajian tersendiri mengenai eksklusi sosial. Disini dalam mengkaji suatu eksklusi sosial Judith Butler melihat bahwasannya gender yang melekat pada individu itu merupakan sebuah performa dan menolak bawa gender itu takdir biologis. Performa disini merupakan suatu bentuk untuk menunjukkan tentang suatu tubuh yang nantinya dari performa tersebut dapat mengkonstruksi dirinya. Hal ini mungkin berkaitan tentang bahwa sebenarnya gender itu dikonstruksi oleh si manusia itu sendiri, dan gender disini sifatnya adalah bentukan karena yang merupakan pemberian mutlak adalah seks. Maka eksklusi terjadi ketika secara tubuh dia adalah laki-laki tetapi sifat dan sikapnya tidak laki-laki atau dianggap “kemayu”.
            Hal itu juga berbeda dengan Mike Oliver dimana ada deskripsi tubuh. Dimana ada anggapan bahwa tubuh dengan bentuk yang berbeda maka itulah yang nantinya akan menjadi obyek yang dari obyek tersebut pada akhirnya menumbuhkan dan memunculkan eksklusi dari orang-orang yang memiliki tubuh sempurna. Sebenarnya tergantung dari bagaimana kita memaknai tubuh tersebut. Tetapi yang terjadi adalah bahwa tubuh yang normal dengan kelengkapan-kelengkapan yang umum maka itulah yang dianggap normal sehingga jika kita melihat ada orang dengan jari tangan 4 maka itu sudah dianggap aneh. Anggapan-anggapan tersebut atau pengeksklusian yang seperti itu terjadinya karena adanya nilai atau standart dalam lingkungan dimana seseorang tersebut tinggal. Jadi yang menentukan seseorang itu cacat dan ada istilah cacat ya datangnya dari konstruksi lingkungan bukan dari diri kita sendiri.
            Pendeskripsian tubuh ini juga dilakukan oleh Foucault, dimana ada rezim kebenaran yang bisa menentukan seseorang itu dianggap normal atau tidak. Juga terdapat bio politik atau politik tubuh bahwa sebenarnya tubuh yang sehat dan normal itu sesuai dengan rezim-rezim yang dibenarkan dalam mendeskripsikan tubuh. Ada indikator-indikator yang dijadikan tolak ukur dari rezim kebenaran itu, sedangkan penentu dari kebenaran itu adalah orang-orang yang ahli dalam bidang kesehatan seperti dokter dan psikolog atau psikiatri. Hal-hal yang seperti ini pada akhirnya memunculkan stigma.
            Stigma merupakan pandangan negatif yang diberikan pada orang lain yang dianggap aneh atau diluar kebiasaan umum. Mungkin yang dimaksudkan oleh goffman disini ialah bahwa stigma-stigma tersebut diberikan pada orang dengan cacat yang terlihat dan tampak. Goffman melihat ada 3 tipe stigma dimana yang distigmakan itu adalah cacat fisik, kemudian sifat atau sikap yang dinilai oleh orang lain buruk serta stigma terhadap kesukuan. Adanya stigma ini bisa membuat orang yang dikenai stigma menjadi rendah diri dan mungkin hilang kepercayaan, meskipun orang yang dikenai stigma itu bisa melakukan usaha untuk menyamai dengan yang lainnya tetap saja hal-hal yang melekat dengan stigma orang-orang sekitarnya telah menyumbat kesempatan yang seharusnya dimiliki oleh semua orang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar