Rabu, 25 Juni 2014

TUGAS INDIVIDU (RESPON PAPER)



NAMA            : PENI EKO NINGTIAS
NIM                : 115120100111016

Tugas 1
Konsep Dasar Kesenjangan dan Eksklusi Sosial
            Sebelum menjadi subyek yang aktif dalam lingkungannya. Manusia pada dasarnya adalah subyek yang pasif karena ia tidak mempunyai pilihan saat lahir di bumi. Ketika lahir manusia tidak diperkenankan menentukan status socialnya dalam masyarakat, kondisi fisik serta lingkungan dan budaya tempat ia tinggal. Dalam artian manusia hanya sebagai makhluk yang terberi, apa yang diberi itulah yang harus dia jalani. Konsekuensi yang bersifat kodrati ini mengakibatkan adanya heterogenitas dalam kehidupan. Heterogenitas yang dimaksudkan adalah berbedaan yang terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Ketika ia terlahir berbeda dari mayoritas orang yang ada di sekelilingnya, menimbulkan posisinya dalam masyarakat pun di cap sebagai “kelompok kedua” yang tak berdaya dan lemah yang seringkali menjadi obyek diskriminasi. Marginalisasi, subordinasi serta diskriminasi merupakan konsekuensi dari eksklusi social. Menurut Amartyan sen eksklusi sosial adalah proses yang menghambat individu atau kelompok dari sumber daya baik itu sumber daya politik dan social. Jadi Eksklusi social adalah terputusnya seseorang dari jaringan social.
Eksklusi social dibagi menjadi dua yaitu aktif dan pasif. Eksklusi aktif adalah kelompok – kelompok yang masih mempunyai akses seperti perempuan, imigran dan disabilitas.. sedangkan eksklusi pasif merupakan kelompok – kelompok yang tidak mempunyai akses atau tawaran seperti korban bencana atau pengungsi. Klasifikasi ini didasarkan pada kepemilikan poperti. Aspek – aspek dalam eksklusi social diantaranya: kurangnya produktifitas, kurangnya kebebasan, kurangnya kemampuan, mengalami masalah psikologi secara social atau dampak dari struktur, kesehatan dan mental, kurangnya motivasi dan kebangkrutan, kurangnya relasi social, gender dan ras, melemahnya nilai – nilai tradisional dan social dalam masyarakat (Amartya Sen, 2000: 19-22).
Pengertian eksklusi social tidak hanya dijelaskan oleh Amartyan sen tetapi pengertian eksklusi social juga dibahas oleh Durkheim dan Marx. Durkheim menjelaskan bahwa eksklusi social sangat mengancam solidaritas karena ada kelompok-kelompok didalam masyarakat yang tidak dianggap dan tidak masuk dalam kelompok yang menjadi sasaran target kebijakan pemerintah. Keberadaan mereka dikesampingkan secara sosial, politik dan ekonomi. Durkheim seorang strukturalis menjelaskan kondisi masyarakat yang teratur yang selalu terikat oleh nilai dan norma. Manusia menjadi obyek ciptaan struktur.  Pengertiannya terhadap fakta social menyimpulkan bahwa pada masyarakat primitive ikatannya didasarkan pada fakta sosial non material seperti kultur atau institusi social yang memberikan dampak terhadap kesadaran kolektif. Sedangkan pada masyarakat modern, tingkat konpleksitas semakin tinggi sehingga terjadi pembagian kerja dalam masyarakat. konsekuensi yang ditimbulkan adalah terjadinya patologi social. Patologi social diibaratkan sebagai penyakit dalam masyarakat. Patologi merupakan kondisi menyimpang dari pada yang ditentukan sebagai kewajaran bagi masyarakat. Misalnya kejahatan, kejahatan dikatakan sebagai suata hal yang wajar bagi desa X, jadi apabila ada individu dalam desa tersebut tidak melakukan tindak kejahatan atau mencuri maka ia dapat dikatakan sebagai patologi.
Secara lebih lanjut Durkheim mengatakan bahwa pada masyarakat modern proses pengasingan akan sering menimpa seseorang karena adanya spesialisasi kerja dalam masyarakat. spesialisasi kerja ini menunjuk pada 3 hal yaitu pembagian kerja anomik, pembagian kerja yang dipaksakan dan pembagian kerja yang dikoordinasikan secara buruk (Ritzer, 2012:304).
Sedangkan Marx menjelaskan penyimpangan sebagai permasalahan struktur dengan basis ekonomi. Marx membagi tahapan masyarakat menjadi 5 periode yaitu feodal, komunal, kapitalis, sosialis dan komunis. Teori Marx memberikan penekanan terhadap materi sehingga materi menjadi dasar yang menentukan struktur. Kelas merupakan salah satu konsep dasar Marx dalam melihat kondisi masyarakat kapitalis. Dia membagi kelas menjadi 2 yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas proletar merupakan kelas yang mengalami proses eksklusi soaial karena keterbatasannya untuk menguasai alat – alat produksi. Bagi Marx, orang dikatakan menyimpang apabila ada penjustifikasian yang dikeluarkan oleh kelas borjuis. Sehingga konteks menyimpang itu ditentukan oleh the ruling class.
Sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, eksklusi social dapat terjadi kaena terputusnya jaringan dalam masyarakat. eksklusi social merupakan dampak logis yang muncul akibat perkembangan masyarakat modern yang identik dengan spesialisasi kerja. Sedangkan bagi Marx eksklusi sosial terjadi pada orang – orang yang tidak mempunyai tingkat modal ekonomi yang tinggi. Alhasil dalam proyek pembangunan tidak akan pernah terlepas dari proses eksklusi social karenanya pembangunan harus berorientasi pada humanisme bukan hanya sekedar kemajuan ekonomi yang berorientasi profit.

Daftar Pustaka
Amartya Sen. 2000. Social exclusion: Concept, application, and scrutiny. Philippina: the Asian Development Bank. 
George Ritzer.2012. Teori Sosiologi (Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Posmodern). Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Tugas 2
ANALISIS FILM BERMULA DARI A
              Film bermula dari A merepresentasikan bagaimana kehidupan disabilitas yang dianggap berbeda oleh lingkungannya akibat konstruksi social. Berbicara tentang film ini ada beberapa hal yang bisa kita lihat pertama masalah agama, dalam beberapa adegan diperlihatkan bagaimana seorang cewek (tuna netra) yang menjadi imam bagi cowok (tuna rungu). Sontak hal ini mendapatkan reaksi yang negative dari lingkungannya. Padahal jika berbicara masalah sholat dan ibadah bukankah hanya Tuhan yang wajib menentukan diterima atau tidaknya sholat seseorang. Bukankah tuhan itu maha pengasih serta maha tahu kondisi umatnya? Selain itu, posisi agama dalam konteks sholat ini jika kita lihat secara mendalam sebenarnya ada makna tersembunyi dibaliknya yaitu dominasi maskulinitas. Seorang imam selalu diidentikkan dengan laki – laki, tetapi bagaimana jika seorang laki – laki itu adalah seorang tuna rungu atau tuna wicara, apakah dia tetap harus menjadi imam? Jawabannya adalah tidak bukan! Sama halnya dengan tindakan seksualitas yang selalu mengibaratkan perempuan sebagai “rumah” dan laki – laki sebagai “penyapu dalam rumah”. Kondisi ini juga merupakan perwujudan dari budaya patriarki yang sudah mendarah daging.
            Kedua, seorang disabilitas menjadi obyek yang didiskriminasi atau dianggap sebagai kaum yang berbeda, karena lingkungan dan kebijakan public tidak menyediakan akses atau sarana yang ramah terhadap mereka. Dalam film ini dicontohkan dengan jam dinding yang berlapis kaca akhirnya dipecah agar si cewek dapat mengetahui waktu. Kalau semua fasilitas juga dibuat untuk memberikan kemudahan bagi kaum difabel pasti tidak ada pandangan yang berbeda bagi mereka. Durkheim dengan konsepnya tentang pathologi menjelaskan bahwa segala sesuatu dianggap sebagai hal yang menyimpang, diakibatkan oleh konteks kewajaran yang dibangun oleh “orang normal”.          Andaikata semua mahasiswa UB membaca dengan menggunakan huruf braile dan anda menggunakan huruf selain itu bukankah anda masih dianggap sebagai orang normal?
            Ketiga adalah permasalahan komunikasi. Kata komunikasi selalu diidentikkan dengan komunikasi secara verbal. Akibatnya komunikasi yang kita kenal hanya pengucapan kalimat dengan mulut. Sedangkan dalam dunia pendidikan bahasa isyarat seperti penggunaan symbol – symbol tertentu dalam bahasa jarang kita pelajari. Hal ini jugalah yang memberikan implikasi terhadap sulitnya kaum difabel untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sebab semua wacana itu dibentuk oleh orang – orang yang mempunyai dominasi dalam masyarakat.

Tugas 3

                                                            STIGMA DAN TUBUH



           Siapa yang memiliki tubuh ini? mutlahkah tubuh ini untuk saya? Ini adalah pertanyaan yang mungkin harus kita pikirkan, sebab tubuh itu hanya berada pada dua dikotomi yaitu antara laki – laki dan perempuan. Ketika seorang bayi baru lahir di bumi, tetangga kita pasti akan bertanya, anaknya laki – laki atau perempuan bu? Kondisi ini sebenarnya merefleksikan jika dalam realitasnya eksistensi manusia itu tidak ada, yang ada hanya laki – laki dan perempuan dengan pakem – pakem yang telah ditentukan oleh masyarakat. SSedangkan laki – laki identik dengan tubuh yang kekar, berkumis ataupun atribut lain yang melekat pada dirinya. Terus bagaimana dengan laki – laki yang bertindik, yang suka memakai make up, dan bergaya seperti perempuan atau sebaliknya?
Apakah laki – laki dan perempuan yang seperti itu harus dibuang? Padahal secara fisik tubuh ini adalah milik saya, dan seharusnya saya yang berhak memaknai seperti apa tubuh ini saya perlakukan. Entah saya mempunyai otot yang kekar, memapas habis rambut saya, atau bertindak seperti cowok, itukan hak saya. Toh itukan hanya peforma saja. Performa inilah yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi terhadap seseorang yang memaknai tubuhnya tidak sesuai dengan normalitas yang telah ditentukan.
Teori Butler tentang Performativitas, menjelaskan bahwa ketertindasan seseorang tidak pernah terlepas dari seksualitas seseorang yang juga akan berimplikasi pada kekacauan gender orang tersebut. Lebih lanjut, ia berkata jika gender dan seks adalah atribut dari performa seseorang yang ditampilkan. Dari pandangan ini kondisi perempuan atau laki – laki dalam masyarakat yang memiliki penampilan berbeda dengan “standar” pada umumnya dapat menyebabkan mereka menjadi kaum yang termarjinalkan misalnya saja Waria. Orang – orang seperti mereka akan tersisihkan dari lingkungannya. Karena pendefinisian laki – laki yang harus disesuaikan dengan normalitas yang ada. Pendefinisian ini tidak terlepas dari kuasa dan pengetahuan. Sebagaimana Foucault tentang seksualitaasnya menempatkan individu sebagai subyek dan obyek, dalam konteks tubuh individu dikatakan sebagai subyek sebab ia berhak menentukan ingin menjadi apa dirinya, apakah ia ingin menjadi heterosexsual, bisex atau homosex, namun ia juga menjadi obyek ketika lingkungan mengukuhkan dirinya baik dengan atribut ataupun symbol – symbol tertentu, baik itu berupa penolakan ataupun persetujuan.
Selain itu, kaum yang menjadi obyek yang termarginalkan adalah kaum disabilitas. Pengertian disabilitas merujuk pada perbedaan, bukan ketidak samaan. Kaum difabel hanya memiki perbedaan anatomi atau kondisi fisik atau biologiss yang berbeda. Tetapi mereka mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan fasilitas yang telah disediakan oleh public ataupun mendapatkan perlindungan. Namun dalam konteks “developmentalis” mereka menjedi kelompok minoritas yang tertindas.
Oliver beranggapan bahwa tertindasnya disabilitas dari lingkungannya disebabkan karena pengaruh dari srtuktur, terlebih lagi diakibatkan oleh perkembangan industrialisasi dan kapitalisme. Disabilitas hanya permasalahan konstruksi social  yang bagi oliver disebut sebagai kreasi social. Disabilitas hanya dipandang sebagai permasalahan struktur, bukan karena mental ataupun fisiknya. Jadi diskriminasi yang terjadi pada kaum difabel diakibatkan oleh adanya system kapitalisme yang tidak hanya berimplikasi pada kesenjangan ekonomi, tapi kapitalisme juga mengubah ideology serta nilai – nilai yang ditimbulkannya. Bahkan konsekuensi kapitalisme yang paling parah adalah menggeser solidaritas mekanis kepada solidaritas organis atau menimbulkan induvidualisme yang tinggi.
Meningkatnya industrialisasi memberikan dampak terhadap merebaknya lembaga – lembaga kesehatan, pati rehabilitasi atau sekolah luar biasa untuk memondokkan individu – individu yang dianggap tidak mampu survive dengan lingkungannya alhasil masyarakat selalu memandang kaum difabel sebagai kaum yang lemah, sampah masyarakat dan orang -  orang yang tidak berguna. Padahal stigma yang diberikan masyarakat kepada kaum difabel, mendiskripsikan bahwa sebenarnya masyarakatlah yang menbentuk difabel itu sebagai orang yang lemah. Stigma ini akan berpengaruh terhadap kondisi psikologis individu seperti rasa takut, diasingkan, kehilangan, menambah depresi dll. Sehingga berakibat pada ketidaknyamanan individu baik dalam berbicara atau bertindak, proses interaksinya menjadi cemas dan bingung, individu berusaha menjadi normal, melakukan respon pertahanan atau penyangkalan berupa ekspresi langsung, ketika berdiskusi seorang difabel akan membangun 2 respon baik inferior atau superior.
Stigma itu sendiri menurut Erving Goffman  adalah atribut fisik dan social yang dapat mengurangi identitas seseorang. Sedangkan dampak paling ekstrim dari stigma adalah bunuh diri egoistic. Yaitu suatu bentuk kenyakinan bahwa stigma yang diberikan lingkungannya merupakan suatu kebenaran yang sesuai dengan dirinya. Proses stigma dapat berlangsung serta menyebabkan diskriminasi ketika orang yang berbeda diberi label sehingga masyarakat hanya melihat dari segi pelabelannya bukan individunya secara langsung, setelah itu terjadilah pemisahan antara kata “aku” dan “mereka”. (Ritzer, 2012: 644)
Daftar Pustaka  
George Ritzer.2012. Teori Sosiologi (Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Posmodern). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar