NAMA : PENI EKO NINGTIAS
NIM : 115120100111016
Tugas 1
Konsep Dasar Kesenjangan dan Eksklusi Sosial
Sebelum
menjadi subyek yang aktif dalam lingkungannya. Manusia pada dasarnya adalah
subyek yang pasif karena ia tidak mempunyai pilihan saat lahir di bumi. Ketika
lahir manusia tidak diperkenankan menentukan status socialnya dalam masyarakat,
kondisi fisik serta lingkungan dan budaya tempat ia tinggal. Dalam artian
manusia hanya sebagai makhluk yang terberi, apa yang diberi itulah yang harus
dia jalani. Konsekuensi yang bersifat kodrati ini mengakibatkan adanya
heterogenitas dalam kehidupan. Heterogenitas yang dimaksudkan adalah berbedaan
yang terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Ketika ia terlahir
berbeda dari mayoritas orang yang ada di sekelilingnya, menimbulkan posisinya
dalam masyarakat pun di cap sebagai “kelompok kedua” yang tak berdaya dan lemah
yang seringkali menjadi obyek diskriminasi. Marginalisasi, subordinasi serta
diskriminasi merupakan konsekuensi dari eksklusi social. Menurut Amartyan sen eksklusi
sosial adalah proses yang menghambat individu atau kelompok dari sumber daya
baik itu sumber daya politik dan social. Jadi Eksklusi social adalah
terputusnya seseorang dari jaringan social.
Eksklusi social dibagi
menjadi dua yaitu aktif dan pasif. Eksklusi aktif adalah kelompok – kelompok
yang masih mempunyai akses seperti perempuan, imigran dan disabilitas..
sedangkan eksklusi pasif merupakan kelompok – kelompok yang tidak mempunyai
akses atau tawaran seperti korban bencana atau pengungsi. Klasifikasi ini
didasarkan pada kepemilikan poperti. Aspek – aspek dalam eksklusi social
diantaranya: kurangnya produktifitas, kurangnya kebebasan, kurangnya kemampuan,
mengalami masalah psikologi secara social atau dampak dari struktur, kesehatan
dan mental, kurangnya motivasi dan kebangkrutan, kurangnya relasi social,
gender dan ras, melemahnya nilai – nilai tradisional dan social dalam
masyarakat (Amartya Sen, 2000: 19-22).
Pengertian eksklusi
social tidak hanya dijelaskan oleh Amartyan sen tetapi pengertian eksklusi
social juga dibahas oleh Durkheim dan Marx. Durkheim menjelaskan bahwa eksklusi
social sangat mengancam solidaritas karena ada kelompok-kelompok didalam
masyarakat yang tidak dianggap dan tidak masuk dalam kelompok yang menjadi
sasaran target kebijakan pemerintah. Keberadaan mereka dikesampingkan secara
sosial, politik dan ekonomi. Durkheim seorang strukturalis menjelaskan kondisi
masyarakat yang teratur yang selalu terikat oleh nilai dan norma. Manusia
menjadi obyek ciptaan struktur.
Pengertiannya terhadap fakta social menyimpulkan bahwa pada masyarakat
primitive ikatannya didasarkan pada fakta sosial non material seperti kultur
atau institusi social yang memberikan dampak terhadap kesadaran kolektif.
Sedangkan pada masyarakat modern, tingkat konpleksitas semakin tinggi sehingga
terjadi pembagian kerja dalam masyarakat. konsekuensi yang ditimbulkan adalah
terjadinya patologi social. Patologi social diibaratkan sebagai penyakit dalam
masyarakat. Patologi merupakan kondisi menyimpang dari pada yang ditentukan
sebagai kewajaran bagi masyarakat. Misalnya kejahatan, kejahatan dikatakan
sebagai suata hal yang wajar bagi desa X, jadi apabila ada individu dalam desa
tersebut tidak melakukan tindak kejahatan atau mencuri maka ia dapat dikatakan
sebagai patologi.
Secara lebih lanjut
Durkheim mengatakan bahwa pada masyarakat modern proses pengasingan akan sering
menimpa seseorang karena adanya spesialisasi kerja dalam masyarakat.
spesialisasi kerja ini menunjuk pada 3 hal yaitu pembagian kerja anomik,
pembagian kerja yang dipaksakan dan pembagian kerja yang dikoordinasikan secara
buruk (Ritzer, 2012:304).
Sedangkan Marx
menjelaskan penyimpangan sebagai permasalahan struktur dengan basis ekonomi. Marx
membagi tahapan masyarakat menjadi 5 periode yaitu feodal, komunal, kapitalis,
sosialis dan komunis. Teori Marx memberikan penekanan terhadap materi sehingga
materi menjadi dasar yang menentukan struktur. Kelas merupakan salah satu
konsep dasar Marx dalam melihat kondisi masyarakat kapitalis. Dia membagi kelas
menjadi 2 yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas proletar merupakan
kelas yang mengalami proses eksklusi soaial karena keterbatasannya untuk
menguasai alat – alat produksi. Bagi Marx, orang dikatakan menyimpang apabila ada
penjustifikasian yang dikeluarkan oleh kelas borjuis. Sehingga konteks
menyimpang itu ditentukan oleh the ruling class.
Sehingga dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa, eksklusi social dapat terjadi kaena terputusnya
jaringan dalam masyarakat. eksklusi social merupakan dampak logis yang muncul
akibat perkembangan masyarakat modern yang identik dengan spesialisasi kerja.
Sedangkan bagi Marx eksklusi sosial terjadi pada orang – orang yang tidak
mempunyai tingkat modal ekonomi yang tinggi. Alhasil dalam proyek pembangunan
tidak akan pernah terlepas dari proses eksklusi social karenanya pembangunan
harus berorientasi pada humanisme bukan hanya sekedar kemajuan ekonomi yang
berorientasi profit.
Daftar
Pustaka
Amartya Sen. 2000. Social exclusion: Concept, application, and scrutiny. Philippina:
the Asian Development Bank.
George
Ritzer.2012. Teori Sosiologi (Dari
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Posmodern). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Tugas 2
ANALISIS FILM BERMULA DARI A
Film
bermula dari A merepresentasikan bagaimana kehidupan disabilitas yang dianggap
berbeda oleh lingkungannya akibat konstruksi social. Berbicara tentang film ini
ada beberapa hal yang bisa kita lihat pertama masalah agama, dalam beberapa
adegan diperlihatkan bagaimana seorang cewek (tuna netra) yang menjadi imam
bagi cowok (tuna rungu). Sontak hal ini mendapatkan reaksi yang negative dari
lingkungannya. Padahal jika berbicara masalah sholat dan ibadah bukankah hanya
Tuhan yang wajib menentukan diterima atau tidaknya sholat seseorang. Bukankah
tuhan itu maha pengasih serta maha tahu kondisi umatnya? Selain itu, posisi
agama dalam konteks sholat ini jika kita lihat secara mendalam sebenarnya ada
makna tersembunyi dibaliknya yaitu dominasi maskulinitas. Seorang imam selalu
diidentikkan dengan laki – laki, tetapi bagaimana jika seorang laki – laki itu
adalah seorang tuna rungu atau tuna wicara, apakah dia tetap harus menjadi
imam? Jawabannya adalah tidak bukan! Sama halnya dengan tindakan seksualitas
yang selalu mengibaratkan perempuan sebagai “rumah” dan laki – laki sebagai
“penyapu dalam rumah”. Kondisi ini juga merupakan perwujudan dari budaya
patriarki yang sudah mendarah daging.
Kedua,
seorang disabilitas menjadi obyek yang didiskriminasi atau dianggap sebagai
kaum yang berbeda, karena lingkungan dan kebijakan public tidak menyediakan
akses atau sarana yang ramah terhadap mereka. Dalam film ini dicontohkan dengan
jam dinding yang berlapis kaca akhirnya dipecah agar si cewek dapat mengetahui
waktu. Kalau semua fasilitas juga dibuat untuk memberikan kemudahan bagi kaum
difabel pasti tidak ada pandangan yang berbeda bagi mereka. Durkheim dengan
konsepnya tentang pathologi menjelaskan bahwa segala sesuatu dianggap sebagai
hal yang menyimpang, diakibatkan oleh konteks kewajaran yang dibangun oleh
“orang normal”. Andaikata semua
mahasiswa UB membaca dengan menggunakan huruf braile dan anda menggunakan huruf
selain itu bukankah anda masih dianggap sebagai orang normal?
Ketiga
adalah permasalahan komunikasi. Kata komunikasi selalu diidentikkan dengan
komunikasi secara verbal. Akibatnya komunikasi yang kita kenal hanya pengucapan
kalimat dengan mulut. Sedangkan dalam dunia pendidikan bahasa isyarat seperti
penggunaan symbol – symbol tertentu dalam bahasa jarang kita pelajari. Hal ini
jugalah yang memberikan implikasi terhadap sulitnya kaum difabel untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Sebab semua wacana itu dibentuk oleh orang – orang
yang mempunyai dominasi dalam masyarakat.
Tugas 3
STIGMA DAN TUBUH
Siapa yang memiliki
tubuh ini? mutlahkah tubuh ini untuk saya? Ini adalah pertanyaan yang mungkin
harus kita pikirkan, sebab tubuh itu hanya berada pada dua dikotomi yaitu
antara laki – laki dan perempuan. Ketika seorang bayi baru lahir di bumi,
tetangga kita pasti akan bertanya, anaknya laki – laki atau perempuan bu?
Kondisi ini sebenarnya merefleksikan jika dalam realitasnya eksistensi manusia
itu tidak ada, yang ada hanya laki – laki dan perempuan dengan pakem – pakem
yang telah ditentukan oleh masyarakat. SSedangkan laki – laki identik dengan tubuh
yang kekar, berkumis ataupun atribut lain yang melekat pada dirinya. Terus
bagaimana dengan laki – laki yang bertindik, yang suka memakai make up, dan bergaya seperti perempuan
atau sebaliknya?
Apakah laki – laki dan
perempuan yang seperti itu harus dibuang? Padahal secara fisik tubuh ini adalah
milik saya, dan seharusnya saya yang berhak memaknai seperti apa tubuh ini saya
perlakukan. Entah saya mempunyai otot yang kekar, memapas habis rambut saya,
atau bertindak seperti cowok, itukan hak saya. Toh itukan hanya peforma saja. Performa
inilah yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi terhadap seseorang yang
memaknai tubuhnya tidak sesuai dengan normalitas yang telah ditentukan.
Teori Butler tentang
Performativitas, menjelaskan bahwa ketertindasan seseorang tidak pernah
terlepas dari seksualitas seseorang yang juga akan berimplikasi pada kekacauan
gender orang tersebut. Lebih lanjut, ia berkata jika gender dan seks adalah
atribut dari performa seseorang yang ditampilkan. Dari pandangan ini kondisi
perempuan atau laki – laki dalam masyarakat yang memiliki penampilan berbeda
dengan “standar” pada umumnya dapat menyebabkan mereka menjadi kaum yang
termarjinalkan misalnya saja Waria. Orang – orang seperti mereka akan
tersisihkan dari lingkungannya. Karena pendefinisian laki – laki yang harus
disesuaikan dengan normalitas yang ada. Pendefinisian ini tidak terlepas dari
kuasa dan pengetahuan. Sebagaimana Foucault tentang seksualitaasnya menempatkan
individu sebagai subyek dan obyek, dalam konteks tubuh individu dikatakan
sebagai subyek sebab ia berhak menentukan ingin menjadi apa dirinya, apakah ia
ingin menjadi heterosexsual, bisex atau homosex, namun ia juga menjadi obyek
ketika lingkungan mengukuhkan dirinya baik dengan atribut ataupun symbol –
symbol tertentu, baik itu berupa penolakan ataupun persetujuan.
Selain itu, kaum yang
menjadi obyek yang termarginalkan adalah kaum disabilitas. Pengertian
disabilitas merujuk pada perbedaan, bukan ketidak samaan. Kaum difabel hanya
memiki perbedaan anatomi atau kondisi fisik atau biologiss yang berbeda. Tetapi
mereka mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan fasilitas yang telah
disediakan oleh public ataupun mendapatkan perlindungan. Namun dalam konteks
“developmentalis” mereka menjedi kelompok minoritas yang tertindas.
Oliver beranggapan
bahwa tertindasnya disabilitas dari lingkungannya disebabkan karena pengaruh
dari srtuktur, terlebih lagi diakibatkan oleh perkembangan industrialisasi dan
kapitalisme. Disabilitas hanya permasalahan konstruksi social yang bagi oliver disebut sebagai kreasi
social. Disabilitas hanya dipandang sebagai permasalahan struktur, bukan karena
mental ataupun fisiknya. Jadi diskriminasi yang terjadi pada kaum difabel
diakibatkan oleh adanya system kapitalisme yang tidak hanya berimplikasi pada
kesenjangan ekonomi, tapi kapitalisme juga mengubah ideology serta nilai –
nilai yang ditimbulkannya. Bahkan konsekuensi kapitalisme yang paling parah adalah
menggeser solidaritas mekanis kepada solidaritas organis atau menimbulkan
induvidualisme yang tinggi.
Meningkatnya
industrialisasi memberikan dampak terhadap merebaknya lembaga – lembaga kesehatan,
pati rehabilitasi atau sekolah luar biasa untuk memondokkan individu – individu
yang dianggap tidak mampu survive dengan lingkungannya alhasil masyarakat
selalu memandang kaum difabel sebagai kaum yang lemah, sampah masyarakat dan
orang - orang yang tidak berguna.
Padahal stigma yang diberikan masyarakat kepada kaum difabel, mendiskripsikan
bahwa sebenarnya masyarakatlah yang menbentuk difabel itu sebagai orang yang
lemah. Stigma ini akan berpengaruh terhadap kondisi psikologis individu seperti
rasa takut, diasingkan, kehilangan, menambah depresi dll. Sehingga berakibat
pada ketidaknyamanan individu baik dalam berbicara atau bertindak, proses
interaksinya menjadi cemas dan bingung, individu berusaha menjadi normal,
melakukan respon pertahanan atau penyangkalan berupa ekspresi langsung, ketika
berdiskusi seorang difabel akan membangun 2 respon baik inferior atau superior.
Stigma itu sendiri
menurut Erving Goffman adalah atribut
fisik dan social yang dapat mengurangi identitas seseorang. Sedangkan dampak
paling ekstrim dari stigma adalah bunuh diri egoistic. Yaitu suatu bentuk
kenyakinan bahwa stigma yang diberikan lingkungannya merupakan suatu kebenaran
yang sesuai dengan dirinya. Proses stigma dapat berlangsung serta menyebabkan
diskriminasi ketika orang yang berbeda diberi label sehingga masyarakat hanya
melihat dari segi pelabelannya bukan individunya secara langsung, setelah itu
terjadilah pemisahan antara kata “aku” dan “mereka”. (Ritzer, 2012: 644)
Daftar Pustaka
George
Ritzer.2012. Teori Sosiologi (Dari
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Posmodern). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar