Rabu, 25 Juni 2014

RESPON PAPER INDIVIDU SOLEHHUDDIN



Respon 1
NAMA: SOLEHHUDDIN
NIM: 115120107111043

RESPON PAPER KESENJANGAN DAN EKLUSI SOSIAL
Masyarakat modern yang serba kompleks akibat dari adanya tekhnologi yang didukung oleh perkembangan zaman, dari adanya pola demikian itu selain memunculkan sisi positif juga memunculkan sisi negative juga seperti kriminalitas dan masalah-masalah social lainnya. Oleh karena itu dengan adanya factor-faktor diatas, maka diperlukan sebuah alternative mendalam yakni sebuah konsep adaptasi atau penyesuaian diri terhadap sekitarnya (tinggal). Melihat masyarakat saat ini yang heterogen dan hiperkompleks mulai dari segi kehidupan, gaya dan profesi menjadi sangat sulit untuk menghadirkan suatu pola adaptasi, sehingga menimbulkan konflik dan ekslusi social bagi kelompok maupun individu yang secara garis besar tidak dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Sehingga mereka melakukan suatu tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma social.
Adapun kali ini saya akan membahas mengenai kesenjangan dan ekslusi social dari perspektif amartyasen, durkhaim dan weber. Amartyasen salah satu tokoh developmentalis kemiskinan dari india yang juga menyinggung dan membahas tentang ekslusi social. Menurutnya ekslusi social adalah orang-orang yang terpinggirkan dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
1.      Kemiskinan yang dilihat dari keterbatasan penghasilan yang sejak dahulu dikaitkan dengan kehilangan akses social atau jaringan.
2.      Opportunity: dikaitkan dengan orang-orang yang tidak dapat berada dilingkungan yang lebih baik ,baik itu dalam pekerjaannya maupun tempat tinggalnya
3.      Deprevtion (kerugian) dikaitkan dalam hal profesi yang mengalami kegagalan dan kebangkrutan dalam berbisnis.
4.      Ekonomi: dilihat mulai dari skill, pekerjaan dan penghasilan seseorang .dilihat intensitas besar kecilnya.
5.      Psychological harm and misery: ini ditunjukkan pada orang-orang yang yang mengalami cacat jasmani.
6.      Lost offreedom: hilangnya suatu kebebasan individu dan kelompok dalam lingkungannya.
7.      Lost ofcurrent out put: tidak bekerja (pengangguran).

Dari hal-hal tersebut ini merupakan sesuatu penjustifikasi terhadap orang-orang yang memiliki kriteria tersebut, sehingga perbedaan pengkategorian tereklusi dan tidak dapat ditinjau dari hal-hal diatas. Padahal setiap orang tidak mengiginkan dirinya tereklusi dari system maupun struktur, dan orang yang bisanya oleh masyarakat dikatakan tereklusi mereka akan berjuang dengan keras menunjukkan bahwa mereka juga memiliki potensi yang lebih. Akan tatapi ketika mereka sudah dapat membuktikannya justru dianggap hanya biasa tidak ada penunjukkan penghargaan terhadap apa yang telah ia capai.
Ekslusi sosial dalam pengerahannya adalah sekelompok orang yang dimarjinalisasi dan dikeluarkan dalam social mereka yang tereklusi dalam kehidupannya terputus dari layanan, jaringan dan peluang berkembang yagn seharusnya dinikmati oleh masyarakat umum. Rata-rata orang yang terklusi merasa bahwa dirinya adalah suatu hal ayng tidak sempurna alias sampah. Pemerintah banyak memiliki solusi untuk mengurangi tingkat prang-orang yang tereklusi salah satunya didirikan lembaga permberdayaan yang difungsikan untuk membimbing dan sekaligus mengembangkan potensi-potensi yang merka miliki, sehingga mereka tidak merasa tereklusi, karena teralihkan dengan kesibukan tersebut walupun mereka tetap dalam golongan orang yang tereklusi.
    Kesenjangan dan eklusi social dilihat melalui persepektif durkhaim”:Menurut durkahim “eklusi sosial suatu hal yang dijustifikasi pada orang-orang yang keluar dari nilai dan norma yabg sudah ditetapkan pada lingkunganya itu. Eklusi sosial sendiri dalam realitas lingkunga sekitarnya dapat mempengaruhi solidaritas sosial mengapa demiakan, karena tidak semua kelompok atau individu yang hidup dalam kalangan masyarakat dapat diterima secara sosial, mestinya ada segeintir orang yang dianggap aneh. Orang-orang yang tereklusi ini merasa anomie dari kehidupan dilingkungannya  sendiri sehingga menimbulkan masalah social. Durkhaim membagi masyarakat menjadi 2 klasifikasi yakni normal dan patalogi. Normal sendiri yakni sutau keadaan yang berjalan literature dalam masyarakat yagn sesuai kebiasaan tentunya tidak keluar dari nilai dan norma. Sedangkan patologi suatu keadaan yang menyimbang atau tidak sesuai ditemukan tidak wajar dan keluar dari nilai dan norma yan berlaku diliingkungan masyarakat itu. Sebuah kejahatan adalah hal yang sering di temukan dimasyarakat seperti pencopet perampok dan lain-lain. Sedangkan deviasi (penyimpangan) suatu hal yang tidak sesuia dimasyarakat akan mendapat sanksi sosial (hinaan, diusir, dan dikucilkan)seperti gay, waria , psk. Jadi dapat diambil secara garis besar bahwa eklusi sosial itu melekat pada diri seseorang jikalau tidak sesuai dengan dengan nilai dan norma yang berlaku saat itu.
Dilihat dari perspektif marxis melihat tentang devians (penyimpangan). Devians sendiri didefininisikan bahwa tingkah laku yang menyimpang dari rakyat atau populasi dan fenomena ini sifatnya episodic dan sementara. Marx melihat devians dan control social dari deviance productions yang dimana pada tataran ini ada sebuah pengkategorian yang diambil dari tesisnya mengenai pengaruh materialism terhadap seluruh tataran kehidupan dalam kehidupan sehari-hari. Infrastruktur (ekonomi) dan superstruktur (politik, budaya, agama pendidikan) dll. Pada saat ini telah terbukti dari seluruh lembaga yang dipengaruhi oleh struktur materi, walaupun pengaruhnya tidak terlihat secara langsung akan tetapi melalui perantara kerja sama. Dari sini peran dari infrastruktur dan superstruktur dalam membangun sebuah aliansi kerja sangat didominasi oleh infrastruktur (materi). Contoh konkritnya kita kuliah, ranahnya jelas lembaga pendidikan dan kita kuliah juga perlu adanya uang sekaligus tujuan kuliah kita setelah lulus di arahkan ke dunia kerja sekaligus mendapatkan upah. Coba saya uraikan alat control untuk mengkontruksi kita yakni lembaga pendidikan gunanya untuk mengontrol ketika kita sudah berada diranah kerja bahasa kasarnya devians dengan tindakan demo. Marx membagi jenis populasi devians menjadi 2 yakni:
  1. Social junk (sampah) merupakan golongan yang mengalami kegagalan dalam melakukan perannya untuk mengontrol kapitalis. Populasi macam ini pengontrolannya melalui agen-agen terapi contoh: orang gila agar tidak melakukan tindakan menyimpang maka mereka dikelompokkan dan diasingkan pada suatu tempat yang menjadi alat kontrolnya yakni RSJ. Hal ini dilakukan oleh kaum borjuis untuk melanggengkan peranannya sebagai the rulling class.
  2. Social dynamite merupakan golongan muda atau golongan yang produktif bekerja yang memiliki tingkat agresif tinggi menurut kaum borjuis ini dapat mengaggu kestabilan perannya dan mereka mengontrolnya melalui legal system seperti adanya serikat buruh. Hal ini gunakan untuk meminimalisir tindakan buruh yang menyimpang.
Jadi dapat dikatakan bahwa setiap masalah yang berkenaan dengan penyimpangan dapat diredam oleh para golongan borjuis melalui berbagai lembaga-lembaga social. Infrastruktur menjadi suatu struktur yang mendominasi segala keputusan untuk penentuan segala kebijakan karena dikaitkan dengan materialism. Indicator devians menurut marx yakni orang yang tidak mampu menyokong adanya kapitalis dan orang yang tidak mampu beradaptasi terhadap adanya kapitalis.

Respon 2
NAMA : SOLEHHUDDIN    
NIM: 115120107111043
Review Stigma dan Identitas menurut “Erving Goffman”
Erving gofman merupakan salah satu tokoh ilmuan social yang terkenal. Perspektif  Dramaturgi merupakan salah satu perspektif yang sangat erat dengan peran. Erving Goffman memperkenalkan Dramaturgi pertama kali dalam kajian social psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation Of Self In Everyday Life. Mengingat asumsi dasar dari perspektif dramaturgi yakni interaksi merupakan pertunjukkan drama, interaksi bertujuan menjaga identitas yang diakui secara social, realitas dibentuk oleh individu melalui proses interaksi social dan juga perbedaan back stage dan front stage. Ini semua merupakan asumsi dasar yang berkaitan dengan pola interaksi lebih tepatnya sosiologi komunikasi.
Pada paper ini yang menjadi inti bahasan pokok mengenai “stigma dan identitas social menurut pandangan erving gofman. Identitas social merupakan sesuatu yang hadir pada masyarakat yang berwujud kategori dan dan atribut yang melekat pada individu masing-masing. Ada 2 macam kategori identitas yakni 1. Virtual social identity yakni merupakan suatu asumsi yang muncul sekaligus menghubungkan realitas yang belum terbentuk sepenuhnya. Karakter yang seperti ini cenderung lebih menjalankan dengan wujud stigma negative. 2. Actual social identity suatu keadaan yang tergolong kategori yang realitasnya terbukti keadaannya.
Munculnya identitas juga menyebabkan muncul tanda dan pandangan yang umumnya kita kenal dengan stigma. Stigma dapat terbentuk ketika kedua hal diatas ini menjadi objek sekaligus tolak ukur untuk membedakan kategori identitas-identitas lain. Pengertian stigma sendiri yakni merupakan suatu tanda atau ciri negative pada seseorang yang sedang ia perankan selain stigma ada juga stigmatisasi yakni suatu sikap yang merendahkan seseorang terkait dengan atribut yang melekat pada diri setiap orang dengan argument dan pandangan buruk. Stigma ini dapat muncul ketika ada kategorisasi tertentu seperti stigma cacat pada fisik tubuh, stigma karakter individu yang buruk dan stigma gagasan seperti ras.
Menurut gofman stigma merupakan suatu relasi Bahasa .wacana stigma ini menimbulkan sisi negative yang dapat memunculkan inferioritas ( sikap rendah diri) yang itu dari atribut yang dimiliki oleh orang lain. Inti dari suatu stigma yaitu suatu yang menjadikan seseorang itu menjadi tereklusi dari lingkungannya dan minder dengan keadaan dirinya sendiri. Misalnya saja ketika ada orang cacat (fisik) anggapan orang terhadap dirinya akan negative dikarenakan kondisi fisiknya yang tidk normal, menurutnya tidak sama dengan dirinya. Ini semua menunjukkan bahwa ada suatu kuasa pewacanaan yang dilakukan oleh orang normal terhadap dia, bahwa selama hal itu tidak sama dengan keadaan orang normal maka dianggap sebagai patologi social. Sehingga orang yang dikucilkan seperti ini menyusun suatu pertahanan dengan tujuan untuk mepertahankan keadaan dirinya dari orang lain dengan cara meminimalisir interaksi dan juga mencoba melakukan hal-hal yang sama dengan kenormalan agar tidak diremehkan lagi. Menunjukkan betapa kuatnya stigma, sampai akhirnya membuat orang itu tidak menerima keadaan dirinya. Stigma tidak akan pernah hilang dari diri seseorang karena stigma mengikuti alur dalam kehidupan kita.
Setiap individu pastinya memiliki kekurangan dalam dirinya baik itu jasmani maupun rohani, karena kesempurnaan itu hanya milik sang pencipta tuhan alam semesta ini. Orang yang dianggap aneh (tidak sama dengan yang lain atau cacat) rata-rata memiliki suatu kehidupan yang tertekan dimanapun ia berada.selain stigma ada lagi konsep labelling yang juga menjadi factor tertentu terbentuknya eklusi social. Labelling ini muncul dari pendefinisian orang lain terhadap orang lain yang dianggap berbeda. Label ini tidak jauh berbeda dengan konsep stigma, keduanya sama-sama menganggap orang lain yang aneh itu rendah dan patologi social. Label ini muncul bersamaan dengan asumsi dari orang yang memiliki tingkat kuasa dan otoritas dalam tatanan struktur dalam masyarakat. Fakta ini paling banyak kita jumpai pada ranah hokum dibantu dengan pewacanaan dari media social untuk perealisasiannya.
Contohnya “mencuri” merupakan tindakan yang keluar dari tatanan nilai dan norma dalam masyarakat, sehingga ada konsekuensinya ketika ada orang yang melakukan hal tersebut.  Ketika seseorang melakukan tindakan mencuri secara tidak langsung orang lain menganggap identitas dirinya adalah sebagai pencuri ini muncul karena stigma dan sekaligus hal tersebut diberi label pada orang tersebut. Oleh ranah hokum tindakan tersebut merupakan kriminalitas yang patut diberi sanksi. Dapat dilihat label itu muncul dari aparat penegak hokum baik itu polisi ataupun hakim kepada dirinya , sehingga hal iti dianggap suatu kebenaran dan terkontruksi pada dirinya ,bahwa ia seorang kriminalitas yang harus berbuat hal-hal tersebut. Inilah proses pengeklusian seseorang dengan tahap individu-tindakan-stigma- labelling.seandainya masa hukumannya dari seseorang criminal telah usai masyarakat menyebutnya dengan “mantan kriminalitas” hal ini sama saja dengan merendahkan lagi.

Respon 3
NAMA : SOLEHHUDDIN
NIM      :115120107111043
Review film “berawal dari A”
Tubuh merupakan salah satu karunia yang dianugerahkan oleh sang pencipta dengan berbagai keadaan, mulai dari keadaan yang normal dan yang tidak normal itu semua diberikan untuk menjalani kehidupan di dunia ini. Pada dasarnya keadaan fisik yang tidak normal (cacat) biasanya oleh orang dianggap berbeda dari yang lain, sehingga dijadikan objek dalam segala hal. Orang-orang tidak normal tidak hanya diartikan yang cacat fisik akan tetapi orang waria, gay dan hyper sex juga dikatakan demikian pula menurut butler.
Dalam film ini ada 2 orang yang memiliki kecacatan pada tubuhnya (dirinya) si wanita buta dan laki-laki yang pelat. dilihat dari perspektif butler tentang performa dengan melihat pola kehidupan dan tingkah lakunya dalam menjalani kehidupan sehari-harinya dianggap sebagai hal yang konstitutif. Didasarkan pada hal itu dapat dikatakan bahwa gender dan seks hadir ketika performa itu dimunculkan oleh orang yang cacat. Sebagai orang normal, mereka akan menjustifikasi bahwa keadaan fisik seseorang menunjukkan titik kelemahan dan symbol untuk membedakan ini tidak lepas dari dominasi kuasa atas pemaknaan terhadap tubuh seseorang.
Lihat saja ketika terjadi suatu interaksi social Antara orang yang normal dan cacat, pastinya kita tau sendiri bagaimana respond atau tanggapan dari masing-masing orang terhadap tubuh kita. Orang cacat sendiri dalam memaknai segala hal yang ia lakukan merupakan hal yang biasa, karena dari kebiasaan itu mereka berasumsi bahwa dirinya itu normal. Melalui media orang-orang yang menurut mereka tidak sesuai dengan kenormalitasan dalam artian “fisik tubuh” maka akan dijadikan objek untuk dijadikan materialism melalui film-film berdurasi pendek yang menggambarkan keadaan pola kehidupannya yang menurutnya unik, aneh dan luar biasa. Bentuk apresiasi untuk mereka. Factor lain menurut mike oliver  seseorang dikatakan diffable, ketika pada system lingkungannya tidak mendukung atau memberi sarana yang layak kepadanya. Hal ini juga menjadi masalah juga, karena oleh orang normal dipandang sebelah mata. Tidak semua orang normal itui dapat melangsungkan pola hidup yang baik justru sebaliknya karena didorong rasa semangat yang tinggi para diffable dapat melangsungkan pola hidupnya dengan baik, dengan cara memanfaatkan keadaan yang seperti itu.
Judit butler sendiri dalam konsepnya mengharuskan kita untuk melupakan pengalaman (habitus) dari setiap individu. Jadi intinya mencoba menjalani pola hidup sesuai dengan keadaan dan kemampuan masing-masing. Tidak harus melihat keadaan fisiknya saja. 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar