Nama : Desandy Budi Christya
NIM : 115120101111032 / Respone Paper Kesenjangan
dan Eksklusi Sosial
Pandangan
Beberapa Tokoh Sebagai Konsep Dasar
Kondisi yang tidak lagi kondusif
adalah kondisi yang sering dialami Indonesia saat ini. berbagai konflik dengan
latar belakang yang berbeda-beda seolah menandakan kondisi yang sedang tidak
stabil tersebut. Konflik yang terjadi di berbagai struktur masyarakat, yang
dialami oleh banyak pihak, salah satunya adalah individu-individu atau
kelompok-kelompok dalam masyarakat yang termarjinalkan, sehingga sering kali
memicu terjadinya konflik. Terlebih lagi kesenjangan sosial semakin jelas
terjadi di Indonesia ini. Kesenjangan atas sumber-sumber yang ada, dan lain
sebagainya. Indikatornya jelas ketika kita meninjau kembali kondisi pendidikan
yang tidak merata, akses kesehatan yang tidak merata pula, dan yang lainnya,
yang pada akhirnya banyak masyarakat mengalami kondisi yang jauh dari
akses-akses yang seharusnya dapat dinikmati bersama.
Secara sosiologis kesenjangan dan
eksklusi sosial ditandai dengan adanya gap antara struktur yang satu dengan
struktur yang lainnya. Hal ini kemudian menjadikan ada beberapa individu atau
kelompok masyarakat tertentu yang mengalami kondisi eksklusi atau
termarjinalkan dalam artian individu atau kelompok-kelompok ini mengalami
proses yang menghalangi mereka untuk dapat turut berpartisipasi dalam kegiatan
sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya, yang kemudian menyebabkan
kehidupan mereka terputus dari layanan yang dinikmati sebagaian besar
masyarakat pada umumnya. Banyak faktor yang menyebabkan eksklusi sosial ini
terjadi. Karena kondisi kemiskinan, akses terhadap pekerjaan yang sulit, tidak
ada jaringan sosial, hilangnya hak-hak kebebasan misal dalam beragama maupun
yang lainnya, sampai masalah gender dan rasial.
Banyak tokoh yang memberikan
gambaran tentang kesenjangan terlebih masalah eksklusi sosial ini. Amartya Sen
yang melihat bahwa eksklusi sosial ini terkait dengan kemiskinan dan deprivasi
atau kehilangan akses yang menjadikan terputus dengan sistem secara luas. Sedangkan
Durkheim melihat bahwa individu atau kelompok yang tereksklusi ini dapat
mengancam solidaritas sosial, hal ini dikarenakan mereka yang tidak masuk dalam
sistem terlebih mereka yang tereksklusi dan tidak mampu beradaptasi dengan
baik, dapat menciptakan disorganisasi sosial yang kemudian memunculkan
tindakan-tindakan menyimpang yang pada akhirnya mengganggu kestabilan dalam
masyarakat atau mengancam solidaritas sosial. Selain itu juga dapat menciptakan
kecenderungan akan tindakan kriminal dan penyakit sosial atau patologis.
Marxian juga memberikan pandangan perihal
deviance yang terjadi. Keterhubungannya dengan masalah eksklusi sosial jika
saya gambarkan adalah bahwa individu atau kelompok yang tereksklusi pada
akhirnya memang memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan-tindakan
menyimpang atau yang biasa disebut deviant. Marx melihat bahwa sejarah
perkembangan manusia seiring dengan perkembangan material yang ada. Bahkan
superstruktur pun seperti agama, politik dan lain sebagainya sangat dipengaruhi
oleh kondisi materi. Deviant pun dilihat juga tidak jauh dari masalah materi.
Bahwa dalam masyarakat ada kelas borjuis dan proletar. Kelas borjuis sering
dianggap berkuasa atas sumber-sumber materi yang ada. Maka ketika sumber materi
hanya dikuasai atau dimiliki oleh kelas borjuis, kelas proletar tidak memiliki
akses atau kepemilikan yang baik akan materi yang sangat dibutuhkan dalam
kehidupan sosial masyarakat. Sehingga kelas proletar identik dengan kaum atau
masyarakat yang tereksklusi. Terlebih lagi borjuis menjadi penentu dalam
pelabelan kaum yang dikatakan termarjinalkan karena tidak dapat menyokong
keberadaan kapitalis.
Kondisi di Indonesia menurut saya
lebih dapat diwadahi dengan pandangan dari Karl Marx. Bahwa memang sekarang ini
kapitalisme menjadi logika atau ideologi sentral dari setiap aspek yang terjadi
dalam masyarakat. Bahwa keberadaan materi dalam hal ini ekonomi menjadi aspek
yang sangat penting bagi masyarakat. Hal ini juga terlihat dari segala
persoalan bahkan persoalan utama di negara ini adalah persoalan ekonomi
khususnya kemiskinan. Faktor utama yang menjadikan beberapa masyarakat
tereksklusi menurut saya adalah karena faktor ekonomi. Mereka yang tidak
memiliki materi secara memadai maka secara langsung maupun tidak langsung sulit
untuk mampu menjalani arus kehidupan sosial dalam segala aspek, bahkan untuk
turut berpartisipasi misalkan dalam hal pendidikan atau untuk bersekolah, dan
lain sebagainya. Seringkali mereka yang miskin adalah mereka yang dianggap
tereksklusi dan merasa dirinya sendiri juga tereksklusi. Terlebih lagi
kapitalis semakin menciptakan logika bahwa materi adalah hal yang utama dalam
mengendalikan arus kehidupan sosial masyarkat. Ketika materi ini mengalami
kesenjangan dalam artian tidak dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat,
maka yang terjadi adalah banyak kasus kriminal dan tindakan menyimpang lainnya
yang terjadi, tidak lain adalah agar kaum yang tereksklusi bisa bertahan hidup
terlepas dari baik buruknya cara yang dilakukan. Bahwa memang masalah eksklusi
sosial tidak dapat dilihat dari kesalahan mereka yang termarjinalkan saja,
butuh penilaian dan penyelesaian yang menyeluruh dari beragamnya indikator
terkait masalah eksklusi sosial ini.
Lebih
Spesifik : Eksklusi Sosial Karena Tubuh dan Stigma (Paper 2)
Dalam fenomena sosial berupa
kesenjangan dan eksklusi sosial ini, saya lebih cenderung kepada aspek eksklusi
sosialnya. Asumsi saya bahwa yang teramat nyata adalah berbagai bentuk
pengeksklusian sosial yang terjadi dan dialami oleh sebagian masyarakat, yang tentunya
menjadi korban dari kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Karena
memang masyarakat tidak dapat terlepas dari berbagai perbedaan khususnya dalam
hal sumber-sumber yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Kesenjangan yang secara porsi sangat besar dialami oleh kelompok-kelompok
masyarakat tertentu, saya rasa biarkan saja menjadi tanggung jawab pemerintah
yang terkadang memang perlu diingatkan akan tanggung jawabnya. Sedangkan
persoalan eksklusi sosial saya rasa semua masyarakat bisa turut berperan dalam
melakukan pengeksklusian terhadap kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.
Salah satunya eksklusi sosial yang
masih dialami oleh kelompok disabilitas misalnya. Kelompok atau
individu-individu yang mengalami kekurangan fisik maupun mental, secara
langsung maupun tidak langsung, secara sadar maupun tidak sadar seringkali termarjinalkan
dari masyarakat secara umum. Peran masyarakat menjadi cukup besar dalam hal
ini. Masyarakat seolah menciptakan sebuah konstruksi sosial perihal tubuh
manusia. Ada standartisasi tentang tubuh yang ideal atau yang sempurna dalam
masyarakat. Tubuh memang menjadi hal yang cukup penting, karena dengan tubuh
lah secara nampak nyata manusia melakukan perjumpaan dengan dunia sosialnya.
Maka masyarakat menganggap performa tubuh menjadi sangat penting, tentunya
tubuh yang secara fisik sempurna. Konstruksi sosial semacam ini menjadikan
mereka yang mengalami disabilitas dianggap tidak memiliki performa tubuh yang
maksimal, anggapan yang sedemikian itu kemudian menjadikan individu yang
mengalami disabilitas dibatasi aksesnya dalam masyarakat.
Fenomena eksklusi sosial yang
lainnya muncul karena sebuah stigma. Stigma adalah penandaan yang memiliki
sifat negatif yang diberikan kepada seseorang, yang kemudian menyebabkan
seseorang tersebut cenderung disingkirkan dari kehidupan sosialnya. Masyarakat
juga saya lihat berperan besar dalam hal ini. Setiap individu, kelompok, maupun
masyarakat memiliki identitas atau atribut atau perangkat yang dimilikinya
masing-masing. Tetapi keberadaannya juga berbeda satu dengan yang lainnya.
Perbedaan yang dianggap tidak sesuai dengan konstruksi sosial masyarakat inilah
yang pada akhirnya memunculkan stigma atau anggapan yang cenderung buruk.
Dampak lanjutannya adalah masyarakat menjadi melakukan proses pelabelan
terhadap apa yang dianggap sebagian besar masyarakat meyimpang. Dampak lebih
lanjutnya lagi adalah memunculkan perlakuan yang diskriminatif. Ada perlakuan
berbeda yang diberikan oleh masyarakat terhadap mereka yang dianggap meyimpang.
Terlebih lagi stigma ini diperkuat dengan berbagai hal seperti bahasa, dan lain
sebagainya.
Masalahnya adalah ketika
standartisasi dalam masyarakat menjadi disalah gunakan, terkadang terlalu
memiliki arti yang sempit, terkadang juga diperluas. Dampaknya adalah banyak
stigma yang diberikan atau dilabelkan terhadap seseorang, yang tidak sesuai dengan
kondisi seseorang tersebut atau sesuai dengan kenyataannya yang memang
seharusnya ada proses kritis baik dalam berpikir maupun bertindak sebelum
memberikan stigma. Dampaknya bukan hanya bagi penerima stigma yang kemudian
dapat mempengaruhi jiwa, proses berpikir, serta tindakannya secara sosial. Bagi
masyarakat pun memberikan stigma yang kurang tepat justru dapat mengancam
keberadaan masyarakat itu sendiri, baik dapat mengganggu stabilitas sistem
maupun struktur sosial yang ada, interaksi sosial dalam masyarakat juga menjadi
sering terganggu karena adanya ancaman dari penerima stigma buruk yang
diberikan oleh masyarakat, maupun yang lainnya. Tetapi memang yang menjadi garis
besarnya bahwa stigma mampu menciptakan proses eksklusi sosial dalam
masyarakat, bahkan dengan bentuk yang baru. Stigma yang kemudian berdampak
terhadap pendiskriminasian juga nyatanya turut dilegitimasi oleh beberapa hal
atau pihak, misal media massa bahkan hukum.
Dalam kondisi yang semakin krisis banyak juga
pemikiran atau pandangan kritis yang mulai muncul. Jika diterapkan dalam hal
ini maka bentuk kritis untuk membongkar konstruk masyarakat tentang stigma,
tubuh cacat, dan yang lainnya adalah dengan membentuk wacana baru yang
memberikan dekonstruksi ulang dari konstruksi sosial masyarakat yang ada.
Harapannya tidak ada lagi anggapan buruk, perlakuan buruk bagi mereka
penyandang cacat, penderita AIDS, dan yang lainnya, tentunya bagi mereka yang
memang secara nyata tidak sesuai dengan anggapan buruk yang diberikan oleh
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar