Nama Kelompok :
Yani Fathur R 1151201001111034
Winantyningsih 115120107111016
Desandy Budi Christya 115120101111032
Sofy Widya U 115120101111012
Yori Windu 115120100111013
M.syahrir
M.syahrir
Buruh
di MNC GAP dan Eksklusi Sosial dalam Pandangan Marxian
Pendahuluan
Masyarakat
kita adalah masyarakat yang berstruktur. Struktur masyarakat yang kemudian
memunculkan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Kelas atas, kelas menengah,
maupun masyarakat kelas bawah. Hal ini kemudian yang menciptakan kesenjangan
dalam masyarakat, karena ada perbedaan antara masing-masing kelas yang ada
dalam masyarakat. Kesenjangan yang ada nampak dalam berbagai kehidupan sosial,
misalnya perbedaan penerimaan layanan kesehatan maupun pendidikan antara
masyarakat kaya dengan masyarakat miskin. Kesenjangan yang pada akhirnya
menimbulkan eksklusi sosial dalam masyarakat. Sebuah kondisi yang memarjinalkan
atau memingggirkan individu maupun kelompok masyarakat tertentu. Salah satunya
adalah kelompok buruh.
Buruh identik dengan masyarakat menengah
ke bawah. Jika melihat kondisi yang sangat makro, Indonesia adalah negara
berkembang yang menggunakan industrialisasi salah satunya untuk memajukan
masyarakatnya. Industrialisasi yang banyak dijumpai di masyarakat yang kemudian
menjadikan jumlah buruh menjadi sangat banyak. Buruh dijadikan pekerjaan baik
pekerjaan sampingan maupun pekerjaan utama oleh sebagian besar masyarakat kita.
Ketika melihat fenomena buruh dalam masyarakat kita, maka sangat banyak hal
yang dapat menjadi perhatian. Nyatanya memang kondisi buruh kita masih belum
layak dan identik dengan kondisi marjinalisasi. Contohnya misalkan dapat dilihat secara prinsip bahwa mereka
menganut prinsip ekonomi dimana para kapitalis yang menyediakan lapangan
pekerja yang sebenarnya selalu mencoba meminimalisir modal dan memaksimalkan
laba yang mereka dapat. Sehingga berbagai cara mereka lakukan untuk
memaksimalkan keuntungan tersebut, termasuk dengan menekan gaji para buruh dengan sistem borongan atau memperlakukan jam
kerja tambahan bagi parah buruh untuk menambah hasil produksi mereka.
Kaum buruh menjadi menarik untuk diungkap
ketika sistem kerja yang diterapkan perusahaan merugikan para pekerja, seperti
mereka digaji dengan harga tertentu dan dengan ketentuan harus
menghasilkan minimal produk tertentu, di sisi lain mereka juga
seringkali mendapatkan gaji yang tidak sesuai atau jauh lebih kecil dari
akumulasi keuntungan yang di dapat perusahaan tersebut. Dengan kondisi
pendapatan tersebut, maka seringkali buruh mengalami eksklusi sosial karena
tidak mampu secara maksimal berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi maupun sosial
misalnya, sehingga tidak mendapatkan layanan yang dapat dinikmati sebagian
besar masyarakat. Yang secara sosiologis ada pandangan Marxian yang sekiranya
sesuai untuk melihat kondisi tersebut, karena salah satunya menyatakan bahwa
kondisi masyarakat dalam hal ini kelompok buruh, dipengaruhi oleh kondisi
materialnya.
Marxisme Menjadi
Pandangan Dunia Kaum Buruh
Dalam tulisan ini penulis mencoba
melihat salah satu gejala kesenjangan dan eksklusi sosial dalam masyarakat
dengan menghadirkan contoh real yakni kondisi buruh di Ibukota Jakarta di salah
satu perusahaan MNC terkenal, dengan mencoba mengintegrasikan teori Marx untuk
mencoba melihat kondisi sosial tersebut secara sosiologis.
Contoh kasus yang ada sebelumnya pernah
digambarkan di sebuah film dokumenter oleh jurnalis Inggris, yang mencoba
melihat kondisi buruh ketika bekerja di perusahaan sebesar GAP, NIKE, Adidas, dan
lainnya. Selain itu juga melihat kondisi kehidupan buruh di luar jam kerjanya.
Sebuah industri besar di Indonesia yang menggambarkan kondisi kita yang
seringkali dikuasai oleh modal dari negara asing. Buruh di perusahaan tersebut
bekerja dengan upah yang rendah, jam kerja yang tidak umum dan tidak teratur
yakni rata-rata selama 16 jam dengan kondisi berdiri belum lagi ketika lembur, dan
ditempatkan di ruang atau tempat bekerja yang kurang baik untuk ukuran tempat
bekerja yang baik yakni satu ruang tidak berAC dengan pekerja kurang lebih 1000
orang. Perintah bos pabrik seolah terus dilegitimasi yang menjadikan buruh
dituntut untuk terus bekerja seolah tanpa ada pilihan lain. Bukan hanya dalam
lingkungan kerja, kondisi kehidupan para
buruh juga memprihatinkan. Misalkan kondisi pemukiman yang kumuh, pemenuhan
kebutuhan hidup yang serba minimal, seolah terisolasi dari kehidupan sosial
yang harus dilakukan secara normal karena jam kerja yang tinggi, dan lain
sebagainya. Tetapi memang para buruh ini harus tetap bekerja untuk kebutuhan
hidupnya.
Marx berpendapat bahwa manusia
dikendalikan oleh faktor di luar dirinya yakni kondisi material. Bahwa sejarah
manusia atau dinamika perkembangan manusia ditentukan juga oleh kondisi
materialnya. Kondisi materialnya yang dimaksudkan Marxian adalah faktor produksi
kebutuhan material manusia, misal perihal apa yang diproduksi dan bagaimana
cara yang digunakan untuk berproduksi. Itulah yang disebut pandangan materialis
oleh Marx, bahwa manusia dianggap sangat ditentukan atau dibentuk oleh
syarat-syarat produksi (Ramly, 2000:133). Jadi untuk melihat dinamika
perkembangan manusia yang harus dilihat atau diperhatikan adalah perihal
bagaimana manusia bekerja atau berproduksi. Hal ini kemudian sejalan dengan
dinamika atau kondisi kehidupan buruh salah satunya buruh di perusahaan GAP
tadi. Bahwa kehidupan buruh yang masih kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan
hidupnya sehari-hari dapat dilihat karena memang kemampuan para buruh untuk
berproduksi sangat rendah.
Buruh seperti yang dikatakan Marx tidak
memiliki faktor-faktor yang memadai seperti alat-alat produksi misalnya. Sehingga
buruh hanya bisa bergantung kepada para pemilik alat-alat produksi yakni dalam
hal ini perusahaan konveksi multinasional tersebut. Buruh yang dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya hanya bisa bekerja kepada pemiliki alat produksi atau
pemilik modal tanpa memiliki banyak pilihan lain untuk bertindak. Dalam
perspektif Marx bahwa historis buruh ini seolah digariskan, atau bahkan diatur
oleh pemilik alat produksi dalam hal ini adalah perusahaan. Untuk dapat
bertahan hidup buruh yang dalam perspektif Marxian termasuk dalam kelas pekerja
dan kelas proletar ini, sangat bergantung kepada kelas borjuis atau kelas
pemilik modal. Sehingga fenomena yang nampak seperti pada contoh kasus di atas
bahwa buruh sangat dikendalikan oleh aturan yang seolah memaksa mereka untuk
bekerja dengan jam, upah, dan cara bekerja yang juga ditentukan juga. Kenyataannya
kondisi buruh selama ini tidak pernah sebanding dengan usaha kerja yang mereka
lakukan khususnya untuk kelas pemilik modal. Seolah buruh akan tetap menjadi
buruh yang berada dalam kelas proletar. Seperti yang dikatakan Marx kelas buruh
ini hanya melakukan pekerjaan yang dikuasai dan diatur oleh kelas atas
(tuan/bos perusahaan) karena mereka sendiri tidak memiliki tempat dan sarana
kerja sendiri, yang terpaksa hanya bisa menjual tenaga mereka kepada kelas
pemilik (Magnis-Suseno, 1999:114).
Ketika berbicara tentang eksklusi sosial
buruh dalam perusahaan tersebut, penulis melihat bahwa buruh yang ada mengalami
eksklusi sosial. Kondisi buruh yang nyatanya masuk dalam masyarakat yang masih
miskin dan tidak mendapatkan akses pekerjaan yang lainnya, kemudian menghalangi
buruh untuk secara aktif berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun
politik. Layanan yang seharusnya para buruh dapatkan juga seolah tidak
didapatkan dan diberikan secara maksimal. Sebuah kondisi yang dikarenakan oleh
faktor keterasingan dan juga akan menciptakan keterasingan baru seperti menurut
pandangan Marxian, yang pada akhirnya merujuk kepada pengeksklusian sosial yang
nantinya akan dibahas selanjutnya dalam tulisan ini.
Berbicara buruh seperti pada contoh
kasus di atas, maka sangat identik dengan pekerjaan. Menurut pandangan Marxian
pekerjaan memang menjadi kebutuhan manusia. Bagi Marx pekerjaan sebagai tanda
bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dan universal (Magnis-Suseno, 2008:119).
Selain itu pekerjaan juga menjadikan manusia berpikir akan dirinya dan
keberadaan dirinya sendiri. Pekerjaan dapat juga bersifat sosial karena
menghubungan manusia-manusia yang pada saat itu sama-sama bekerja dalam ruang
dan waktu yang sama. Dalam contoh kasus buruh di atas sangat berbeda dengan pekerjaan yang
diidealkan oleh pandangan Marxian. Buruh di perusahaan tersebut bekerja seolah
tidak menggambarkan kondisi bebas (setidaknya) perihal pemenuhan hak asasi
manusia para buruh tersebut. Pekerjaan yang dilakukan buruh yakni memproduksi
produk-produk GAP, dan lainnya tersebut, dengan waktu kerja yang cukup lama,
dengan kondisi konsentrasi yang dituntut penuh. Kondisi yang seperti ini ketika
dilihat secara sosial mengurangi bahkan membatasi hubungan sosial para buruh
baik dengan sesama buruh dalam ruangan kerja maupun dengan masyarakat lainnya
di luar aktivitas pekerjaan para buruh tersebut, dan hal ini tentunya merujuk
kepada gejala eksklusi sosial.
Gejala eksklusi sosial yang dalam
pandangan Marxian salah satunya karena keterasingan yang dialami oleh para
buruh tersebut. Fenomena keterasingan yang sangat identik dengan para buruh
dimana mereka dalam pemenuhan hidupnya sehari-hari yakni dengan bekerja sangat
dikendalikan oleh kelas pemiliki modal karena salah satunya tidak memiliki
faktor produksi berupa alat produksi. Keterasingan yang cukup kompleks jika
dilihat dari contoh kasus buruh yang identik sebagai kelas pekerja dan kelas
proletar tersebut. Keterasingan dalam pekerjaan misalnya. Pekerjaan yang
dijalankan individu seharusnya adalah pekerjaan yang menjadi sarana
perealisasian diri manusia, dan seharusnya bekerja harus menggembirakan
(Magnis-Suseno, 1999:95). Bekerja juga semestinya dapat memberikan kepuasaan
bagi yang bekerja. Tetapi pada kasus buruh yang ada bekerja justru mengasingkan
diri dari dirinya sendiri maupun orang lain. Karena bekerja tidak mengembangkan
diri para buruh di perusahaan GAP tersebut, dari pernyataan para buruh yang
tergambar dalam sebuah film dokumenter seolah menggambarkan bahwa para pekerja
tersebut terpaksa melakukan pekerjaannya sebagai syarat untuk bisa bertahan
hidup yakni dengan upah yang diperoleh. Menurut pandangan Marxian hal ini juga
dijelaskan melalui konsep pekerjaan upahan Marx. Pekerjaan upahan adalah
pekerjaan yang faktor utamanya bukan karena ketertarikan pada pekerjaan itu,
tetapi hanya karena pekerja memerlukan upah (Magnis-Suseno, 2008:122).
Selain itu buruh di pabrik GAP tersebut
tidak dapat memiliki hasil pekerjaannya. Mereka bekerja untuk memproduksi
barang yang bernilai jual tinggi, tetapi buruh-buruh tersebut kebanyakan tidak
bisa menikmati barang buatannya dengan membelinya karena upah yang diperoleh
jauh sangat rendah dari harga jual barang tersebut. Menurut Marx hal ini
kemudian menghilangkan arti bekerja bagi para buruh dalam contoh kasus tulisan
ini. Buruh merasa tidak dapat mengembangkan diri, tidak dapat dengan maksimal
memuaskan dirinya sendiri dengan pekerjaan tersebut, pada akhirnya buruh merasa
seolah ‘keluar’ dari dirinya sendiri. Selain itu kondisi buruh yang demikian juga
menyebabkan kondisi yang terasing atau bahkan termarjinalkan dari orang lain. Hubungan
sosial seperti yang telah disebutkan di atas menjadi terputus karena jam kerja
yang padat. Hubungan buruh dengan buruh bahkan buruh dengan pemilik modal juga
dapat terpecah karena adanya kelas-kelas yang terbentuk salah satunya. Bentuknya
misalkan adalah gerakan buruh yang cenderung memberontak yang pada akhirnya
buruh juga menjadi kategori masyarakat yang dieksklusi atau dimarjinalkan oleh
pemilik modal yang mayoritas menguasai sistem negara kita, bahkan dimarjinalkan
oleh negara karena dianggap mengancam.
Kesimpulan
Sebuah kondisi kompleks yang melekat
dengan kondisi buruh di masyarakat kita, yang dapat dilihat bahkan secara
holistik melalui sudut pandang Marxian mulai dari kelas pekerja dan kelas
proletar yang identik dengan buruh, materialisme historis yang menunjukkan
bahwa kondisi buruh yang sedemikian rupa ini karena kebanyakan buruh tidak
memiliki alat maupun modal untuk berproduksi secara mandiri, kemudian merujuk
pada pandangan tentang keterasingan yang menjadi alat analisis untuk melihat kondisi
yang sedang dialami buruh baik secara personal maupun sosial. Yang kemudian
turut menyebabkan terjadinya eksklusi sosial dalam masyarakat khususnya yang
dialami oleh buruh-buruh di Indonesia secara umum. Berbagai kondisi yang
menyebabkan buruh menjadi tidak mampu menentukan nasib hidupnya sendiri secara
bebas karena hak milik yang dipunyai sangat minim. Analoginya buruh tidak mampu
‘mencetak’ uang sendiri. Buruh hanya ‘menadahkan tangan’ kepada pemilik
perusahaan yang menggajinya sesuai dengan ketentuan atau bahkan prinsip
kapitalis yang menjadikan para buruh hanya mendapatkan uang yang sedikit bahkan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Yang pada akhirnya menjadikan kehidupan
buruh masih sangat kekurangan, yang
kemudian kondisi kemiskinan yang demikian ini menjadi penghalang bagi seseorang
untuk dapat secara maksimal memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai aspek,
karena mendapatkan layanan publik yang minim pula sesuai dengan modal minim
yang dimiliki buruh, yang menyebabkan mereka terpinggirkan dalam kehidupan
sosialnya. Proses pengeksklusian sosial baik yang dari dirinya sendiri maupun
dari orang lain. Belum lagi ketika buruh melakukan pergolakan yang sekiranya
mengancam sistem dalam masyarakat. Maka secara tegas akan disingkirkan dari
sistem masyarakat secara sosial.
Daftar Pustaka :
Magnis-Suseno,
Franz. 1999. Pemikiran Karl Marx.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Magnis-Suseno,
Franz. 2008. Pijar-pijar Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Ramly,
Andi M. 2000. Peta Pemikiran Karl Marx.
Yogyakarta: LKis.
Brbicara masalah ekslusi pada buruh dalam tinjauan marx.. Saya teringat tentang "nilai tukar, nilai guna, dan nilai lebih" yang dijelaskan marx. Seperti halnya perusahaan sperti MNC, GAP, ADIDAS, NIKE, dan Multicoorporate lainnya, tentu mengutmakan tiga hal tersbut dalam menghasilkan profit. Seorang buruh akan bekerja sesuai dengan ketentuan perusahaan demi mencapai produk barang yang berkualitas diselsaikan dalam waktu yang efektif.
BalasHapusMarx memimpikan perjuangan buruh untuk mencapai masyarakat tanpa kelas, namun pada kenyataanya yang ada malah "sorang buruh hidup dalam ruang kekuasaan" dituntut untuk mengikuti dan melakukan apa yang diperintah pimpinan.
Menurut pengamatan saya, ekslusi sosial yang terjadi pada buruh ialah ada tiga hal; 1. Pembagian posisi kerja, seorang buruh akan berperan ssuai dengan kedudukannya, misal (HRD, Supervisior, dan bidang personalia) srta buruh dibagian produksi barang. Mereka bekerja ssuai porsinya, dan digaji sesuai dngan kedudukannya. Pada situasi ini, terjadinya perbedaan upah akan mempengaruhi pendapatan, kebutuhan personal/family, fasilias, padangan hidup, dan rasa penghomatan dari orang lain. Sehingga ruang ekslusi sosial diproduksi oleh peraturan perusahaan.
2. Relasi dan skill, dalam hal ini tentunya perusahaan juga melihat potensi dan skill yang dimiliki oleh buruh. Potensi tersebut diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang disertai oleh ketersediaan materil. Sedangkan pentingnya relasi ialah untuk mempermudah membangun kepercayaan dan timbal balik dalam bekerjasma oleh pihak prusahaan.. Klo begitu benar lagunya OM Rhoma "Yang kaya smakin Kaya, yang miskin smakin miskin".. Ternyata hidup itu butuh perjuangan..hehe
3. Mental sebagai produksi keluarga. Menurut data dari beberapa sumber, menyatakan bahwa rata-rata orang indonesia menjadi buruh ialah karena produksi keluarga asal dan kondisi ekonomi, yang membiasakan untuk bergantung daripada berinovasi. Misalkan buruh dari kluarga (RTM), dan buruh lulusan pendidikan SMA.
Keberadaan sperti ini yang semakin mengantarkan pemosisian seorang buruh berada dalam ruang ekslusi. apalagi keadaaan skarang dikenal dengan adanya outsourching, yang mengutamakan kinerja dan karya buruh diperusahaan.
Menurut BPS, menytakan bahwa pengangguran di indonesia sebesar 7,5 juta jiwa.. angka ini menurut perwakilan Perserikatan Buruh Indonesia harus dicarikan solusi dengan cara penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan di Indonesia. 'Secara tidak langsug 7,5 menjadi calon ekslusi sosial.
setuju, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa memang perusahaan salah satu penyerap tenaga kerja tebanyak. persoalan buruh memang melibatkan struktur yang makro dalam artian peran pemerintah membangun sistem yang melindungi buruh menjadi sangat penting. jangan-jangan pemerintah tidak tahu soal kondisi buruh yang bekerja ekstra keras, jam istirahat sedikit, ruang kerja penuh-sesak seperti dalam kasus di atas, atau tahu tetapi cukup lemah untuk bertindak?! karena yang membuat buruh tereksklusi, terbatas aktivitasnya dalam bidang publik yang lainnya, dan untuk menikmati layanan publik yang lainnya adalah karena sistem perusahanan seolah mengkandangkan para buruh, yang pada akhirnya dalam konsep kesenjangan dan eksklusi sosial menyebabkan psychological harm and misery yakni mengalami tekanan sosiologis dan psikologis yang mengakibatkan kondisi buruh jarang sekali mengalami perubahan. Juga menjadi dilematis ketika 3 diskursus eksklusi sosial oleh Pierson yang salah satunya tentang SID (social integration discourse) yang difokuskan kepada cara menanggulangan masyarakat yang tereksklusi dengan meningkatkan integrasi pasar yang salah satu artinya juga semakin banyak membutuhkan buruh dan tenaga buruh untuk terus memproduksi produk pasar..
BalasHapusTapi di sisi lain kaum pemilik modal sangat bergantung kepada kaum buruh dalam akumulasi modal
BalasHapusjika bicara tentang praksis kerja, secara logika kita hanya dihadapkan pada 2 pilihan, kalau kita tidak bekerja untuk orang lain ya kita mempekerjakan orang lain. jadi menurut saya tepat sekali kalau marx menggagas kajian mengenai ''kontrol'' untuk melengkapi kajian baru tentang devian. sehingga disini lebih menekankan bagaimana kita melihat masih banyak kontrol dari pemerintah yang kurang sehingga ekslusi yang di alami para buruh perlu di kaji.
BalasHapusSeharusnya pemerintah memperjuangkan hak-hak buruh yang selama ini hak-hak mereka di rampas oleh perusahaan. hal ini dimaksudkan agar buruh itu tidak terekslusi dalam bekerja.
BalasHapus