Rabu, 25 Juni 2014

Buruh dan Eksklusi Sosial dalam Marxian (Kelompok 1)



Nama Kelompok :
Yani Fathur R                  1151201001111034                        
Winantyningsih                 115120107111016        
Desandy Budi Christya    115120101111032                                  
Sofy Widya U                 115120101111012                                 
Yori Windu                     115120100111013
M.syahrir





 Buruh di MNC GAP dan Eksklusi Sosial dalam Pandangan Marxian
Pendahuluan
Masyarakat kita adalah masyarakat yang berstruktur. Struktur masyarakat yang kemudian memunculkan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Kelas atas, kelas menengah, maupun masyarakat kelas bawah. Hal ini kemudian yang menciptakan kesenjangan dalam masyarakat, karena ada perbedaan antara masing-masing kelas yang ada dalam masyarakat. Kesenjangan yang ada nampak dalam berbagai kehidupan sosial, misalnya perbedaan penerimaan layanan kesehatan maupun pendidikan antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin. Kesenjangan yang pada akhirnya menimbulkan eksklusi sosial dalam masyarakat. Sebuah kondisi yang memarjinalkan atau memingggirkan individu maupun kelompok masyarakat tertentu. Salah satunya adalah kelompok buruh.
Buruh identik dengan masyarakat menengah ke bawah. Jika melihat kondisi yang sangat makro, Indonesia adalah negara berkembang yang menggunakan industrialisasi salah satunya untuk memajukan masyarakatnya. Industrialisasi yang banyak dijumpai di masyarakat yang kemudian menjadikan jumlah buruh menjadi sangat banyak. Buruh dijadikan pekerjaan baik pekerjaan sampingan maupun pekerjaan utama oleh sebagian besar masyarakat kita. Ketika melihat fenomena buruh dalam masyarakat kita, maka sangat banyak hal yang dapat menjadi perhatian. Nyatanya memang kondisi buruh kita masih belum layak dan identik dengan kondisi marjinalisasi. Contohnya misalkan  dapat dilihat secara prinsip bahwa mereka menganut prinsip ekonomi dimana para kapitalis yang menyediakan lapangan pekerja yang sebenarnya selalu mencoba meminimalisir modal dan memaksimalkan laba yang mereka dapat. Sehingga berbagai cara mereka lakukan untuk memaksimalkan keuntungan tersebut, termasuk dengan menekan gaji para buruh  dengan sistem borongan atau memperlakukan jam kerja tambahan bagi parah buruh untuk menambah hasil produksi mereka. 
Kaum buruh menjadi menarik untuk diungkap ketika sistem kerja yang diterapkan perusahaan merugikan para pekerja, seperti mereka digaji dengan harga tertentu dan dengan ketentuan  harus  menghasilkan minimal produk tertentu, di sisi lain mereka juga seringkali mendapatkan gaji yang tidak sesuai atau jauh lebih kecil dari akumulasi keuntungan yang di dapat perusahaan tersebut. Dengan kondisi pendapatan tersebut, maka seringkali buruh mengalami eksklusi sosial karena tidak mampu secara maksimal berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi maupun sosial misalnya, sehingga tidak mendapatkan layanan yang dapat dinikmati sebagian besar masyarakat. Yang secara sosiologis ada pandangan Marxian yang sekiranya sesuai untuk melihat kondisi tersebut, karena salah satunya menyatakan bahwa kondisi masyarakat dalam hal ini kelompok buruh, dipengaruhi oleh kondisi materialnya.
Marxisme Menjadi Pandangan Dunia Kaum Buruh
Dalam tulisan ini penulis mencoba melihat salah satu gejala kesenjangan dan eksklusi sosial dalam masyarakat dengan menghadirkan contoh real yakni kondisi buruh di Ibukota Jakarta di salah satu perusahaan MNC terkenal, dengan mencoba mengintegrasikan teori Marx untuk mencoba melihat kondisi sosial tersebut secara sosiologis.
Contoh kasus yang ada sebelumnya pernah digambarkan di sebuah film dokumenter oleh jurnalis Inggris, yang mencoba melihat kondisi buruh ketika bekerja di perusahaan sebesar GAP, NIKE, Adidas, dan lainnya. Selain itu juga melihat kondisi kehidupan buruh di luar jam kerjanya. Sebuah industri besar di Indonesia yang menggambarkan kondisi kita yang seringkali dikuasai oleh modal dari negara asing. Buruh di perusahaan tersebut bekerja dengan upah yang rendah, jam kerja yang tidak umum dan tidak teratur yakni rata-rata selama 16 jam dengan kondisi berdiri belum lagi ketika lembur, dan ditempatkan di ruang atau tempat bekerja yang kurang baik untuk ukuran tempat bekerja yang baik yakni satu ruang tidak berAC dengan pekerja kurang lebih 1000 orang. Perintah bos pabrik seolah terus dilegitimasi yang menjadikan buruh dituntut untuk terus bekerja seolah tanpa ada pilihan lain. Bukan hanya dalam lingkungan  kerja, kondisi kehidupan para buruh juga memprihatinkan. Misalkan kondisi pemukiman yang kumuh, pemenuhan kebutuhan hidup yang serba minimal, seolah terisolasi dari kehidupan sosial yang harus dilakukan secara normal karena jam kerja yang tinggi, dan lain sebagainya. Tetapi memang para buruh ini harus tetap bekerja untuk kebutuhan hidupnya.
Marx berpendapat bahwa manusia dikendalikan oleh faktor di luar dirinya yakni kondisi material. Bahwa sejarah manusia atau dinamika perkembangan manusia ditentukan juga oleh kondisi materialnya. Kondisi materialnya yang dimaksudkan Marxian adalah faktor produksi kebutuhan material manusia, misal perihal apa yang diproduksi dan bagaimana cara yang digunakan untuk berproduksi. Itulah yang disebut pandangan materialis oleh Marx, bahwa manusia dianggap sangat ditentukan atau dibentuk oleh syarat-syarat produksi (Ramly, 2000:133). Jadi untuk melihat dinamika perkembangan manusia yang harus dilihat atau diperhatikan adalah perihal bagaimana manusia bekerja atau berproduksi. Hal ini kemudian sejalan dengan dinamika atau kondisi kehidupan buruh salah satunya buruh di perusahaan GAP tadi. Bahwa kehidupan buruh yang masih kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari dapat dilihat karena memang kemampuan para buruh untuk berproduksi sangat rendah.
Buruh seperti yang dikatakan Marx tidak memiliki faktor-faktor yang memadai seperti alat-alat produksi misalnya. Sehingga buruh hanya bisa bergantung kepada para pemilik alat-alat produksi yakni dalam hal ini perusahaan konveksi multinasional tersebut. Buruh yang dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya hanya bisa bekerja kepada pemiliki alat produksi atau pemilik modal tanpa memiliki banyak pilihan lain untuk bertindak. Dalam perspektif Marx bahwa historis buruh ini seolah digariskan, atau bahkan diatur oleh pemilik alat produksi dalam hal ini adalah perusahaan. Untuk dapat bertahan hidup buruh yang dalam perspektif Marxian termasuk dalam kelas pekerja dan kelas proletar ini, sangat bergantung kepada kelas borjuis atau kelas pemilik modal. Sehingga fenomena yang nampak seperti pada contoh kasus di atas bahwa buruh sangat dikendalikan oleh aturan yang seolah memaksa mereka untuk bekerja dengan jam, upah, dan cara bekerja yang juga ditentukan juga. Kenyataannya kondisi buruh selama ini tidak pernah sebanding dengan usaha kerja yang mereka lakukan khususnya untuk kelas pemilik modal. Seolah buruh akan tetap menjadi buruh yang berada dalam kelas proletar. Seperti yang dikatakan Marx kelas buruh ini hanya melakukan pekerjaan yang dikuasai dan diatur oleh kelas atas (tuan/bos perusahaan) karena mereka sendiri tidak memiliki tempat dan sarana kerja sendiri, yang terpaksa hanya bisa menjual tenaga mereka kepada kelas pemilik (Magnis-Suseno, 1999:114).
Ketika berbicara tentang eksklusi sosial buruh dalam perusahaan tersebut, penulis melihat bahwa buruh yang ada mengalami eksklusi sosial. Kondisi buruh yang nyatanya masuk dalam masyarakat yang masih miskin dan tidak mendapatkan akses pekerjaan yang lainnya, kemudian menghalangi buruh untuk secara aktif berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik. Layanan yang seharusnya para buruh dapatkan juga seolah tidak didapatkan dan diberikan secara maksimal. Sebuah kondisi yang dikarenakan oleh faktor keterasingan dan juga akan menciptakan keterasingan baru seperti menurut pandangan Marxian, yang pada akhirnya merujuk kepada pengeksklusian sosial yang nantinya akan dibahas selanjutnya dalam tulisan ini.
Berbicara buruh seperti pada contoh kasus di atas, maka sangat identik dengan pekerjaan. Menurut pandangan Marxian pekerjaan memang menjadi kebutuhan manusia. Bagi Marx pekerjaan sebagai tanda bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dan universal (Magnis-Suseno, 2008:119). Selain itu pekerjaan juga menjadikan manusia berpikir akan dirinya dan keberadaan dirinya sendiri. Pekerjaan dapat juga bersifat sosial karena menghubungan manusia-manusia yang pada saat itu sama-sama bekerja dalam ruang dan waktu yang sama. Dalam contoh kasus buruh di  atas sangat berbeda dengan pekerjaan yang diidealkan oleh pandangan Marxian. Buruh di perusahaan tersebut bekerja seolah tidak menggambarkan kondisi bebas (setidaknya) perihal pemenuhan hak asasi manusia para buruh tersebut. Pekerjaan yang dilakukan buruh yakni memproduksi produk-produk GAP, dan lainnya tersebut, dengan waktu kerja yang cukup lama, dengan kondisi konsentrasi yang dituntut penuh. Kondisi yang seperti ini ketika dilihat secara sosial mengurangi bahkan membatasi hubungan sosial para buruh baik dengan sesama buruh dalam ruangan kerja maupun dengan masyarakat lainnya di luar aktivitas pekerjaan para buruh tersebut, dan hal ini tentunya merujuk kepada gejala eksklusi sosial.
Gejala eksklusi sosial yang dalam pandangan Marxian salah satunya karena keterasingan yang dialami oleh para buruh tersebut. Fenomena keterasingan yang sangat identik dengan para buruh dimana mereka dalam pemenuhan hidupnya sehari-hari yakni dengan bekerja sangat dikendalikan oleh kelas pemiliki modal karena salah satunya tidak memiliki faktor produksi berupa alat produksi. Keterasingan yang cukup kompleks jika dilihat dari contoh kasus buruh yang identik sebagai kelas pekerja dan kelas proletar tersebut. Keterasingan dalam pekerjaan misalnya. Pekerjaan yang dijalankan individu seharusnya adalah pekerjaan yang menjadi sarana perealisasian diri manusia, dan seharusnya bekerja harus menggembirakan (Magnis-Suseno, 1999:95). Bekerja juga semestinya dapat memberikan kepuasaan bagi yang bekerja. Tetapi pada kasus buruh yang ada bekerja justru mengasingkan diri dari dirinya sendiri maupun orang lain. Karena bekerja tidak mengembangkan diri para buruh di perusahaan GAP tersebut, dari pernyataan para buruh yang tergambar dalam sebuah film dokumenter seolah menggambarkan bahwa para pekerja tersebut terpaksa melakukan pekerjaannya sebagai syarat untuk bisa bertahan hidup yakni dengan upah yang diperoleh. Menurut pandangan Marxian hal ini juga dijelaskan melalui konsep pekerjaan upahan Marx. Pekerjaan upahan adalah pekerjaan yang faktor utamanya bukan karena ketertarikan pada pekerjaan itu, tetapi hanya karena pekerja memerlukan upah (Magnis-Suseno, 2008:122).
Selain itu buruh di pabrik GAP tersebut tidak dapat memiliki hasil pekerjaannya. Mereka bekerja untuk memproduksi barang yang bernilai jual tinggi, tetapi buruh-buruh tersebut kebanyakan tidak bisa menikmati barang buatannya dengan membelinya karena upah yang diperoleh jauh sangat rendah dari harga jual barang tersebut. Menurut Marx hal ini kemudian menghilangkan arti bekerja bagi para buruh dalam contoh kasus tulisan ini. Buruh merasa tidak dapat mengembangkan diri, tidak dapat dengan maksimal memuaskan dirinya sendiri dengan pekerjaan tersebut, pada akhirnya buruh merasa seolah ‘keluar’ dari dirinya sendiri. Selain itu kondisi buruh yang demikian juga menyebabkan kondisi yang terasing atau bahkan termarjinalkan dari orang lain. Hubungan sosial seperti yang telah disebutkan di atas menjadi terputus karena jam kerja yang padat. Hubungan buruh dengan buruh bahkan buruh dengan pemilik modal juga dapat terpecah karena adanya kelas-kelas yang terbentuk salah satunya. Bentuknya misalkan adalah gerakan buruh yang cenderung memberontak yang pada akhirnya buruh juga menjadi kategori masyarakat yang dieksklusi atau dimarjinalkan oleh pemilik modal yang mayoritas menguasai sistem negara kita, bahkan dimarjinalkan oleh negara karena dianggap mengancam.
Kesimpulan
Sebuah kondisi kompleks yang melekat dengan kondisi buruh di masyarakat kita, yang dapat dilihat bahkan secara holistik melalui sudut pandang Marxian mulai dari kelas pekerja dan kelas proletar yang identik dengan buruh, materialisme historis yang menunjukkan bahwa kondisi buruh yang sedemikian rupa ini karena kebanyakan buruh tidak memiliki alat maupun modal untuk berproduksi secara mandiri, kemudian merujuk pada pandangan tentang keterasingan yang menjadi alat analisis untuk melihat kondisi yang sedang dialami buruh baik secara personal maupun sosial. Yang kemudian turut menyebabkan terjadinya eksklusi sosial dalam masyarakat khususnya yang dialami oleh buruh-buruh di Indonesia secara umum. Berbagai kondisi yang menyebabkan buruh menjadi tidak mampu menentukan nasib hidupnya sendiri secara bebas karena hak milik yang dipunyai sangat minim. Analoginya buruh tidak mampu ‘mencetak’ uang sendiri. Buruh hanya ‘menadahkan tangan’ kepada pemilik perusahaan yang menggajinya sesuai dengan ketentuan atau bahkan prinsip kapitalis yang menjadikan para buruh hanya mendapatkan uang yang sedikit bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Yang pada akhirnya menjadikan kehidupan buruh masih  sangat kekurangan, yang kemudian kondisi kemiskinan yang demikian ini menjadi penghalang bagi seseorang untuk dapat secara maksimal memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai aspek, karena mendapatkan layanan publik yang minim pula sesuai dengan modal minim yang dimiliki buruh, yang menyebabkan mereka terpinggirkan dalam kehidupan sosialnya. Proses pengeksklusian sosial baik yang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Belum lagi ketika buruh melakukan pergolakan yang sekiranya mengancam sistem dalam masyarakat. Maka secara tegas akan disingkirkan dari sistem masyarakat secara sosial.
Daftar Pustaka :
Magnis-Suseno, Franz. 1999. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Magnis-Suseno, Franz. 2008. Pijar-pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Ramly, Andi M. 2000. Peta Pemikiran Karl Marx. Yogyakarta: LKis.



5 komentar:

  1. Brbicara masalah ekslusi pada buruh dalam tinjauan marx.. Saya teringat tentang "nilai tukar, nilai guna, dan nilai lebih" yang dijelaskan marx. Seperti halnya perusahaan sperti MNC, GAP, ADIDAS, NIKE, dan Multicoorporate lainnya, tentu mengutmakan tiga hal tersbut dalam menghasilkan profit. Seorang buruh akan bekerja sesuai dengan ketentuan perusahaan demi mencapai produk barang yang berkualitas diselsaikan dalam waktu yang efektif.

    Marx memimpikan perjuangan buruh untuk mencapai masyarakat tanpa kelas, namun pada kenyataanya yang ada malah "sorang buruh hidup dalam ruang kekuasaan" dituntut untuk mengikuti dan melakukan apa yang diperintah pimpinan.

    Menurut pengamatan saya, ekslusi sosial yang terjadi pada buruh ialah ada tiga hal; 1. Pembagian posisi kerja, seorang buruh akan berperan ssuai dengan kedudukannya, misal (HRD, Supervisior, dan bidang personalia) srta buruh dibagian produksi barang. Mereka bekerja ssuai porsinya, dan digaji sesuai dngan kedudukannya. Pada situasi ini, terjadinya perbedaan upah akan mempengaruhi pendapatan, kebutuhan personal/family, fasilias, padangan hidup, dan rasa penghomatan dari orang lain. Sehingga ruang ekslusi sosial diproduksi oleh peraturan perusahaan.

    2. Relasi dan skill, dalam hal ini tentunya perusahaan juga melihat potensi dan skill yang dimiliki oleh buruh. Potensi tersebut diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang disertai oleh ketersediaan materil. Sedangkan pentingnya relasi ialah untuk mempermudah membangun kepercayaan dan timbal balik dalam bekerjasma oleh pihak prusahaan.. Klo begitu benar lagunya OM Rhoma "Yang kaya smakin Kaya, yang miskin smakin miskin".. Ternyata hidup itu butuh perjuangan..hehe

    3. Mental sebagai produksi keluarga. Menurut data dari beberapa sumber, menyatakan bahwa rata-rata orang indonesia menjadi buruh ialah karena produksi keluarga asal dan kondisi ekonomi, yang membiasakan untuk bergantung daripada berinovasi. Misalkan buruh dari kluarga (RTM), dan buruh lulusan pendidikan SMA.
    Keberadaan sperti ini yang semakin mengantarkan pemosisian seorang buruh berada dalam ruang ekslusi. apalagi keadaaan skarang dikenal dengan adanya outsourching, yang mengutamakan kinerja dan karya buruh diperusahaan.

    Menurut BPS, menytakan bahwa pengangguran di indonesia sebesar 7,5 juta jiwa.. angka ini menurut perwakilan Perserikatan Buruh Indonesia harus dicarikan solusi dengan cara penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan di Indonesia. 'Secara tidak langsug 7,5 menjadi calon ekslusi sosial.

    BalasHapus
  2. setuju, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa memang perusahaan salah satu penyerap tenaga kerja tebanyak. persoalan buruh memang melibatkan struktur yang makro dalam artian peran pemerintah membangun sistem yang melindungi buruh menjadi sangat penting. jangan-jangan pemerintah tidak tahu soal kondisi buruh yang bekerja ekstra keras, jam istirahat sedikit, ruang kerja penuh-sesak seperti dalam kasus di atas, atau tahu tetapi cukup lemah untuk bertindak?! karena yang membuat buruh tereksklusi, terbatas aktivitasnya dalam bidang publik yang lainnya, dan untuk menikmati layanan publik yang lainnya adalah karena sistem perusahanan seolah mengkandangkan para buruh, yang pada akhirnya dalam konsep kesenjangan dan eksklusi sosial menyebabkan psychological harm and misery yakni mengalami tekanan sosiologis dan psikologis yang mengakibatkan kondisi buruh jarang sekali mengalami perubahan. Juga menjadi dilematis ketika 3 diskursus eksklusi sosial oleh Pierson yang salah satunya tentang SID (social integration discourse) yang difokuskan kepada cara menanggulangan masyarakat yang tereksklusi dengan meningkatkan integrasi pasar yang salah satu artinya juga semakin banyak membutuhkan buruh dan tenaga buruh untuk terus memproduksi produk pasar..

    BalasHapus
  3. Tapi di sisi lain kaum pemilik modal sangat bergantung kepada kaum buruh dalam akumulasi modal

    BalasHapus
  4. jika bicara tentang praksis kerja, secara logika kita hanya dihadapkan pada 2 pilihan, kalau kita tidak bekerja untuk orang lain ya kita mempekerjakan orang lain. jadi menurut saya tepat sekali kalau marx menggagas kajian mengenai ''kontrol'' untuk melengkapi kajian baru tentang devian. sehingga disini lebih menekankan bagaimana kita melihat masih banyak kontrol dari pemerintah yang kurang sehingga ekslusi yang di alami para buruh perlu di kaji.

    BalasHapus
  5. Seharusnya pemerintah memperjuangkan hak-hak buruh yang selama ini hak-hak mereka di rampas oleh perusahaan. hal ini dimaksudkan agar buruh itu tidak terekslusi dalam bekerja.

    BalasHapus