Nama Kelompok 3:
Imam Bukhori (115120100111021)
Hallanita Prabawati (115120101111025)
Diva Trifindaardy (115120101111004)
Gagar Mayang (115120107111046)
Hildam Ismoyo (115120100111025)
Fajar Dwi S.F (115120107111006)
Santoso (105120100111036)
Foto
ini diambil pada kelompok disabilitas yang sedang berkumpul dengan volunteer.
Yang melakukan diskusi bersama atau bertukar pikiran satu dengan yang lain.
Dilain kesibukan kuliah mereka menyepatkan untuk kumpul bersama.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKeterbatasan fisik bukan menjadi perbedaan dan halangan bagi penyandang dsabilitas untuk tidak memperoleh hak yg sama seperti yg lain dalam fisik yg normal. Setiap individu memiliki hak yg sama, tidak memandang perbedaan baik suku, budaya, etnis, agama maupun kondisi fisik. Namun realitasnya pada masyarakat Indonesia, penyandang disabilitas sering dipandang sebelah mata terutama dalam memperoleh hak yg sama. Padahal ada sebagian dari mereka ( Difabel) memiliki kemampuan untuk bekerja seperti individu yg normal. Maka tidak selayaknya ada pembedaan hak bagi mereka, keadilan untuk memiliki kesempatan yg sama harus diperjuangkan.
BalasHapusyang menurut Mike Oliver tidak ada yang cacat, yang ada hanyalah orang yang menganggapnya cacat, hehe
HapusSalah satu hal lain yang membuat penyandang disabilitas untuk maju adalah kurangnya sarana dan prasarana penunjang aktivitas dari penyandang disabilitas itu sendiri.
BalasHapussetuju Igeng, karena memang yang menyebabkan mereka tereksklusi karena tidak adanya fasilitas yang khusus dan memadai agar mereka mampu berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial secara umum
HapusBerbeda pandangan dengan Mike Oliver yang mengatakan bahwa tubuh yang berbeda justru menjadi objek masyarakat dimana kenormalan tubuh dimaknai dalam masyarakat yang memiliki 2 tangan dan 2 kaki yang lengkap kemudian mampu melihat, mendengar dan berbicara. Akan tetapi, ada beberapa individu yang tidak memiliki salah satu aspek kenormalan tersebut sehingga menjadi berbeda dengan orang-orang normal di masyarakat. Inilah yang kemudian menjelaskan bahwa lingkungan yang menentukan tubuh. Lingkungan menjadikan orang-orang diluar individu yang normal menjadi “dis” atau tidak mampu dalam mengakses pelayanan publik. Sebagai contoh, tuna daksa yang kesulitan mencapai lantai 2 karena akses tangga yang tidak disesuaikan dengan kemampuan si tuna daksa. Seharusnya, lingkungan memberikan akses lantai 2 dengan tangga yang landai sehingga tuna daksa mampu berjalan dan tidak merasa kesulitan. Apabila lingkungan mampu memberikan akses yang memudahkan bagi difabel maka yang akan terjadi sebenarnya adalah penyebutan difabel itu tidak akan ada. Karena antara difabel dan yang normal sama-sama mampu mengakses pelayanan publik dengan mudah. Disisi lain, pembentukan lingkungan yang berbeda menurut Oliver merupakan salah satu strategi kapitalisme dan materialisme untuk membuat perbedaan akses tersebut. Strategi ini tentu bukan tanpa alasan yang adil karena pada dasarnya mengandung sebuah kepentingan yang memihak, inilah yang berusaha dijelaskan dalam foto yang dibagikan bahwa lingkungan kampus di Universitas Brawijaya juga memiliki media yang menyediakan kaum difabel. selain itu para volunter juga membantu mereka berdiskusi bersama sehingga mereka tidak akan merasa dibedakan dengan orang lainnya
BalasHapussetuju dengan Nienda yang menyatakan bahwa di UB ini kaum difabel tidak di bedakan dengan orang normal secara fisik. saya melihat walaupun mempunyai banyak kekurangan fisik, para diffabel ini banyak yang mempunyai segudang prestasi sama dengan orang normal, malah menonjol prestasinya. Namun hanya lingkungan saja yang menjadikan "dis" dan melabelkan para diffabel negatif seperti diffabel itu tidak berguna. Jika kita sadar akan kelebihan para diffabel, maka yang semestinya dikatakan "tidak normal "itu adalah orang-orang yang lengkap fisiknya (tidak cacat). karena belum tentu orang yang fisiknya sempurna bisa melakukan hal-hal yang menakjubkan seperti yang di lakukan oleh para diffabel. Para diffabel ini jika di berikan akses yang sama dengan orang normal lainnya maka mereka akan bisa berkembang.
HapusSekali lagi dalam konteks pemikiran Butler, permasalahan kesenjangan yang kemudian menimpa teman-teman kita yang diidentifikasi sebagai individu yang berfrase "dis" didepannya sebagai hasil konstruksi yang "membeda" dengan yang "normal" maka menjadi gagal. Butler saya melihatnya begitu humanis, karena kemudian pemikirannya bersandar dan berangkat dari diri atau self itu sendiri, bagaimana ia "menghadirkan" definisi bagi dirinya sendiri. Dalam Butler yang kemudian menjadi terpenting adalah bagaimana diri mampu mempunyai kinerja (performance) dan juga mempunyai pengalaman maka kemudian mereka tidak bisa dikatakan tidak atau "dis". Dalam konteks ini kemudian bila difabel mempunyai kinerja dan pengalaman yang kemudian sama, karena pernah sama-sama melewati pendidikan dasar dari SD sampai SMA ketika kuliah kemudian menjadi suatu hal yang sama saja dan biasa saja, tidak kemudian dikatakan "membeda" pada entitas yang dianggap "normal".
BalasHapusdan lagi lagi kapitalisme yang mampu turut menyokong performa seseorang agar sesuai dengan harapan Butler yang humanis.
Hapuskebanyakan masyrakat melihat induvidu yang memiliki tubuh berbeda adalah dianggap tidak normal difabel. sehingga lingkungan dan masyrakatlah yang menentukan bahwasanya induvidu itu normal atau tidaknya dengan keterbatasan fasilitas yang dapat di akses. diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat nelainkan lingkungan tempat difabel seperti fasilitas yang tak dapat di akses oleh golongan difabel.
BalasHapusnamun pada foto ini terbukti bahwa diffable dapat memperoleh akses layak untuk mendapatkan pendidikan sekaligus teman-teman yang mengerti akan kondisi fisiknya, ini menjadi inspirasi bagi kita semua.
BalasHapusbanyak yang beranggapan bahwa difabel berbeda dengan orang normal, terlebih lagi hak-hak difabel dibedakan dengan orang normal, hal ini dikarenakan difabel dianggap lemah dalam masyarakat, padahal difabel pun bisa melakukan atau menjalankan aktivitas seperti orang normal, untuk itu sudah selayaknya pemerintah dan instansi-instansi lainnya memberikan hak dan fasilitas kepada difabel.
BalasHapusnamun menurut saya instansi pendidikan sudah memberikan fasilitas kepada difabel khususnya di universitas brawijaya namun belum merata, dalam beberapa perusahaan pun perusahaan telah memberikan kesempatan kepada difabel untuk berkesempatan bekerja di perusahaan walau masih minim yakni 1%, dalam pertelevisian pun hak untuk difabel sudah mulai terpenuhi tetapi masih minim, ini terlihat ada pada acara debat pilpres...
(Ramdani)
Menarik ini pendapat terakhir dari Ramdani, yang menyoroti pilpres begitu faktual. oiya konteks perempuan yang kemudian anggapannya diidentifikasi sebagai jenis kelamin kedua (second sex) dan berada di bawah dari posisi laki-laki pada masyarakat yang begitu patriarki di Indonesia ini. Lihat moderator dalam debat pilpres yang sudah diselenggarakan, ketiga-tiganya adalah laki-laki mulai dari Zainal Arifin, Ahmad Erani, Hikmahanto Juwana. Namun tidak pada debat ke-empat akan dimoderatori oleh Ibu Dwikorita Karnawati. Salute!
BalasHapusiya bung ageng, semoga momen ini (fasilitas difabel di debat pilpres) tidak hanya menjelang pilpres saja, semoga kedepanya dapat ditambah, dalam indutri pertelevisian pun sudah terlihat di TVRI namun hanya di program berita saja... semoga semua intansi di indonesia mampu menyediakan fasilitas dan memberikan hak yang sepantasnya kepada difabel
Hapus(Ramdani)
haha setuju, iklim patriarki yang masih cukup kuat. mungkin di debat pilpres selanjutnya saya mengajukan CV untuk mendaftar sebagai moderator, agar posisi wanita dipertimbangkan sbg moderator, hehehe
Hapusjangan hanya melaht seseorang dari fisik, tapi lihatlah seseorang dari kemampuannya untuk melakukan suatu hal yang terbaik,karena fisik bukan menjadi halangan bagi penyandang dsabilitas. kebanyakan masyarakat melihat orang difabel seperti orang yang aneh karena dalam tubuhnya ada yang kurang. untuk pemerintah dan masyarakatjika melakukan pembangunan (contohnya akses jalan) juga harus memikirkan teman-teman difabel. contohnya seperti tuna daksa yang ingin shalat dalam masjid, teman-teman difabel tidak mengalami kesulitan unutk masuk karena pintu masuk masjid ada tangga dikit, jadi unutuk pemerintah dan masyarakat jika melakukan pembangunan juga harus memikirkan teman-teman difabel, karena difabel juga mempunyai hak dalam mendapatkan pelayanan publik seperti orang normal
BalasHapusdifabel itu dikatakan sebagai yang tereksklusi karena tubuh yang mereka miliki berbeda dengan tubuh orang pada umumnya, seperti yang dikatakan oleh Mike Oliver bahwa tubuh yang berbeda itu menjadi objek. lingkunganlah yang menentukan tubuh seseorang. orang dikatakan normal apabila orang tersebut memiliki fisik lengkap yang seperti yang pada umumnya dan orang dikatakan tidak normal ketika orang tersebut tidak memiliki fisik yang lengkap. anggapan tersebutlah yang menjadikan orang-orang difabel itu masuk pada kategori orang yang tereksklusi. tapi sebenarnya seperti yang terjadi, seperti yang dapat kita lihat saat ini bahwa orang-orang difabel sudah mulai mendapatkan hak-haknya seperti orang normal pada umumnya. seperti yang dapat terlihat, di kampus pun sudah tersedia akses-akses untuk mempermudah orang-orang difabel itu untuk melakukan kegiatan belajar mengajar. hal ini dapat menjadi salah satu pemecah permasalahan agar orang-orang difabel itu tidak lagi dianggap sebagai orang yang tidak normal karena sebenarnya meskipun tubuh mereka lain, tidak seperti orang pada umumnya tetapi mereka memiliki kelebihan juga, sehingga kita tidak boleh memandangnya sebelah mata.
BalasHapus