Nama Kelompok
Yani Fathur R 1151201001111034
Yani Fathur R 1151201001111034
Winantyningsih 115120107111016
Desandy Budi Christya 115120101111032
Sofy Widya U 115120101111012
Yori Windu 115120100111013
M.syahrir
M.syahrir
Eksklusi
sosial adalah kondisi dimana seseorang terputus dari layanan yang dinikmati
sebagian orang. Banyak fenomena terkait kondisi demikian. Eksklusi sosial yang
menyebabkan seseorang dipinggirkan dari kehidupan sosial masyarakat secara
umum, misalkan saja ketika berbicara orang miskin, orang dengan kekurangan
fisik, orang yang dianggap menyimpang oleh masyarakat, dan lain sebagainya.
Tetapi sekarang ini di lingkungan kita terdekat pun yakni lingkungan kampus
seolah muncul gejala eksklusi sosial baru. Sekarang ini banyak dijumpai tulisan
“terima kos khusus wanita muslim/muslimah” dibeberapa bahkan cukup banyak
kos-kosan di daerah sekitar kampus. Dalam perspektif eksklusi sosial juga
terkait dengan opportunity, dalam kasus ini mahasiswa atau mahasiswi yang agamanya
non-muslim tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk menyewa kos-kosan. Bisa
dibayangkan apabila semakin banyak tempat kos yang hanya menerima calon
penghuni beragama islam, maka kesempatan non-muslim pun juga semakin berkurang,
dan ini merupakan kondisi eksklusi sosial.
Kesempatan
sama yang seharusnya bisa didapatkan oleh siapapun dalam mendapatkan kos-kosan
menjadi menerapkan sebuah standart-standart tertentu karena konstruk sosial
dalam masyarakat. Fenomena ini salah satunya bisa terjadi karena efek dari
daerah setempat dan lingkungan seperti yang dikatakan Pierson. Karena memang
lingkungan daerah kampus salah satunya Ketawanggede adalah mayoritas muslim,
banyak warga selaku pemilik kos-kosan yang melakukan aktivitas agama muslim
mereka. Ada beberapa kos-kosan yang memilih penghuni khusus muslim dengan
alasan ada beberapa aktivitas rutin seperti pengajian yang diadakan oleh kos
tersebut sehingga menolak penghuni yang non-muslim. Tetapi yang disayangkan
misalnya perihal pemilik kos yang katakanlah terlalu fanatik dengan agamanya
sebagai orang muslim, sehingga dengan memandang kurang baik terhadap
non-muslim.
Terlebih
lagi jika muslim yang harus dipenuhi dengan syarat memakai jilbab. Bahwa
sekarang ini seolah yang berkerudung dianggap manusia yang sangat baik, dan
yang tidak berkerudung dianggap cenderung negatif. Hal ini tentunya dapat
menimbulkan eksklusi sosial secara lebih jauh. Konstruksi sosial yang demikian
ini seolah menggambarkan bahwa performa tubuh yang dibingkai dengan kerudung
menjadi sangat sempurna bagi masyarakat muslim. Maka ketika ada yang tidak
sesuai dengan standartisasi masyarakat dalam hal ini lingkup kecilnya adalah
pemilik kos, akan dipinggirkan dalam artian tidak diperhatikan keberadaannya
untuk dapat menyewa kos tersebut di kos-kosan khusus wanita muslimah.
Hal
ini juga berkaitan dengan stigma bahwa ada pandangan-pandangan yang kurang baik
yang dilabelkan kepada non-muslim terkait dengan atribut-atribut tertentu,
dalam hal ini yakni persoalan agaman, aktivitas masing-masing agama, dan lain
sebagainya. Bahwa memang cenderung ada perlakuan yang yang berbeda bagi calon
penyewa tempat kos yang non-muslim karena atribut yang dimiliki calon sebagai
non-muslim bahkan karena stigma yang diberikan oleh pemilik kos dalam tataran
pandangan dipikiran masing-masing pemilik kos. Hal ini terlihat misalnya dengan
penyambutan yang kurang baik, bahkan diingatkan perihal hanya menerima wanita
muslim dengan kurang baik juga, sampai hasilnya tidak mendapatkan kesempatan
untuk menyewa kos tersebut. Padahal bukankah semua mahasiswa apapun agamanya
memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan kos yang mereka inginkan dengan
kemampuan masing-masing calon penyewa kos tersebut.
Dalam
prespektif durkheimian, ia membagi dua konteks besar dalam hubungannya dengan
agama yakni profan dan sakral dimana hal-hal yang sakral tidak diartikan
sebagai roh-roh/dewa-dewa, melainkan apa saja yang bisa menjadi sakral/profan (Djuretna & imam muhni. 1994:128).
Karena batasan sakral/profan tidak mutlak maka dari sinilah seseorang atau
golongan islam tertentu dapat mensakralkan semua yang ajaran islam tanpa
mentolelir seperti halnya tidak membolehkan non-islam untuk masuk ke rumahnya
karena mungkin di anggap tidak suci. Sehingga, ekslusi sosial seperti ini dapat
mengancam solidaritas secara keseluruhan. Jika melihat dari kasus di atas, hal
ini dimulai dari stigma yang diberikan suatu golongan (islam) kepada golongan yang lain (non islam) dimana
stigma tersebut akan membuat seseorang (pemilik kos-kosan) berfikir ulang untuk
menerima mahasiswa non-muslim karena berbagai pewacanaan buruk terhadap
non-islam misalnya anggapan bahwa agam islamlah yang paling benar dan agama
lain salah sehingga tidak boleh bergaul dengan orang-orang yang tidak sejalan
dengan islam, ritual keagamaannya mengganggu pemilik kosan, dan lain sebagainya. Padahal membuat peraturan
tanpa menyinggung perbedaan agama secara langsung juga bisa, seperti yang sudah
di singgung dalam wawancara diatas yakni dengan membuat tata tertib kosan yang
jelas.
Sehingga
sebagai lingkungan yang mayoritas beragama muslim, ia berusaha meniadakan
kelompok/golongan lain (non-muslim) dengan cara memberi peraturan seperti itu,
yang pada akhirnya membuat mahasiswa non-islam merasa tidak di anggap dan tidak
masuk dalam struktur masyarakat. secara tidak langsung pemilik kosan yang
seperti ini menganggap bahwa tindakan ritual keagamaan yang dilakukan oleh
non-islam adalah perbuatan anomie atau menyimpang dan dianggap tidak normal
karena dasar kenormalan mereka berangkat dari agama sehingga mereka yang
non-islam di anggap deviant. Padahal jika kita berlogika normal-abnormal maka
kita akan berbicara mengenai kondisi ruang,
Misalnya
pemilik kos ini berada di amerika maka pemilik kos inilah yang di anggap tidak
normal karena mayoritas di amerika beragama kristen. Oleh karena itu, mewacanakan
kaum-kaum yang terekslusi agar diperlakukan sama di tengah masyarakat sangat
diperlukan dengan harapan dapat mengurangi kesenjangan akibat
perbedaan-perbedaan tersebut juga mengurangi konflik yang terjadi seperti yang pada
akhir-akhir ini banyak terjadi dan banyak diberitakan karena isu agama. Jika
permasalahan keberadaan pelabelan kos khusus muslimah ini karena untuk
membatasi atau mencegah perubahan yang terjadi seperti gelaja hedonisme,
sekulerisme, modernisme dan globalisasi yang mengarah pada kenakalan remaja, itu
bukanlah solusi malah mendiskriminasi seseorang. Sifat fanatisme yang
berlebihan yang tidak menerima non muslim atau muslimah yang tidak berjibab,
menunjukkan bahwa pengelola atau pemilik kos lebih mengunggulkan golongannya
daripada orang di luar golongannya. Jika ini terjadi terus menerus maka akan
menimbulkan kebutaan terhadap pluralisme. Dampaknya akan menimbulkan konflik. Silahkan
ditambahkan, dikritik, dan lain sebagainya J
Setelah membaca postingan analisis dan foto diatas, saya jadi ingat kata-kata awal pada saat pertama kuliah oleh Mas Amex "the greatest happiness of the greatest number" bahwa kebijakan pemerintah memang untuk diperuntukkan orang banyak salah satunya adalah kos putri muslimah yang diangkat dalam foto diatas, hal ini terlihat bahwa dominasi penduduk Indonesia yang rata-rata beragama islam membuat kaum minoritas menjadi tertindas , imbasnya tentu kaum-kaum minoritas seperti non islam tidak punya tempat. Tentu ini yang harus diperhatikan bahwa kaum minoritas harusnya juga diberikan akses dalam hal ini tempat kos-kosan sehingga tidak adanya rasa saling meniadakan atau menganggap agama mana yang paling baik dan benar
BalasHapusbener nin, tapi sepertinya dalam kasus yang seperti ini tergolong kedalam eksklusi sosial yang pasif, yakni kelompok minoritas tidak memiliki hak tawar, dalam kasus ini calon penyewa kost non muslim tidak dapat berbuat apa-apa karena wewenang pemilik kost dengan modal kost-kost'an yang dimiliki cukup besar untuk kemudian menentukan non muslim tidak diberikan kesempatan yang sama untuk menyewa kost tersebut
HapusDalam konteks kos muslimah yang dikatakan ninda kemudian sifatnya akan bersifat umum karena merujuk pada mayoritas masyarakat Indonesia adalah Islam. konteks umum kemudian sifatnya adalah "mainstream", dengan begitu maka seharusnya kita adalah "Hipster" tapi ngga gitu juga ya, soalnya wacana kemudian yang dikatakan "Hipster" dan membeda dengan yang umum (mainstream) akan kemudian menjadi sesuatu yang mainstream pula bila banyak yang mengikuti. Bila dalam ilmu alam atau IPA ada hukum kekekalan energi oleh Joule, dimana "Energi tidak dapat diciptakan, dan tidak dapat pula dimusnahkan", dalam konteks keilmuan kita maka wacana pun tidak dapat dihancurkan. karena kemudian wacana dominan yang ada pada masyarakat akan dilawan wacana tandingan, maka wacana tandingan pula akan menjadi wacana dominan pada masanya.
Hapussebenarnya dalam islam juga tidak ada larangan untuk berteman dengan non muslim karena kita diciptakan juga sesuai dengan takdir masing-masing, jikalau takdir itu sendiri dapat di ubah maka keinginan untuk dilahirkan dibumi ini menginginkan keadaan yang baik dalam segala hal, tapi bukanlah perbedaan itu indah. tanpa perbedaan segala sesuatu yang berjalan didunia ini hanyalah kekosngan saja.
BalasHapusjika dihubungkan dengan konsep normal-pathologis, penerimaan kos khusus muslim di sini sebagai bukti masih ada yang menjadikan agama sebagai alasan untuk menjudge bahwa agama lain tidak baik dan di anggap tidak normal. sehingga kekhawatiran pemilik kos akan tindakan anomie yang dilakukan non-muslim menimbulkan peraturan yang seperti ini. artinya, agama di sini dijadikan patokan mutlak pemilik kosan untuk membatasi hubungan sosial yang ada akibat stigma mengenai nonis tersebut. kalau kata gusdur ''tuhan tidak perlu di bela, tapi belalah mereka yang diberlakukan tidak adil''.
BalasHapusLabelisasi kos muslimah, di maksudkan oleh pemilik kos adalah untuk mencegah kenakalan remaja yang di lakukan oleh mahasiswa. selain itu juga untuk memproteksi terhadap perubahan yang ada seperti modernisasi, globalisasi, liberalisasi dll. di sisi lain mungkin pemilik kos mengkhususkan menerima kos untuk muslimah, merupakan konsekuensi logis dari dampak islamisasi yang lagi marak di Indonesia. Mereka ingin bangkit dari keterpurukan umat Islam serta memproteksi remaja muslim agar terhindar dari arus perubahan, modernisasi, globalisasi dll. Mereka menawarkan khilafah sebagai solusinya.
BalasHapus