Rabu, 25 Juni 2014

Tambahan Bahan Untuk Diskusi, Monggo :) (Kelompok 1)

Nama Kelompok
Yani Fathur R                  1151201001111034                        
Winantyningsih                 115120107111016        
Desandy Budi Christya    115120101111032                                  
Sofy Widya U                 115120101111012                                 
Yori Windu                     115120100111013
M.syahrir

Fenomena Terima Kost Putri Muslimah

Eksklusi sosial adalah kondisi dimana seseorang terputus dari layanan yang dinikmati sebagian orang. Banyak fenomena terkait kondisi demikian. Eksklusi sosial yang menyebabkan seseorang dipinggirkan dari kehidupan sosial masyarakat secara umum, misalkan saja ketika berbicara orang miskin, orang dengan kekurangan fisik, orang yang dianggap menyimpang oleh masyarakat, dan lain sebagainya. Tetapi sekarang ini di lingkungan kita terdekat pun yakni lingkungan kampus seolah muncul gejala eksklusi sosial baru. Sekarang ini banyak dijumpai tulisan “terima kos khusus wanita muslim/muslimah” dibeberapa bahkan cukup banyak kos-kosan di daerah sekitar kampus. Dalam perspektif eksklusi sosial juga terkait dengan opportunity, dalam kasus ini mahasiswa atau mahasiswi yang agamanya non-muslim tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk menyewa kos-kosan. Bisa dibayangkan apabila semakin banyak tempat kos yang hanya menerima calon penghuni beragama islam, maka kesempatan non-muslim pun juga semakin berkurang, dan ini merupakan kondisi eksklusi sosial.
Kesempatan sama yang seharusnya bisa didapatkan oleh siapapun dalam mendapatkan kos-kosan menjadi menerapkan sebuah standart-standart tertentu karena konstruk sosial dalam masyarakat. Fenomena ini salah satunya bisa terjadi karena efek dari daerah setempat dan lingkungan seperti yang dikatakan Pierson. Karena memang lingkungan daerah kampus salah satunya Ketawanggede adalah mayoritas muslim, banyak warga selaku pemilik kos-kosan yang melakukan aktivitas agama muslim mereka. Ada beberapa kos-kosan yang memilih penghuni khusus muslim dengan alasan ada beberapa aktivitas rutin seperti pengajian yang diadakan oleh kos tersebut sehingga menolak penghuni yang non-muslim. Tetapi yang disayangkan misalnya perihal pemilik kos yang katakanlah terlalu fanatik dengan agamanya sebagai orang muslim, sehingga dengan memandang kurang baik terhadap non-muslim.
Terlebih lagi jika muslim yang harus dipenuhi dengan syarat memakai jilbab. Bahwa sekarang ini seolah yang berkerudung dianggap manusia yang sangat baik, dan yang tidak berkerudung dianggap cenderung negatif. Hal ini tentunya dapat menimbulkan eksklusi sosial secara lebih jauh. Konstruksi sosial yang demikian ini seolah menggambarkan bahwa performa tubuh yang dibingkai dengan kerudung menjadi sangat sempurna bagi masyarakat muslim. Maka ketika ada yang tidak sesuai dengan standartisasi masyarakat dalam hal ini lingkup kecilnya adalah pemilik kos, akan dipinggirkan dalam artian tidak diperhatikan keberadaannya untuk dapat menyewa kos tersebut di kos-kosan khusus wanita muslimah.
Hal ini juga berkaitan dengan stigma bahwa ada pandangan-pandangan yang kurang baik yang dilabelkan kepada non-muslim terkait dengan atribut-atribut tertentu, dalam hal ini yakni persoalan agaman, aktivitas masing-masing agama, dan lain sebagainya. Bahwa memang cenderung ada perlakuan yang yang berbeda bagi calon penyewa tempat kos yang non-muslim karena atribut yang dimiliki calon sebagai non-muslim bahkan karena stigma yang diberikan oleh pemilik kos dalam tataran pandangan dipikiran masing-masing pemilik kos. Hal ini terlihat misalnya dengan penyambutan yang kurang baik, bahkan diingatkan perihal hanya menerima wanita muslim dengan kurang baik juga, sampai hasilnya tidak mendapatkan kesempatan untuk menyewa kos tersebut. Padahal bukankah semua mahasiswa apapun agamanya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan kos yang mereka inginkan dengan kemampuan masing-masing calon penyewa kos tersebut.
Dalam prespektif durkheimian, ia membagi dua konteks besar dalam hubungannya dengan agama yakni profan dan sakral dimana hal-hal yang sakral tidak diartikan sebagai roh-roh/dewa-dewa, melainkan apa saja yang bisa menjadi sakral/profan (Djuretna & imam muhni. 1994:128). Karena batasan sakral/profan tidak mutlak maka dari sinilah seseorang atau golongan islam tertentu dapat mensakralkan semua yang ajaran islam tanpa mentolelir seperti halnya tidak membolehkan non-islam untuk masuk ke rumahnya karena mungkin di anggap tidak suci. Sehingga, ekslusi sosial seperti ini dapat mengancam solidaritas secara keseluruhan. Jika melihat dari kasus di atas, hal ini dimulai dari stigma yang diberikan suatu golongan (islam)  kepada golongan yang lain (non islam) dimana stigma tersebut akan membuat seseorang (pemilik kos-kosan) berfikir ulang untuk menerima mahasiswa non-muslim karena berbagai pewacanaan buruk terhadap non-islam misalnya anggapan bahwa agam islamlah yang paling benar dan agama lain salah sehingga tidak boleh bergaul dengan orang-orang yang tidak sejalan dengan islam, ritual keagamaannya mengganggu pemilik kosan,  dan lain sebagainya. Padahal membuat peraturan tanpa menyinggung perbedaan agama secara langsung juga bisa, seperti yang sudah di singgung dalam wawancara diatas yakni dengan membuat tata tertib kosan yang jelas.
Sehingga sebagai lingkungan yang mayoritas beragama muslim, ia berusaha meniadakan kelompok/golongan lain (non-muslim) dengan cara memberi peraturan seperti itu, yang pada akhirnya membuat mahasiswa non-islam merasa tidak di anggap dan tidak masuk dalam struktur masyarakat. secara tidak langsung pemilik kosan yang seperti ini menganggap bahwa tindakan ritual keagamaan yang dilakukan oleh non-islam adalah perbuatan anomie atau menyimpang dan dianggap tidak normal karena dasar kenormalan mereka berangkat dari agama sehingga mereka yang non-islam di anggap deviant. Padahal jika kita berlogika normal-abnormal maka kita akan berbicara mengenai kondisi ruang,
Misalnya pemilik kos ini berada di amerika maka pemilik kos inilah yang di anggap tidak normal karena mayoritas di amerika beragama kristen. Oleh karena itu, mewacanakan kaum-kaum yang terekslusi agar diperlakukan sama di tengah masyarakat sangat diperlukan dengan harapan dapat mengurangi kesenjangan akibat perbedaan-perbedaan tersebut juga mengurangi konflik yang terjadi seperti yang pada akhir-akhir ini banyak terjadi dan banyak diberitakan karena isu agama. Jika permasalahan keberadaan pelabelan kos khusus muslimah ini karena untuk membatasi atau mencegah perubahan yang terjadi seperti gelaja hedonisme, sekulerisme, modernisme dan globalisasi yang mengarah pada kenakalan remaja, itu bukanlah solusi malah mendiskriminasi seseorang. Sifat fanatisme yang berlebihan yang tidak menerima non muslim atau muslimah yang tidak berjibab, menunjukkan bahwa pengelola atau pemilik kos lebih mengunggulkan golongannya daripada orang di luar golongannya. Jika ini terjadi terus menerus maka akan menimbulkan kebutaan terhadap pluralisme. Dampaknya akan menimbulkan konflik. Silahkan ditambahkan, dikritik, dan lain sebagainya J

6 komentar:

  1. Setelah membaca postingan analisis dan foto diatas, saya jadi ingat kata-kata awal pada saat pertama kuliah oleh Mas Amex "the greatest happiness of the greatest number" bahwa kebijakan pemerintah memang untuk diperuntukkan orang banyak salah satunya adalah kos putri muslimah yang diangkat dalam foto diatas, hal ini terlihat bahwa dominasi penduduk Indonesia yang rata-rata beragama islam membuat kaum minoritas menjadi tertindas , imbasnya tentu kaum-kaum minoritas seperti non islam tidak punya tempat. Tentu ini yang harus diperhatikan bahwa kaum minoritas harusnya juga diberikan akses dalam hal ini tempat kos-kosan sehingga tidak adanya rasa saling meniadakan atau menganggap agama mana yang paling baik dan benar

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener nin, tapi sepertinya dalam kasus yang seperti ini tergolong kedalam eksklusi sosial yang pasif, yakni kelompok minoritas tidak memiliki hak tawar, dalam kasus ini calon penyewa kost non muslim tidak dapat berbuat apa-apa karena wewenang pemilik kost dengan modal kost-kost'an yang dimiliki cukup besar untuk kemudian menentukan non muslim tidak diberikan kesempatan yang sama untuk menyewa kost tersebut

      Hapus
    2. Dalam konteks kos muslimah yang dikatakan ninda kemudian sifatnya akan bersifat umum karena merujuk pada mayoritas masyarakat Indonesia adalah Islam. konteks umum kemudian sifatnya adalah "mainstream", dengan begitu maka seharusnya kita adalah "Hipster" tapi ngga gitu juga ya, soalnya wacana kemudian yang dikatakan "Hipster" dan membeda dengan yang umum (mainstream) akan kemudian menjadi sesuatu yang mainstream pula bila banyak yang mengikuti. Bila dalam ilmu alam atau IPA ada hukum kekekalan energi oleh Joule, dimana "Energi tidak dapat diciptakan, dan tidak dapat pula dimusnahkan", dalam konteks keilmuan kita maka wacana pun tidak dapat dihancurkan. karena kemudian wacana dominan yang ada pada masyarakat akan dilawan wacana tandingan, maka wacana tandingan pula akan menjadi wacana dominan pada masanya.

      Hapus
  2. sebenarnya dalam islam juga tidak ada larangan untuk berteman dengan non muslim karena kita diciptakan juga sesuai dengan takdir masing-masing, jikalau takdir itu sendiri dapat di ubah maka keinginan untuk dilahirkan dibumi ini menginginkan keadaan yang baik dalam segala hal, tapi bukanlah perbedaan itu indah. tanpa perbedaan segala sesuatu yang berjalan didunia ini hanyalah kekosngan saja.

    BalasHapus
  3. jika dihubungkan dengan konsep normal-pathologis, penerimaan kos khusus muslim di sini sebagai bukti masih ada yang menjadikan agama sebagai alasan untuk menjudge bahwa agama lain tidak baik dan di anggap tidak normal. sehingga kekhawatiran pemilik kos akan tindakan anomie yang dilakukan non-muslim menimbulkan peraturan yang seperti ini. artinya, agama di sini dijadikan patokan mutlak pemilik kosan untuk membatasi hubungan sosial yang ada akibat stigma mengenai nonis tersebut. kalau kata gusdur ''tuhan tidak perlu di bela, tapi belalah mereka yang diberlakukan tidak adil''.

    BalasHapus
  4. Labelisasi kos muslimah, di maksudkan oleh pemilik kos adalah untuk mencegah kenakalan remaja yang di lakukan oleh mahasiswa. selain itu juga untuk memproteksi terhadap perubahan yang ada seperti modernisasi, globalisasi, liberalisasi dll. di sisi lain mungkin pemilik kos mengkhususkan menerima kos untuk muslimah, merupakan konsekuensi logis dari dampak islamisasi yang lagi marak di Indonesia. Mereka ingin bangkit dari keterpurukan umat Islam serta memproteksi remaja muslim agar terhindar dari arus perubahan, modernisasi, globalisasi dll. Mereka menawarkan khilafah sebagai solusinya.

    BalasHapus