Respons Paper (
Kesenjangan dan Ekslusi Sosial )
MUH. DZIKRI AMIR 115120100111024
Pertemuan kelima : Mbak
Asti ( Erving Goffman: Stigma dan identitas sosial )
Teori stigma oleh Goffman adalah
relasi bahasa, maksudnya proses-proses dari interaksi masyarakat yang bersifat
melakukan justifikasi atas ketidakbiasaan orang lain. Stigma juga memunculkan
inferioritas/merendahkan diri. Individu atau kelompok yang terstigma akan
menjadi inferior akibat wacana dominan dari kenormalan. Stigma juga menyalahkan
atribut yang melekat pada individu atas ketidaksempurnaan. Kemudian dari proses
tersebut terjadi yang namanya diskriminasi.
Mbak Asti juga menjelaskan bagaimana proses stigma bisa
terjadi, berawal dari social identity
dimana menurut Goffman identitas sosial dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1. Virtual social identity : asumsi
yang muncul menghubungkan dengan realitas yang belum terbentuk sepenuhnya.
Karakter identitas tersebut terbentuk karena cenderung menyalahkan.
2. Actual social identity : kategori yang realitasnya dapat terbukti.
Kondisi seperti ini memang sudah bisa dibuktikan dengan kenyataan
individu/kelompok yang mendapatkan stigma.
Identitas
sosial adalah definisi seseorang tentang siapa dirinya, termasuk di dalamnya
atribut pribadi/personal dan atribut yang melekat pada individu/kelompok yang
kemudian identitas itu sendiri dikontruksi dari eksternal.
Individu yang mendapatkan stigma
akan membuat suatu kondisi ketidaknyamanan secara sosial terhadap prasangka
yang dibuat masyarakat. Individu yang terstigma akan mendapatkan pilihan
rasional antara memilih untuk mengucilkan diri atau malah bersikap percaya diri
dan berani. Pada umumnya orang-orang yang sudah terstigma lebih memilih untuk
menjauhkan diri dari lingkungan. Normalitas atau orang-orang yang menganggap
dirinya normal akan mengidentifikasi diri dan berusaha menolak/ kontak saling
menghindarkan/ mendeskreditkan.
Kelanjutan dari stigma adalah labeling, Frank Tannenbaum (1983) proses
individu melakukan kejahatan adalah proses pemberian label, labeling sendiri
akhirnya membuat pemberian stigma diri. Jadi kesimpulannya identitas sosial
kalau dikaji secara mendalam akan menguak bagaimana stigma, labeling,
stereotype dan diskriminasi akan berlangsung didalamnya.
Pertemuan keempat :
Mbak Titi ( Marx: deviance )
Mbak Titi menjelaskan tentang
deviance, namun deviance yang ini adalah menurut pemikiran Karl Marx. Marx
bukan bicara deviance dari sudut pandang nilai dan norma, namun Marx
menjelaskan deviance itu dari sistem kerja, dimana borjuis (pemilik modal) dan
proletar (buruh/pekerja) itulah yang memunculkan deviance. Deviance menurut
Marx diartikan sebagai individu/kelompok yang tidak memiliki peran untuk
menyokong borjuis dalam akumulasi modalnya, artinya seorang deviance itu adalah
yang tidak ikut serta dalam proses produksi dalam sistem kapitalis borjuis.
Kelompok deviance seperti penjelasan Marx itulah yang dianggap sebagai sebuah
penyimpangan dan tidak menjadi bagian dalam akumulasi modalnya.
Menurut sepemahaman saya deviance
itu bukan berarti seorang buruh, karena buruh sendiri turut serta dalam proses
produksi. Jadi deviance adalah orang yang tidak berguna apa-apa bagi para
kapitalis. Deviance sendiri juga akan membahayakan dan mengancam eksistensi
borjuis dalam proses akumulasi modalnya ketika terjadi kesenjangan yang begitu
jauh antara pemilik modal dan buruh maupun masyarakat marjinal.
Mbak Asti juga menjelaskan tentang the rulling class atau segelintir
pemilik modal yang menentukan deviance atau tidak suatu individu. Pada akhirnya
deviance versinya Marx ini sangat ditentukan oleh the rulling clas, bahkan mereka juga diinstitusikan melalui
keluarga, sekolah, budaya dll. Marx dalam deviance dibagi dalam dua macam,
yaitu social junk dan social dynamite. Social junk adalah kelompok deviance
yang dianggap tidak membahayakan sistem kapitalisme, contohnya adalah orang
gila, sedangkan social dynamite adalah kelompok yang membahsyakan sistem
kapitalisme dan mereka patut untuk mendapatkan kontrol, contohnya adalah buruh
yang melakukan demonstrasi untuk kenaikan gaji, meskipun mereka adalah
penyokong atau ikut dalam sistem produksi kapitalisme namun buruh juga bisa
termasuk kategori deviance, begitu buruh melakukan demonstrasi pihak pemilik
modal langsung mengontrol melalui serikat buruh.
MUH. DZIKRI AMIR 115120100111024
Berawal Dari A…
Jacques Derrida menjelaskan tentang proses terbentuknya
identitas. Identitas berasal dari makna oleh orang lain yang membuat individu
untuk berusaha mengenalkan diri sendiri. Film ini sangat menekankan identitas Wanita
tunatetra dan Akbar sebagai seorang difabel atau penyandang cacat. Wanita
tunanetra mengalami tunanetra dan Akbar mengalami tunawicara. Bagaimana semua
aspek bisa kita analisis dalam film ini, mulai dari budaya, agama, akses dan
pendidikan. Jika Derrida menjelaskan bahwa identitas itu adalah hasil
representasi atau rekayasa dari orang lain, maka identitas seorang difabel
dalam film ini bisa dilihat bahwa seorang difabel itu memiliki banyak perbedaan
dengan orang normal maka dari itu tubuh yang dia miliki dianggap tidak bisa
melakukan banyak aktivitas sama dengan orang normal lainnya. Wacana dominan
mengganggap seorang difabel memang dianggap tidak berguna dan hanya melakukan
interaksi kehidupan dengan penyandang cacat lainnya.
Dilihat dari sisi budaya, ketika wanita tunanetra
mendapat teguran dari orang tuanya bahwa perempuan itu tidak pantas kalau sudah
umurnya tua tidak segera mendapatkan pendamping hidup yang mapan. Kontruksi
tersebut merupakan budaya dari orang Indonesia bahwa perempuan harus segera
nikah jika bisa dikatakan sudah terlalu tua umurnya. Aspek agama adalah ketika
orang tua dari wanita tunanetra menyuruhnya untuk mencari imam solat yang
benar-benar bisa menjadi pemimpin, bukan malah wanita tunanetra yang menjadi
imam solat untuk Akbar. Sosok tersebut menurut saya tidak kondisional, karena
kondisi tubuh dan kemampuan Akbar yang tunawicara memang tidak akan mungkin
bisa menjadi imam yang baik. Seakan Akbar yang mengalami kendala bicara tidak
layak menjadi imam solat, padahal jika melihat alasannya dia tidak menjadi imam
solat karena tubuh yang tidak sempurna. Budaya sangat jelas telah melakukan
pendeskripsian tentang tubuh yang berakena ragam, baik sempurna maupun
mengalami kecacatan. Akses atau pelayanan publik yang mereka dapatkan juga
tidak seperti layaknya orang biasanya, semisal akses untuk pendidikan akses
ketika sedang berbelanja dll.
Seperti kata Pak Amex bahwasanya tubuh itu nantinya akan
melakukan adaptasi dengan kondisi sekitar. Butler kemudian menjelaskan bahwa
gender adalah kontruksi sosial yang melupakan pengalaman individu, performa
juga dilihat pada bentuk tubuhnya. Ketika wanita tunanetra yang memiliki
penyakit tunanetra maka secara otomatis dia beradaptasi dengan kehidupannya,
sejak dari kecil dia berusaha untuk membiasakan aktivitas sehari-harinya tanpa
melihat apa-apa, ketika dia mengambil minuman secara reflektif sudah mengerti
dan hafal bagaimana cara dan langkahnya. Juga ketika ibunya membelikan jam
dinding maka dengan respon selanjutnya wanita tunanetra memecahkan kaca jam
dinding supaya bisa mengetahui pukul berapakah apabila dia ingin mengetahui jam
berapa sekarang. Kesimpulannya tubuh itu akan melakukan adaptasi sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya, karena kondisi sekitar yang tidak memiliki akses untuk
seorang difabel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar