Pemulung dalam Perspektif Post
Marxisme
Oleh:
1. Husnul Ma’arif 105120107111006
2.
Elyah Chusniyah 115120101111026
3.
Lela Fanna Lina 115120107111026
4.
Resdian Febrio 115120113111002
5.
Maulidya Agustin 115120107111009
6.
Muhammad Dzikri 115120100111024
7.
Ikhlasol Amal 115120101111005
Eksklusi sosial menjadi salah satu
permasalahan yang kerap kali kita temui dalam masyarakat dan kelompok –
kelompok yang tereksklusi ini kebanyakan adalah kelompok – kelompok minoritas
dan kerap kali keberadaannya dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Pemulung
menjadi salah satu kelompok devian dimana devian menurut Karl Mark merupakan
sekelompok / orang yang tidak mampu menyokong produksi kapitalis. Adanya
kelompok ini kerap kali dipandang sebagai sesuatu hal yang buruk oleh sebagian
masyarakat sehingga Karl Mark disini mengelompokkan populasi devian ini dalam
social junk (sampah sosial) karena kelompok – kelompok ini dianggap tidak
berbahaya keberadaannya karena kegagalan mereka dalam melakukan perannya
menyokong masyarakat kapitalis. Keberadaan pemulung dikelompokkan dalam sampah
sosial oleh Karl Mark karena memang keberadaan mereka dianggap sebagai sesuatu
yang tidak berguna dalam hal menyokong akumulasi modal pihak – pihak kapitalis
sehingga wajar saja jika kelompok – kelompok ini seringkali termarjinalkan dari
masyarakat. Sedangkan menurut pandangan Goffman, kelompok – kelompok ini
mendapatkan stigma dari masyarakat sendiri karena jika kita lihat memang
kelompok pemulung ini kurang sesuai dengan harapan masyarakat sendiri dan
mereka dianggap gagal. Maka tak heran ketika seseorang mendapatkan stigma dari
masyarakat ia juga kerap kali akan memperoleh stigmanisasi dimana sikap /
perlakuan terhadap orang – orang yang dianggap stigma ini seringkali
direndahkan oleh sebagian masyarakat sehingga menciptakan pandangan yang buruk
pula dari masyarakat lainnya. Kami akan mencoba menganalisa dari beberapa
persepektif mengenai pemulung.
Pemulung
yang akan kami jelaskan disini adalah kami ambil dari contoh kasus dalam film
musafir. Selama ini pemulung dianggap sebagai masalah sosial yang harus
diperhatikan oleh pomerintah. Pemulung dianggap sebagai orang yang harus
diperbaiki dalam kehidupan sosial masyarakat. Tak heran pemulung dianggap
sebagai manusia yang rendah dihadapan masyarakat yang lain, sehingga pada
akhirnya pemulung terekslusi dari kehidupan sosialnya. Hal ini bisa kita lihat
dari perlakuan anak – anak kecil dalam film pendek yang berjudul ‘musafir’
ketika mereka tengah bermain di lapangan dan melihat sosok Ida (pemulung) yang
sedang duduk di pinggiran lapangan dan mereka tidak segan – segan mengejek Ida
dengan beberapa perlakuan yang buruk seperti salah satunya ada satu anak dalam
film tersebut yang mengejek Ida dengan memperlihatkan pantatnya pada Ida.
Keadaan – keadaan inilah yang kerap kali membuat kelompok – kelompok menyandang
stigma dari masyarakat karena kondisi yang dia alami. Yang menarik lagi dari
adegan ini adalah ketika stigma yang melekat pada diri pemulung itu begitu kuat
sehingga anak kecilpun berfikir pemulung memang seperti yang dikatakan oleh
orang-orang. Begitu melekatnya stigma tersebut anak kecil yang seharusnya belum
mengerti hal-hal semacam itu dapat mengejek seorang pemulung seperti pandangan
masyarakat yang lain.
Ketika kasus dalam film ‘musafir’
ini kita lihat melalui pandangan Parsons, maka memang seharusnya seseorang
harus bisa berperan dan terintegrasi dalam suatu sistem agar dirinya tidak
tereksklusi dalam masyarakat. Karena saat kita melihat kondisi yang dialami
oleh Kamal dan Ida ini memang keberadaannya sudah tereksklusi dari masyarakat
dan mereka juga sempat kerap kali berpindah – pindah tempat untuk bisa tidur
meskipun dipinggir jalan, bahkan menurut beberapa pengakuan dari satpam yang
berjaga di lingkungan tersebut, ada di daerah – daerah lain yang mereka harus
berurusan dengan kamtib karena mereka tidur di pinggir – pinggir jalan karena
memang keberadaan mereka dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu ketertiban.
Parsons disini juga mengemukakan beberapa diskursus eksklusi sosial yang salah
satunya adalah RED (redistributions Discourse) dimana eksklusi sosial ini
diakibatkan karena kemiskinan individu dan kelompok. Selain itu, Parsons juga
memberikan cara untuk mengatasinya yaitu dengan mendistribusi pendapatan
masyarakat melalui pajak. Tetapi kenyataannya pajak – pajak ini tidak
didistribusikan kepada kelompok – kelompok ini sehingga mereka sampai saat ini
tetap tereksklusi dari masyarakat karena kondisinya tersebut. Selain itu ketika
melihat kondisi yang dialami oleh Kamal dan Ida ini seolah – olah mereka hanya
pasrah – pasrah saja dengan kondisi yang mereka alami. Hal ini terlihat dari
percakapan anatara Kamal dan seorang satpam yang seolah – olah dia tidak memiliki
kekuatan untuk melawan kemiskinannya tersebut dan dia juga sempat memiliki
keinginan untuk kembali kerumahnya di Jawa tetapi sayangnya biaya transportasi
yang terlalu mahal membuatnya pada akhirnya mengurungkan niatnya untuk pulang.
Selain itu, kondisi Ida yang saat itu tengah diejek oleh segerumbulan anak –
anak kecil yang sedang bermain membuatnya tidak melakukan perlawanan ataupun
pembelaan apapun sehingga disini kami melihat bahwa perilaku yang dilakukan
oleh Ida disini menunjukkan bahwa seolah – olah dia pasrah dengan kondisinya
saat itu. Hal inilah yang kerap kali menjadi budaya dalam masyarakat kita
dimana dengan sikap pasrah inilah yang kerap kali membuat mereka menjadi kurang
termotivasi untuk bekerja keras sehingga penghasilan yang mereka dapatkan juga
menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Ketika melihat diawal pemutaran film
tersebut, baik Kamal dan Ida merupakan salah satu contoh yang kami rasa giat
karena mereka sudah mulai menelusuri tempat sampah yang satu menuju tempat
sampah lainnya sebelum matahari terbit. Terlihat sekali ketekunan diantara
keduanya untuk mencari sampah – sampah mulai dini hari. Namun masih saja
keadaan tidak merubah mereka untuk menjadi lebih baik karena pekerjaan mereka
yang memang penghasilannya hanya cukup untuk mengisi perut mereka saja. Selain
itu, mereka juga sempat kebingungan karena gubernur DKI yang kerap kali
berganti – ganti sehingga mereka tidak bisa mengenali mereka. Hal ini juga
menjadi penghambat bagi mereka karena disini mereka juga kurang akan adanya
informasi yang mereka ketahui karena terlalu sibuk mencari butiran – butiran
uang untuk mencukupi biaya hidup mereka. Mata pencarian mereka yang hanya bisa
mengorek – ngorek sampah – sampah di tempat pembuangan membuat mereka seolah
terdiskriminasi oleh masyarakat. Tidak hanya itu saja, hal ini juga memunculkan
stigma didalamnya seperti yang sudah saya jelaskan diatas mengenai stigma
menurut pandangan Goffman. Hal seperti ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan
mereka secara sosial dari masyarakat sehingga hal ini dapat mengecilkan
kesempatan kelompok / individu itu tadi dan kondisi yang seperti inilah yang
akhirnya membuat mereka pada akhirnya terdiskriminasi dari lingkungan sekitar
mereka. Bahkan kerap kali mereka mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan hanya
karena label stigma dari masyarakat sendiri.
Dalam pandangan marxis pemulung
sekarang sudah tidak seperti yang dulu lagi. Ketika dahulu dipandang sebagai
sampah masyarakat dan selalu terekslusi oleh lingkungan sosialnya namun
sekarang mereka sudah berani tampil sebagai diri mereka sendiri didepan publik.
Pemulung di era sekarang sudah berani tampil tanpa perduli dipandang rendah
oleh masyarakat. Stigma yang sedari dulu melekat pada diri pemulung bahwa
pekerjaan mereka dibilang rendah dan tidak memiliki kemampuan untuk setara
dengan masyarakat yang lain menyebabkan perkembangannya sampai dengan sekarang
masih melekat seperti itu. Padahal pasa dasarnya manusia memiliki kehidupan
sendiri dan seharusnya hidup dalam toleransi yang tinggi atas dasar dari
kehidupan sosial yang baik. Pemulung dianggap sebagai masalah sosial padahal
mereka tidak merasa ada permasalahan dalam diri mereka. Persepektif masyarakat
lebih mengarah kepada bagaimana mereka menjalani hidup yang srba kekurangan
dengan mengambil sampah-sampah yang tidak terpakai untuk dijual kembali.
Padahal dalam pandangan pemulung sendiri mereka merasa baik-baik saja dengan
pekerjaan yang seperti itu. Mereka juga hidup dengar normal layaknya masyarakat
yang lain. Disini dapat menjawab pandangan pasrsons yang melihat pemulung ada
diluar struktur sosial. Itu hanyalah pandangan orang saja padahal pemulung
sendiri tidak merasa seperti itu.
Kebanyakan pemulung sekarang sudah
memiliki tempat tinggal dan tidak lagi berada dalam ketelantaran seperti yang
disangka oleh masyarakat. Dalam film musafir tersebut diperlihatkan jenis
pemulung yang berada dijalanan dan benar-benar tinggal dijalanan. Namun bila
kita perhatikan jelas di film diperlihatkan post marxis dimana pemulung juga
menjalani kehidupan seperti orang yang normal dan tidak lagi merasa berbeda
dengan masyarakat yang lain. Di film diperlihatkan pemulung juga ke masjid,
makan diwarung, membicarakan politik seprti nama-nama gubernur. Dari situ
terlihat jelas bahwa mereka hidup seperti yang lain, hanya saja mereka memiliki
pekerjaan yang berbeda. Masyarakat selalu memandang prestis dari segala jenis
pekerjaan dan yang dihasilkan dari pemikiran yang seperti itu adalah
orang-orang yang bisa hidup dengan layak namun pekerjaannya tidak prestis maka
akan terekslusi dari lingkungan sosialnya. Pemulung sudah mengalami hal itu
dari jangka waktu yang sangat lama. Namun sekarang pemulung tidak lagi takut
untuk mengeksplor diri. Mereka bhidup seperti yang lain dan memiliki dan tidak
lagi merasa terekslusi dengan lingkungannya. Mereka hidup dengan menjadi diri
sendiri dan tidak perduli orang mau berkata apa. Disinilah kemudian pandangan
post marxis yang terlihat begitu jelas dalam kehidupan pemulung saat ini. Yang
masih merasa mengekslusi adalah masyarakat namun pemulung sudah tidak lagi
merasa terkslusi dari lingkungan sosialnya.
semoga film ini sebagai bentuk Ruang Ketiga untuk setidaknya mmberikan pandangan kepada masyarakat bahwa kehidupan musafir/pemulung dalam film tersebut sama dengan masyarakat lainnya. harapannya proses pengeksklusian sosial yang diberikan kepada pemulung dapat dikurangi, hehe
BalasHapusPemulung memang kerap kali di eksklusikan, karena erat dengan sampah, bau, dan kotor. Ekslusi terhadap pemulung seperti Kamal dan Ida yang terjadi di Film Musafir ini seharusnya tidak terjadi. Menurut saya tidak ada salahnya menjadi pemulung. karena untuk beberapa pemulung, dengan memulung mereka dapat dapat menggantungkan hidup sehari hari. Dengan memulung mereka mendapatkan penghasilan. Toh di mata Tuhan tidak ada bedanya derajat orang kaya dan pemulung sekalipun. tidak ada yang salah dengan memulung. Lantas kenapa masyarakat sering mengekslusikan mereka? menurut saya memulung itu lebih baik daripada mencuri.
BalasHapuskpemulung itu dapat tereksklusi dari lingkungannya ada beberapa faktor wyna:
BalasHapus1. mereka tereksklusi karena yang mendiskriminasikan mereka adalah the ruling class atau hanya didasarkan oleh faktor ekonomi
2. Wacana yang muncul dari pemulung itu sendiri, karena realitasnya pemulung sekarang juga bisa dikatakan sebagai pencuri karena sebagian dari mereka juga ada yang masuk ke pagar rumah orang untuk mengambil jemuran, bak atau ember. sehingga stigma sebagai seorang pencuri juga dilekatkan pada mereka (hehehe ini yang terjadi di daerah saya). Jadi dengan kasus seperti itu pemulung sama halnya dengan pencuri. Tetapi saya tidak mengenalisir bahwa pemulung sebagai pencuri y! hehehe