Rabu, 25 Juni 2014

Analisis Film Musafir


Pemulung dalam Perspektif Post Marxisme
Oleh: 
    1. Husnul Ma’arif                  105120107111006
2. Elyah Chusniyah                115120101111026
3. Lela Fanna Lina                 115120107111026
4. Resdian Febrio                   115120113111002
5. Maulidya Agustin               115120107111009
6. Muhammad Dzikri             115120100111024
7. Ikhlasol Amal                      115120101111005
            Eksklusi sosial menjadi salah satu permasalahan yang kerap kali kita temui dalam masyarakat dan kelompok – kelompok yang tereksklusi ini kebanyakan adalah kelompok – kelompok minoritas dan kerap kali keberadaannya dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Pemulung menjadi salah satu kelompok devian dimana devian menurut Karl Mark merupakan sekelompok / orang yang tidak mampu menyokong produksi kapitalis. Adanya kelompok ini kerap kali dipandang sebagai sesuatu hal yang buruk oleh sebagian masyarakat sehingga Karl Mark disini mengelompokkan populasi devian ini dalam social junk (sampah sosial) karena kelompok – kelompok ini dianggap tidak berbahaya keberadaannya karena kegagalan mereka dalam melakukan perannya menyokong masyarakat kapitalis. Keberadaan pemulung dikelompokkan dalam sampah sosial oleh Karl Mark karena memang keberadaan mereka dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna dalam hal menyokong akumulasi modal pihak – pihak kapitalis sehingga wajar saja jika kelompok – kelompok ini seringkali termarjinalkan dari masyarakat. Sedangkan menurut pandangan Goffman, kelompok – kelompok ini mendapatkan stigma dari masyarakat sendiri karena jika kita lihat memang kelompok pemulung ini kurang sesuai dengan harapan masyarakat sendiri dan mereka dianggap gagal. Maka tak heran ketika seseorang mendapatkan stigma dari masyarakat ia juga kerap kali akan memperoleh stigmanisasi dimana sikap / perlakuan terhadap orang – orang yang dianggap stigma ini seringkali direndahkan oleh sebagian masyarakat sehingga menciptakan pandangan yang buruk pula dari masyarakat lainnya. Kami akan mencoba menganalisa dari beberapa persepektif mengenai pemulung.
Pemulung yang akan kami jelaskan disini adalah kami ambil dari contoh kasus dalam film musafir. Selama ini pemulung dianggap sebagai masalah sosial yang harus diperhatikan oleh pomerintah. Pemulung dianggap sebagai orang yang harus diperbaiki dalam kehidupan sosial masyarakat. Tak heran pemulung dianggap sebagai manusia yang rendah dihadapan masyarakat yang lain, sehingga pada akhirnya pemulung terekslusi dari kehidupan sosialnya. Hal ini bisa kita lihat dari perlakuan anak – anak kecil dalam film pendek yang berjudul ‘musafir’ ketika mereka tengah bermain di lapangan dan melihat sosok Ida (pemulung) yang sedang duduk di pinggiran lapangan dan mereka tidak segan – segan mengejek Ida dengan beberapa perlakuan yang buruk seperti salah satunya ada satu anak dalam film tersebut yang mengejek Ida dengan memperlihatkan pantatnya pada Ida. Keadaan – keadaan inilah yang kerap kali membuat kelompok – kelompok menyandang stigma dari masyarakat karena kondisi yang dia alami. Yang menarik lagi dari adegan ini adalah ketika stigma yang melekat pada diri pemulung itu begitu kuat sehingga anak kecilpun berfikir pemulung memang seperti yang dikatakan oleh orang-orang. Begitu melekatnya stigma tersebut anak kecil yang seharusnya belum mengerti hal-hal semacam itu dapat mengejek seorang pemulung seperti pandangan masyarakat yang lain.
            Ketika kasus dalam film ‘musafir’ ini kita lihat melalui pandangan Parsons, maka memang seharusnya seseorang harus bisa berperan dan terintegrasi dalam suatu sistem agar dirinya tidak tereksklusi dalam masyarakat. Karena saat kita melihat kondisi yang dialami oleh Kamal dan Ida ini memang keberadaannya sudah tereksklusi dari masyarakat dan mereka juga sempat kerap kali berpindah – pindah tempat untuk bisa tidur meskipun dipinggir jalan, bahkan menurut beberapa pengakuan dari satpam yang berjaga di lingkungan tersebut, ada di daerah – daerah lain yang mereka harus berurusan dengan kamtib karena mereka tidur di pinggir – pinggir jalan karena memang keberadaan mereka dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu ketertiban. Parsons disini juga mengemukakan beberapa diskursus eksklusi sosial yang salah satunya adalah RED (redistributions Discourse) dimana eksklusi sosial ini diakibatkan karena kemiskinan individu dan kelompok. Selain itu, Parsons juga memberikan cara untuk mengatasinya yaitu dengan mendistribusi pendapatan masyarakat melalui pajak. Tetapi kenyataannya pajak – pajak ini tidak didistribusikan kepada kelompok – kelompok ini sehingga mereka sampai saat ini tetap tereksklusi dari masyarakat karena kondisinya tersebut. Selain itu ketika melihat kondisi yang dialami oleh Kamal dan Ida ini seolah – olah mereka hanya pasrah – pasrah saja dengan kondisi yang mereka alami. Hal ini terlihat dari percakapan anatara Kamal dan seorang satpam yang seolah – olah dia tidak memiliki kekuatan untuk melawan kemiskinannya tersebut dan dia juga sempat memiliki keinginan untuk kembali kerumahnya di Jawa tetapi sayangnya biaya transportasi yang terlalu mahal membuatnya pada akhirnya mengurungkan niatnya untuk pulang. Selain itu, kondisi Ida yang saat itu tengah diejek oleh segerumbulan anak – anak kecil yang sedang bermain membuatnya tidak melakukan perlawanan ataupun pembelaan apapun sehingga disini kami melihat bahwa perilaku yang dilakukan oleh Ida disini menunjukkan bahwa seolah – olah dia pasrah dengan kondisinya saat itu. Hal inilah yang kerap kali menjadi budaya dalam masyarakat kita dimana dengan sikap pasrah inilah yang kerap kali membuat mereka menjadi kurang termotivasi untuk bekerja keras sehingga penghasilan yang mereka dapatkan juga menjadi lebih baik dari sebelumnya.
            Ketika melihat diawal pemutaran film tersebut, baik Kamal dan Ida merupakan salah satu contoh yang kami rasa giat karena mereka sudah mulai menelusuri tempat sampah yang satu menuju tempat sampah lainnya sebelum matahari terbit. Terlihat sekali ketekunan diantara keduanya untuk mencari sampah – sampah mulai dini hari. Namun masih saja keadaan tidak merubah mereka untuk menjadi lebih baik karena pekerjaan mereka yang memang penghasilannya hanya cukup untuk mengisi perut mereka saja. Selain itu, mereka juga sempat kebingungan karena gubernur DKI yang kerap kali berganti – ganti sehingga mereka tidak bisa mengenali mereka. Hal ini juga menjadi penghambat bagi mereka karena disini mereka juga kurang akan adanya informasi yang mereka ketahui karena terlalu sibuk mencari butiran – butiran uang untuk mencukupi biaya hidup mereka. Mata pencarian mereka yang hanya bisa mengorek – ngorek sampah – sampah di tempat pembuangan membuat mereka seolah terdiskriminasi oleh masyarakat. Tidak hanya itu saja, hal ini juga memunculkan stigma didalamnya seperti yang sudah saya jelaskan diatas mengenai stigma menurut pandangan Goffman. Hal seperti ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan mereka secara sosial dari masyarakat sehingga hal ini dapat mengecilkan kesempatan kelompok / individu itu tadi dan kondisi yang seperti inilah yang akhirnya membuat mereka pada akhirnya terdiskriminasi dari lingkungan sekitar mereka. Bahkan kerap kali mereka mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan hanya karena label stigma dari masyarakat sendiri.
            Dalam pandangan marxis pemulung sekarang sudah tidak seperti yang dulu lagi. Ketika dahulu dipandang sebagai sampah masyarakat dan selalu terekslusi oleh lingkungan sosialnya namun sekarang mereka sudah berani tampil sebagai diri mereka sendiri didepan publik. Pemulung di era sekarang sudah berani tampil tanpa perduli dipandang rendah oleh masyarakat. Stigma yang sedari dulu melekat pada diri pemulung bahwa pekerjaan mereka dibilang rendah dan tidak memiliki kemampuan untuk setara dengan masyarakat yang lain menyebabkan perkembangannya sampai dengan sekarang masih melekat seperti itu. Padahal pasa dasarnya manusia memiliki kehidupan sendiri dan seharusnya hidup dalam toleransi yang tinggi atas dasar dari kehidupan sosial yang baik. Pemulung dianggap sebagai masalah sosial padahal mereka tidak merasa ada permasalahan dalam diri mereka. Persepektif masyarakat lebih mengarah kepada bagaimana mereka menjalani hidup yang srba kekurangan dengan mengambil sampah-sampah yang tidak terpakai untuk dijual kembali. Padahal dalam pandangan pemulung sendiri mereka merasa baik-baik saja dengan pekerjaan yang seperti itu. Mereka juga hidup dengar normal layaknya masyarakat yang lain. Disini dapat menjawab pandangan pasrsons yang melihat pemulung ada diluar struktur sosial. Itu hanyalah pandangan orang saja padahal pemulung sendiri tidak merasa seperti itu.
            Kebanyakan pemulung sekarang sudah memiliki tempat tinggal dan tidak lagi berada dalam ketelantaran seperti yang disangka oleh masyarakat. Dalam film musafir tersebut diperlihatkan jenis pemulung yang berada dijalanan dan benar-benar tinggal dijalanan. Namun bila kita perhatikan jelas di film diperlihatkan post marxis dimana pemulung juga menjalani kehidupan seperti orang yang normal dan tidak lagi merasa berbeda dengan masyarakat yang lain. Di film diperlihatkan pemulung juga ke masjid, makan diwarung, membicarakan politik seprti nama-nama gubernur. Dari situ terlihat jelas bahwa mereka hidup seperti yang lain, hanya saja mereka memiliki pekerjaan yang berbeda. Masyarakat selalu memandang prestis dari segala jenis pekerjaan dan yang dihasilkan dari pemikiran yang seperti itu adalah orang-orang yang bisa hidup dengan layak namun pekerjaannya tidak prestis maka akan terekslusi dari lingkungan sosialnya. Pemulung sudah mengalami hal itu dari jangka waktu yang sangat lama. Namun sekarang pemulung tidak lagi takut untuk mengeksplor diri. Mereka bhidup seperti yang lain dan memiliki dan tidak lagi merasa terekslusi dengan lingkungannya. Mereka hidup dengan menjadi diri sendiri dan tidak perduli orang mau berkata apa. Disinilah kemudian pandangan post marxis yang terlihat begitu jelas dalam kehidupan pemulung saat ini. Yang masih merasa mengekslusi adalah masyarakat namun pemulung sudah tidak lagi merasa terkslusi dari lingkungan sosialnya.

3 komentar:

  1. semoga film ini sebagai bentuk Ruang Ketiga untuk setidaknya mmberikan pandangan kepada masyarakat bahwa kehidupan musafir/pemulung dalam film tersebut sama dengan masyarakat lainnya. harapannya proses pengeksklusian sosial yang diberikan kepada pemulung dapat dikurangi, hehe

    BalasHapus
  2. Pemulung memang kerap kali di eksklusikan, karena erat dengan sampah, bau, dan kotor. Ekslusi terhadap pemulung seperti Kamal dan Ida yang terjadi di Film Musafir ini seharusnya tidak terjadi. Menurut saya tidak ada salahnya menjadi pemulung. karena untuk beberapa pemulung, dengan memulung mereka dapat dapat menggantungkan hidup sehari hari. Dengan memulung mereka mendapatkan penghasilan. Toh di mata Tuhan tidak ada bedanya derajat orang kaya dan pemulung sekalipun. tidak ada yang salah dengan memulung. Lantas kenapa masyarakat sering mengekslusikan mereka? menurut saya memulung itu lebih baik daripada mencuri.

    BalasHapus
  3. kpemulung itu dapat tereksklusi dari lingkungannya ada beberapa faktor wyna:
    1. mereka tereksklusi karena yang mendiskriminasikan mereka adalah the ruling class atau hanya didasarkan oleh faktor ekonomi
    2. Wacana yang muncul dari pemulung itu sendiri, karena realitasnya pemulung sekarang juga bisa dikatakan sebagai pencuri karena sebagian dari mereka juga ada yang masuk ke pagar rumah orang untuk mengambil jemuran, bak atau ember. sehingga stigma sebagai seorang pencuri juga dilekatkan pada mereka (hehehe ini yang terjadi di daerah saya). Jadi dengan kasus seperti itu pemulung sama halnya dengan pencuri. Tetapi saya tidak mengenalisir bahwa pemulung sebagai pencuri y! hehehe

    BalasHapus