Paper Kuliah Kesenjangan dan Eksklusi Sosial
“ Pertemuan 2 – 4 (Eksklusi Sosial: Deviant, Durkheim, Marxist) “
Oleh: Ageng Mahendra A
Jurusan Sosiologi – Universitas Brawijaya
NIM : 115120101111023 – agengbrawijaya@gmail.com
Pada paper kali ini, penulis mencoba memaparkan pemahaman penulis akan perkuliahan pada minggu-minggu sebelumnya yang mengangkat tema-tema seperti: konsep dasar eksklusi dan kesenjangan serta deviant, “Normality and Social Pathology”, kesenjangan sosial perspektif Marxist. Pertama penulis akan menjelaskan pengetahuan penulis akan materi perkuliahan pertama kesenjangan yang mana membahas akan konsep awal kesenjangan dan eksklusi sosial, devian serta perspektif Amartya Sen. Kesenjangan serta eksklusi sosial secara harfiah dipahami sebagai adanya jurang perbedaan atau pemisahan yang ada dimasyarakat yang membagi masyarakat menjadi beberapa bagian, disatu sisi mereka yang melakukan penguasaan dilain pihak ada mereka yang tertindas. Hasil dari adanya suatu kesenjangan yang ada di masyarakat, adalah terjadinya eksklusi sosial bagi beberapa pihak yang ada di masyarakat.
Sen yang seorang libertarian yang menyadur pemikiran adam smith, melihat sistem liberal yang mengakui adanya kepemilikan-kepemilikan oleh individu baik bagi masyarakat. Sen percaya adanya sistem liberalis yang mengakui kepemilikan individu akan mencapai tahap hubungan yang saling membutuhkan satu sama lain sehingga tidak terjadi konflik, berbeda dengan sikap dari persprktif marxis yang begitu determinis. Sen membagi masyarakat yang tereksklusi sosial bila dalam 3 hal ini masyarakat tidak mempunyai kapasitas yaitu: 1) hilangnya kesempatan (opportunity), 2) kesenjangan dalam hal ekonomi, 3) terjadinya Deprivation( kerugian karena kehilangan akses). Ekslusi sosial yang terjadi dimasyarakat dibagi Sen menjadi 2: Active (perempuan,difabel), Passive (pengungsi).
Kajian akan normalitas dan patologi dapat kita temui di karya yang dibuat oleh Emile Durkheim yaitu Rules of Sociological Method (RSM). Durkheim mencoba membedakan kondisi sosial yang ada pada masyarakatnya menjadi 2 yaitu mana masyarakat yang normal dan mana yang patologis. Masyarakat yang normal menurut Durkheim adalah masyarakat yang mana bila dilihat terdapat kesamaan dengan masyarakat yang lainnya, dengan kata lain sifatnya universal. Universalitas yang terdapat pada sebuah masyarakat dikarenakan sifat maupun ciri-ciri yang terdapat pada masyarakat tersebut dapat ditemui pula pada masyarakat lainnya. Masyarakat yang normal menurut Durkheim juga dapat disebut sebagai masyarakat yang sehat.
Patologi, kata patologi akan dapat kita temui pada ilmu alam layaknya ilmu kedokteran dan ilmu biologi yang berarti penyakit. Durkheim melihat masyarakat yang patologis adalah kebalikan dari masyarakat yang normal, dimana pada masyarakat patologi tidak mempunyai ciri-ciri dengan masyarakat lainnya yang ada umumnya. Perbedaan yang terdapat pada masyarakat patologis dianggap layaknya sebuah ke-abnormalitasan masyarakat karena standar akan “normal” telah ada. Layaknya masyarakat normal yang disebut sebagai masyarakat sehat, masyarakat patologis dapat direpresentasikan sebagai masyarakat yang berpenyakit. Dikotomi masyarakat oleh Durkheim yang menjadi 2 bagian yaitu masyarakat normal dan masyarakat patologis secara tidak langsung berimbas dan berimplikasi pada self atau diri individu sebagai unit terkecil dari masyarakat.
Mengapa penulis mengatakan dikotomi atau pemisahan masyarakat oleh Durkheim menjadi yang normal dan patologis berimplikasi pada self, karena individu sendiri merupakan unit terkecil yang menjalankan norma-norma serta nilai yang ada di masyarakat. Bagaimana menurut Durkheim individu tersebut ter-determinasi oleh lingkungan sosial yang ada disekelilingnya. Lingkungan disekitar individu lah yang lebih mempunyai kuasa untuk mempengaruhi serta mengkonstruk pola pikir individu untuk bagaimana cara berperilaku dan bertindak di masyarakat. Nah, ketika pada suatu masyarakat terdapat individu yang berbeda dengan individu lainnya atau berbeda dengan masyarakat umumnya maka individu tersebut dapat dikatakan individu deviant, sehingga masyarakat tersebut dianggap ber-penyakit.
Bentuk normalitas dan patologis, dapat kita lihat pada tesis Durkheim yaitu The Division of Labour, singkatnya Durkheim melihat kesadaran kolektif yang dimiliki oleh masyarakat akan berkurang seiring dengan meningkatnya solidaritas organik, yang mana diiringi dengan berkurangnya kepercayaan tradisional begitu pula pembagian kerja yang semakin kompleks, merupakan gejala “normalitas” pada tipe masyarakat yang modern (Giddens, 1986: 115). Namun dalam perubahan maupun transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, masyarakat tidak langsung menghilangkan sifat-sifat tradisionalnya, masyarakat masih berpegang walau norma yang ada luntur sehingga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang patologis. Inilah yang menurut penulis lihat bagaimana Durkheim dalam tulisannya Rules of Sociological Method berusaha menentukan kriteria masyarakat normalitas dan berusaha memberikan kriteria ilmiah dalam penjelasan masyarakat yang patologis (Ibid: 114).
Kriteria akan masyarakat yang normal dan patologi yang dikemukakan oleh Durkheim, inilah yang menjadi salah satu sandaran mengapa terjadi kesenjangan dan eksklusi sosial yang ada di Indonesia. Dari standar akan ke-normalan sebuah masyarakat adalah dimana dapat dilihat sebuah masyarakat termasuk individu didalamnya memiliki ciri maupun gambaran yang sama dengan masyarakat lainnya sehingga bisa dikatakan sebagai masyarakat yang sehat bila berbeda maka masyarakat tersebut patologis atau berpenyakit. Durkheim dalam karyanya berbicara mengenai masyarakatnya yang mengalami anomie. Penulis melihat paparan Durkheim tentang masyarakatnya yang mengalami anomie sebagai bentuk atau bagian dari masyarakat patologis. Yang mana pada masyarakat Durkheim yang mengalami anomie mengalami hal-hal seperti kehilangan akan norma kebudayaan, disorganisasi dari masyarakatnya, berperilaku menyimpang atau disassosiasi dan lain-lain merupakan suatu bentuk ketidak-normalan atau abnormalitas dari individu maupun masyarakat. Hal diatas pasti berbeda dengan masyarakat yang sehat dari kacamata normality. Baik individu maupun masyarakat berpegang pada norma dan berperilaku sesuai konstruksi masyarakat alias sama, standar atau umum dan pasti sama dengan masyarakat lainnya. Penulis dapat mengambil contoh “mereka”(orang) yang gila, perampok, penjahat, pemerkosa adalah suatu bentuk patologis dari masyarakat karena orang-orang tersebut tidak berkesesuaian dengan masyarakat pada umumnya, apabila terdapat orang-orang yang seperti itu maka individu dapat dikatakan deviant sedangkan didalam sebuah masyarakatnya berpenyakit (patologis).
Penjelasan terakhir akan kesenjangan dan devian yang terjadi di masyarakat yaitu melalui perspektif marxis. Marx yang teorinya mengedepankan akan materialisme serta determinisme ekonomi, melihat masyarakat maupun individu dapat tereksklusi dan menjadi devian oleh sistem tersebut. Pemikiran Marx melihat ekslusi sosial dapat dilacak dari adanya Deviance Production, Kontrol yang dijalankan oleh penguasa menghasilkan devian. Infrastruktur (ekonomi) dalam konsep Marx begitu berpengaruh dan dapat membuat perubahan suprastruktur (sosial,politik,dll). Mereka atau individu yang dikatakan devian dalam konsep Marx adalah individu-individu yang tidak mampu dan berkontribusi menopang tujuan dari para pemilik modal. Kesenjangan dan eksklusi sosial yang terjadi pada masyarakat Marx terjadi kepada tenaga kerja karena mereka dibagi menjadi skilled, semiskilled and unskilled, mereka-mereka yang tidak mempunyai keahlian maka akan tereksklusi dan tertindas karena mereka tidak mempunyai bargaining power. Alhasil tenaga kerja yang unskilled tersebut hanya digaji kecil dan tidak mampu mencukupi kebutuhannya.
Daftar Pustaka:
Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, penterjemah Soeheba Kramadibrata. Jakarta: UI Press.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Paper Kuliah Kesenjangan dan Eksklusi Sosial
“ Pertemuan 5 dan 6 ( Butler, Oliver, Foucault, Goffman)“
Oleh: Ageng Mahendra A
Jurusan Sosiologi – Universitas Brawijaya
NIM : 115120101111023 – agengbrawijaya@gmail.com
Pada paper ini, penulis akan memaparkan pengetahuan penulis yang didapat pada perkuliahan pertemuan ke 5 dan 6 yang mengangkat tema-tema yang menyebabkan kesenjangan dan ekslusi sosial yang terjadi di masyarakat melalui perspektif Judith Butler, Michael Oliver, Michel Foucault, dan stigma oleh Goffman. Seperti kita ketahui bersama, posisi gender dan seksualitas berada pada tahap yang berbeda dan bukan hal yang sama dan harus dipersatukan. Ketika Gender banyak dikatakan orang, atau bila kita ambil dari masyarakat, gender merupakan sebuah konstruksi sosial yang dibangun dan dibentuk oleh masyarakat yang mana berusaha membagi dan membedakan peran antara laki-laki dan perempuan, dengan tujuan tiap-tiap insan manusia dapat mengambil peran sesuai dengan porsinya di masyarakat. Dengan begitu dapat ditarik kesimpulan jika gender merupakan bentukan dan sebuah konstruksi. Tentunya berbeda jika kita berbicara menyoal seksualitas, seksualitas dipahami sebagai jenis kelamin, bergantung pada kepemilikan atau kepunyaan “barang” yang dinamakan alat kelamin itu. Jika individu memiliki (maaf) penis maka ia merupakan seorang laki-laki begitupula sebaliknya jika ia memilki payudara merupakan seorang perempuan. Dengan kata lain seksualitas merupakan sesuatu yang merupakan pemberian (gifted) dari tuhan yang sifatnya kodrati. Jika dalam gambaran atau kontekstualisasi seperti itu maka gender berada pada tempat yang berbeda dengan seksualitas, padahal gender dan seksualitas memiliki hubungan yang koheren satu sama lain dan dapat menjadi penyebab eksklusi sosial (contoh pada penjelasan selanjutnya).
Berangkat dari pemikiran kalau gender merupakan sebuah konstruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat, maka akan pasti terjadi kesenjangan, dan terpinggirkan dari masyarakat. Lalu dimanakah tempat bagi mereka-meraka yang waria, homo, lesbian? Mengutip dari bahasa Derrida, “Tidak ada sesuatu yang berada diluar teks” konstruksi sosial akan gender, serta gambaran seksualitas yang ada dimasyarakat mengkonstruk wacana kalau pria adalah yang memiliki penis dan berperilaku-lah seperti seorang pria pada umumnya, dilain hal ini merupakan penindasan dan peminggiran mereka-mereka yang tidak sesuai harapan masyarakat sebagai contoh pria berpenis namun memakai pakaian wanita, homo, waria dan sebagainya. Inilah yang berusaha didekonstruksi (bahasa Derrida) oleh Butler, Butler menganggap gender bukan merupakan sesuatu yang berasal dari konstruk masyarakat melainkan berdasar pada pengalaman-pengalaman oleh individu itu sendiri. Bagaimana individu itu sendiri memahami dan memaknai arti tubuh mereka sendiri. Untuk mengkontekstualisasikannya pengalaman tersebut menjadi sesuatu yang bersifat konkrit, Butler mengidentifikasikan gender sebagai sesuatu yang dapat dilihat dan digambarkan melalui performa, melalui performa atau ekspresi oleh individu itulah gender tergambar. Dengan maksud seperti itu, Butler berusaha menggambarkan gender yang bukan merupakan konstruksi sosial melainkan berdasar atas pengalaman individu yang tergambar melalui performa itu. Sebagai contoh secara fisik seorang individu tersebut diidentifikasikan sebagai pria karena tegap dan mempunyai alat kelamin pria, namun secara performa ia menunjukan kalau ia berperilaku perempuan. Dengan begitu Butler berusaha menggiring kita menerima gender sebagai sesuatu performa yang berdasar atas pengalaman bukanlah konstruksi sosial, karena konstruksi sosial oleh masyarakat rawan akan terjadi ekslusi. Menjawab pertanyaan pada kalimat akhir paragraf satu, kalau gender dan seksualitas memiliki hubungan yang koheren, semisal contohnya secara seksualitas seorang pria memiliki alat kelamin penis dan kemudian harus menikah dan mempunyai anak, ternyata pria tersebut mandul dan tidak dapat meneruskan keturunannya, hal tersebut berimplikasi pada pria yang gagal yang mana menggambarkan adanya hubungan koheren yang mana seksualitas menjadi penyebab gambaran secara gender pria tersebut.
Kemudian penjelasan berikutnya terjadi kesenjanagan dan ekslusi sosial melalui perspektif Michael Oliver, pada penjelasan ini penulis menyadari kalau kurang begitu memahami menyoal ini, tetapi penulis tetap berusaha menggambarkan pemahaman penulis mengenai Oliver. Pemahaman penulis akan pemikiran Oliver ini menggiring penulis melihat terjadinya kesenjangan dan ekslusi sosial yang mana mereproduksi makna disabilitas berasal dari kapitalisme dan materialisme, dan pada akhirnya bermuara pada tujuan kapitalisme. Penyandang cacat atau disabilitas (bahasa pd tulisan Oliver) merupakan sebuah bentukan atau konstruksi tidak lain oleh kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme yang ditandai dengan kehidupan modern yang digambarkan melalui kehidupan yang semakin canggih dan serba cepat menuntun orang-orang mengikuti model hidup seperti itu dan bekerja kepada kapitalis (yang kemudian disebut orang normal) dilainkan pihak menyisihkan orang-orang yang “tidak normal” (mereka yang cacat). Hal diatas tergambar pada tulisan Ryan dan Thomas yang dikutip oleh Oliver (1999) yang penulis kutip singkat berbunyi “ The speed of factory work, the enforced discipline “. Secara bahasa dapat tergambar kecepatan yang dilakukan oleh kerja pabrik (kapitalis), menyelenggarakan (memproduksi) disiplin, dengan begitu mereka yang terpapar menjadi orang yang disebut dis (konstruksi sosial) harus mengikuti logika-logika kapitalis ketika tidak bisa maka mereka (dis) akan tereksklusi sosial. Hal tersebut (eksklusi) terjadi pula pada mereka yang merupakan penyandang cacat atau dis tadi, ketika mereka ternyata dapat melakukan kerja-kerja sesuai logika kapitalis. Hal itu terjadi ketika mereka yang dis itu dapat bekerja seperti orang normal, masyarakat menempatkannya sebagai sesuatu yang tidak biasa dan wah, dengan begitu masyarakat menempatkan individu yang dis atau abnormal itu menjadi sebuah objek, bukanlah menempatkan individu menjadi sebagai subjek.
Kemudian penjelasan singkat penulis dari perspektif Foucault karena telah berulang pada kuliah sebelumnya pada sosiologi kritik dan post-modern. Kesenjangan dan ekslusi sosial yang terjadi pada individu pada perspektif Foucault karena adanya rezim kebenaran (regime of truth) yang ada di masyarakat. Rezim kebenaran berawal dari pemikiran Foucault yang menyatakan kalau kekuasaan itu tersebar dan terdesiminasi keseluruh masyarakat dan berada pada tataran interaksi antara individu dengan individu lainnya. Foucault melihat kekuasaan itu bukanlah sesuatu yang berada diluar pengetahuan melainkan berada didalam pengetahuan itu senidiri. Dengan pengetahuan itu pula-lah rezim-rezim kebenaran (regime of truth) diproduksi dan disebarkan melalui wacana-wacana atau dalam bahasa Foucault diskursus. Inilah yang menjadikan dengan mudah individu dapat ter-eksklusi dari masyarakatnya, karena standar-standar akan kebenaran dan kenormalan telah ada di masyarakat. Mereka-mereka yang berbeda dan menyimpang maka akan terpinggirkan dalam konteks Foucault mereka yang sakit, mereka yang gila, mereka yang jahat, abnormal dan lai-lain maka dimasukkan ke-dalam rumah penghakiman seperti rumah sakit, rumah sakit jiwa, penjara, yang mana menggambarkan akan kekuasaan yang beredar di masyarakat.
Terakhir menurut Goffman, yang berbicara terkait identitas sosial yang dimiliki oleh setiap individu. Identitias sosial dapat dipahami sebagai sesuatu yang dilihat oleh orang lain (diluar individu) melihat individu tersebut. Identitas sosial merupakan sesuatu yang dekat dan melekat dengan individu karena merupakan penggambaran dari individu tersebut. Goffman melihat ekslusi sosial dapat terjadi ketika sudah pada tataran stigma. Stigma dalam pandangan Goffman merupakan sesuatu yang negatif yang tergambar dari individu. Semisal individu terstigma sebagai seorang yang homo, lesbian, pecandu alkohol dan lain-lain. Stigma muncul karena adanya ketidakbiasaan yang ditemui pada individu yang mana menghasilkan inferioritas yang kemudian mengekslusi individu. Stigma dalam hal ini menyalahkan atribut (identitas) individu yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.
Sekian review dari penulis, mohon maaf bila terdapat kekurangan.
Referensi Bacaan:
Alimi, Moh. Yasir. 2011. Judith Butler: Gender/ Seks sebagai “ Pertunjukan “ dan Tawa Medusa. Tidak diterbitkan. Komunitas Salihara
Oliver, Michael. J. 1999. Capitalism, Disability, and Ideology: A Materialist Critique of The Normalization Principle. London: University of Greenwich
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Review Film: “Berawal dari A...” Oleh Ageng Mahendra A. 115120101111023. Sosiologi.
Sebuah film dokumenter yang berjudul “ Berawal dari A... ”, ini bagaimana menggambarkan sebuah konstruksi atau bangunan dari realitas gender yang terjadi di Indonesia. Konstruksi sosial akan pembagian peran atau gender yang ada di Indonesia yang menempatkan seorang pria dan wanita harus memiliki spesifikasi-spesifikasi yang mandiri dan berbeda satu sama lain. Konstruk masyarakat Indonesia yang notabene mayoritas masyarakatnya menganut sistem kekeluargaan Patriarki, dengan begitu menempatkan posisi pria berbeda dengan perempuan. Bangunan pemikiran yang mambagi atau mendikotomi pria dan perempuan dalam konteks ke-Indonesiaan bahkan dunia dapat ditarik dari kata Descartes “Cogito Ergo Sum” yang mana berarti aku berpikir, maka aku ada. Dari situ ada dikotomis secara sifat antara pria yang lebih rasional dan perempuan yang lebih memakai emosional juga didukung pula dengan penciptaan akan fisik pria dan perempuan yang mendorong dan melandasi konstruksi gender yang ada dimasyarakat. Dalam konteks film yang ditayangkan pula dapat dilihat bagaimana agama juga ikut berperan dalam konstruksi gender ke-Indonesiaan. Penulis melihat hal tersebut dapat ditemui di Al-Quran yang mengatakan bahwa pria diciptakan untuk menjadi pemimpin bagi dirinya, bagi keluarganya dsb. Ketika didalam film tersebut menunjukan seorang pria yang tidak bisa berperilaku sesuai dengan konteks konstruksi gender seorang pria yang mana diwajibkan untuk menjadi pemimpin atau imam yang bagi keluarganya maka pria tersebut dianggap gagal. Foucault melihat konstruksi semacam ini tidak lain merupakan bentuk kekuasaan yang tersebar dan terdesiminasi dimasyarakat, yang mana menguasai dan mendominasi masyarakat. Dalam bahasa Foucault konstruksi gender seperti ini tersebar melalui pengetahuan-pengetahuan yang ada di masyarakat yang kemudian melahirkan kebenaran-kebenaran (Regime of Truth) yang ada dimasyarakat. Dari kebenaran-kebenaran inilah yang melakukan pelanggengan terhadap rezim kekuasaan berupa konstruksi masyarakat mengenai dikotomi gender pria dan wanita.
Ageng: ayo teman-teman komen dong hehe
BalasHapusdari penjelasan anda mengenai normal-pathologis saya kira cukup jelas. namun disini saya ingin menanyakan konsep mengenai hubungan solidaritas durkheim dengan ekslusi sosial. pemaparannya mengenai ekslusi dapat mengancam solidaritas sosial memunculkan gagasan bagi saya, karena di sisi lain orang-orang yang merasa sama-sama terekslusi justru membentuk komunitas dan kekuatan baru yang justru membuat solidaritas mereka semakin kuat seperti halnya kelompok difable yang sudah banyak mempengaruhi kebijakan mengenai fasilitas publik. lantas bagaimana pendapat anda mengenai hal ini yang ternyata gagasan Durkheim tidak sepenuhnya benar mengenai ekslusi mengancam solidaritas sosial, solidaritas sosial yang mana? karena bagi saya masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yg membentuk kesatuan masyarakat itu sendiri.
BalasHapusBenar memang yang kemudian dikatakan oleh bung Yani, dimana kemudian komunitas yang teralienasi kemudian membentuk komunitas baru berdasar atas persamaan dan pemahaman yang mereka pahami bersama. Posisi saya disini kemudian tidak berusaha "membenarkan" apa yang dikatakan Durkheim. Ilmu pengetahuan selalu berkembang dari masa ke masa karena selalu terdapat dialektika antara thesis dan anti-thesis kemudian memunculkan sintesa baru begitu seterusnya. Dalam konteks ini pula yang saya pahami dari Durkheim ketika berbicara Solidaritas kemudian ada dua konsep yaitu mekanis dan organis. Perubahan yang kemudian terjadi disebabkan karena pembagian kerja (division of labor) di masyarakat. Bila kemudian dikatakan mengancam solidaritas sosial, saya mencontohkan dengan adanya kemudian memunculkan kelompok baru dan membangun solidaritasnya maka identifikasi in group dan outgroup menjadi ada. Konteks "outgroup" kemudian diidentifikasi sebagai yang "tidak sama" "Beda". Karena kemudian solidaritas yang kemudian menguat pada suatu entitas maka akan menstimulus entitas lain sebagai negasinya guna menguatkan solidaritas kelompoknya juga.
BalasHapus