Kelompok 6 (Analisis Film Born Into Brothles )
Evan Okta Harendrawan 105120100111010
Rahaninda Putri Assanti 115120101111002
Ayu Septy Wardah 115120105111001
Siti Nurjanah 115120100111020
Arief Aini Nur 115120107111044
Ageng Mahendra A 115120101111023
Thinarian Thomas W.P 115120107111023
Rahaninda Putri Assanti 115120101111002
Ayu Septy Wardah 115120105111001
Siti Nurjanah 115120100111020
Arief Aini Nur 115120107111044
Ageng Mahendra A 115120101111023
Thinarian Thomas W.P 115120107111023
Sinopsis dan Analisis Film :
Dalam film documenter “Born into Brothles” digambarkan bahwa ada 8 anak yag berasal dari negara india dari sudut kota Calcutta bernama Shanti, Kochi, Aviijit, Manik, Gour, Tapasi, Sucitra, Puji dalam kehidupan lingkungannya mereka mengalami tekanan dari berbagai pihak, salah satunya keluarganya, dalam lingkungan 8 anak ini mereka berada dalam lingkungan yang kurang memungkinkan untuk bisa mengakses segala hal yang harusnya dimiliki oleh mereka, bentuk kurang dukungan dari lingkungan pelacuran yaitu mayoritas pekerjaan lingkungannya ialah pekerja seks komersial atau PSK, konstruksi yang dibentuk oleh lingkungannya ialah bahwasanya PSK merupakan pekerjaan yang sah-sah saja, meskipun tidak terlontar dari ucapan secara langsung namun dari tindakan mereka bisa menganggap PSK merupakan pekerjaan yang biasa, hal inilah yang tertanam pada keluarga dari 8 anak ini, terutama anak yang berjenis kelamin perempuan, keluarga akan secara terbuka untuk mendorong anaknya menjadi PSK juga. Walaupun, berada di lingkungan yang sama tetapi latarbelakang masing-masing anak dalam kehidupannya juga digambarkan berbeda. Konstruk masyarakat yang berbeda dengan indonesia menjadi menarik karena tidak semua konstruk yang dibentuk oleh masyarakat india khususnya dalam film ini sama dengan lingkungan ataupun konteks indonesia, dari segi konstruk masyarakat yang berbeda akan menimbulkan pengalaman yang berbeda pula, yang secara umum menjadi menarik untuk ditelaah dan harapannya juga bisa memberikan solusi untuk memberikan akses kepada anak-anak yang sudah terlanjur dengan konstruk dari masyarakat india.
Penggambaran yang secara singkat dari segi makro memberikan gambaran kondisi lingkungan yang ada di india, khususnya dalam hal ini, yang kami maksud bukan negara india secara keseluruhan, namun dalam hal ini lingkungan prostitusi yang tidak disebut namanya, untuk memberikan perlindungan terhadap kaum-kaum yang berada disana, secara makro konstruk yang dibentuk oleh masyarakat sudah tertanam begitu mendalam, namun jika dilihat secara mikro ketujuh anak ini masih memiliki harapan untuk bisa mengakses segala hal, khususnya pendidikan yang mereka belum dapatkan, meskipun tekanan yang dibuat oleh keluarga terutama masih memberikan tekanan terhadap pemikiran ketujuh anak ini.
Lewat zana seorag fotografer mengajarkan ke tujuh anak ini tentang foto. Bagaimana cara memegang kamera dan membuat sebuah foto bercerita. Pembelajaran yang dilakukan Zana bukan tanpa halangan, karena anak-anak harus banyak belajar memotret gambar agar gambar tersebut dapat bercerita, bahkan Zana juga memberikan pelatihan tentang cara mengedit foto yang menarik seperti apa. Dari perjuangannya, Zana kemudian berupaya untuk menjual karya-karya anak-anak sebagai bentuk penggalaan dana. Alhasil, upaya tersebut berhasil terwujud di Amerika yang diwujudkan dalam sebuah galeri museum khusus hasil karya anak-anak tersebut. Bahkan salah satu dari 8 anak tersebut berhasil mewakili India dalam acara eksebisi foto dunia untuk anak-anak di Amsterdam. Walaupun, untuk mencapai itu anak-anak harus melalui proses birokrasi yang panjang dengan mengurus visa, pasport bahkan anak-anak yang tinggal di lingkungan pelacuran sampai harus melakukan tes kesehatan untuk dilihat darahnya positif atau tidaknya terkena HIV/Aids. Selain itu, keberhasilan anak-anak juga di gambarkan lewat yayasan Sabera yang kemudian meyekolahkan anak-anak tersebut untuk menggapai impiannya. Dengan cara ini anak-anak lupa akan kesedihan yang mereka rasakan. Di sini terlihat bahwa kedelapan anak ini melawan konstruk yang ada di lingkungannya. Mereka mencoba mempelajari pendidikan untuk melawan apa yang mereka pahami mulai dari kecil.
Di akhir film juga dijelaskan bahwa kedelapan anak ini memiliki keputusan masing-masing dalam hidupnya dimana kerasnya hidup yang digambarkan di tempat pelacuran tidak kemudian membuat anak-anak ini kehilangan semangat atau tujuan hidupnya untuk menggapai cita-cita mereka. “Saya tidak pernah berpikir akan kaya, kalaupun saya miskin, saya yakin saya akan bahagia”, sebuah prinsip hidup yang menurut saya sederhana tetapi banyak makna di dalamnya. Pemikiran sederhana tersebut yang membuat anak-anak mendapat hal yang luar biasa dimana kedelapan anak ini di akhir cerita dijelaskan Avijit memutuskan untuk kembali ke Calcutta dan memiliki masuk sekolah Future Hope, ada juga Manik yang mana ayahnya tidak membolehkan Manik untuk bersekolah, Ibu Puja yang menarik Puja dari Sabera, Shanti yang meninggalkan Sabera berdasarkan keinginannya, Gour tetap tinggal di rumah dan berharap dapat melanjutkan sekolahnya ke universitas, Tapasi memtuskan pergi dari rumah dan pergi ke Sekolah Sanlaap dimana sekolah khusus wanita, Bibi Sucitra yang tetap menyuruh Sucitra untuk tidak meninggalkannya di tempat pelacuran, dan Kochi memilih untuk tetap tinggal di Sabera.
Gambaran film juga lebih ditekankan pada anak-anak menjadi lakon utama dalam film ini. Begitu nampak bagaimana sebenarnya wacana akan kemiskinan terhadap masyarakat dalam hal ini merupakan konstruksi sosial, yang kemudian konstruksi tersebut berasal dari luar diri yang kemudian mendeterminasi diri, mengidentifikasikan diri (self) pun sebagai orang yang miskin. Analisis yang kemudian begitu masuk dalam konteks film tersebut adalah melalui persepektif Amartya Sen. Sen yang merupakan seorang marxis menitikberatkan pada bagaimana determinasi ekonomi yang kemudian menciptakan sebagaimana masyarakat menjadi miskin ketika mereka (masyarakat) tidak mempunyai modal, atau ekonomi. Amartya Sen dalam pandangannya secara lebih khusus mengatakan kesenjangan yang terjadi di masyarakat dikarenakan selain mereka terdeterminasi secara ekonomi sehingga menyebabkan masyarakat ter-deprivasi. Deprivasi dalam konsep Sen dimana masyarakat kehilangan atas akses-akses yang ada di kehidupan layaknya akses terhadap pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Dalam konteks film ini pada bagian awal bagaimana anak-anak yang kemudian berasal dari kalangan orang miskin karena digambarkan dengan latar yang kumuh, kotor, jorok dan lain-lain ter-deprivasi dari segi pendidikan. Bagaimana mereka begitu kehilangan akan akses-akses terhadap institusi pendidikan, dengan begitu bagaimana mereka mampu mempertanyakan atau bangkit dari kondisi terdominasi ketika pendidikan pun tidak mereka miliki?. Gambaran konstruksi yang kemudian semakin merasuk kepada pikiran anak-anak tersebut bagaimana mereka tinggal diwilayah yang kemudian menjadi wilayah transaksi seksual. Yang sebenarnya begitu tabu jika dipertimbangkan dari segi umur mereka. Sudah sewajarnya jika lingkungan sekitar baik orang tua mereka tidak mempunyai kehidupan yang layak, terkadang orang terdekat mereka pun menyuruh mereka melakukan pekerjaan seperti itu dalam bahasa filmya on the line ( merujuk pada penjaja seksual). Secara Budaya mereka nampaknya terdominasi oleh itu dimana mereka tinggal pada lokasi yang kemudian sepemahaman penulis tidak memiliki budaya yang kemudian dapat mengkonstrusi mereka sebagai orang yang “bener”. Seperti pada suatu kondisi digambarkan dalam film itu seorang anak dipaksa oleh bibinya untuk menjajakan tubuhnya dikarenakan telah ditingal mati oleh orang tuanya.
Dalam perspektif Sen yang lain juga terlihat bahwa ada determinasi di luar individu untuk merepertasi kemiskinan. Kemiskinan di sini menahan akses pendidikan yang mereka inginkan. Karena kemiskinan ini mereka tidak memiliki biaya untuk pendidikan yang layak. Bahkan mereka hanya di suruh kerja untuk membantu perekonomian keluarga. Dari sisi keluarga ketujuh anak ini tidak ada yang mendukung atas pendidikan yang mereka jalani. Secara sifatnya, fenomena social ini termasuk dalam social enklusion aktif dimana kelompok-kelompok anak-anak masih terikat dan diproses dalam suatu masyarakat lewat sosok orang asing yang tinggal di India yang pada awalnya bersifat social ekklusion pasif yaitu kelompok minoritas yang tidak punya hak untuk mengembangkan khusunya anak-anak si pelacur tersebut sehingga berdampak dari eksklusi sosialnya menyebabkan mereka tidak memiliki tawaran di masa depan.
Penggambaran dalam film tersebut juga bercerita bagaimana anak-anak disiksa, disuruh bekerja tiap pagi sampai malam sehingga tidak punya cukup waktu untuk beristirahat. akses pendidikan, kasih sayang, dan berbagai fasilitas yang seharusnya diperoleh oleh anak. Proses ini yang kemudian membawa anak-anak ke arah marginalisasi dimana anak-anak tersebut sulit untuk mengakses pelayanan public. Walaupun pada akhirnya, anak-anak dilatih oleh seorang fotografer dari orang asing dan pelukis sehingga anak-anak mampu berkarya dan menunjukkan bahwasanya lingkungan yang kumuh, kotor dan prostitusi tidak berdampak pada skill atau kemampuan anak untuk berkarya, bahkan kenyataannya mereka adalah anak-anak yang cerdas dan kreatif sehingga banyak memberikan cerita-cerita dibalik gambar yang mereka potret. Banyak komponen yang membuat kehidupan anak-anak di tempat pelacuran membuat mereka terekslusi yaitu karena kemiskinan, akses terhadap pekerjaan sehingga bekerja sebagai pelacur bahkan rentan terhadap penyakit seksual (HIV/Aids), tidak memiliki dukungan dan jaringan social, efek daerah setempat yang kumuh dan kotor, tidak memiliki kemampuan apa-apa.
Komponen-komponen tersebut yang kemudian dilawan lewat penggambaran film “Born into Brothles” dimana kemiskinan tidak semata-mata membuat mereka putus asa bahkan orang tua mereka menjadi pelacur demi meningkatkan ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan yang tinggi, anak-anak mereka disuruh bekerja untuk membantu meringankan beban orang tua, akses terhadap pekerjaan karena wanita-wanita disana menjadi pelacur maka sangat sulit akses mereka untuk bekerja ditempat yang lain oleh adanya stigma masyarakat bahwa pelacur itu murahan dan rendahan, hal serupa juga tidak didukung dengan laki-laki disana yang memiliki kebiasaan mabuk-mabukan, tidak adanya dukungan dan jaringan sosial tetapi disini, dukungan itu datang dari sosok Zana yang kemudian membawa perubahan besar bagi kehidupan mereka, dukungan kemudian datang berdatangan dari berbagai yayasan salah satunya Sabera Foundation, efek daerah yang berasal dari gang-gang kecil yang membuat kawasan tersebut kotor, kumuh dan tidak sehat membuat sebagian masyarakatnya temperamental seperti yang digambarkan oleh salah satu orang tua kedelapan anak tersebut.
konteks dalam film ini menurut saya menjadi sebuah stigma yang sangat sulit dirubah bahkan dihilangkan dalam masyarakat, khususnya di Indonesia, terlebih berbicara soal pelacur yang memang sangat bertentangan dengan faktor salah dan benar dalam agama.
BalasHapusiya benar apalagi mengambil contoh kasus di dolly surabaya yang mana penutupan dolly masih penuh dengan problematika antara yang pro dan kontra. wacana penutupan dolly yang rencananya tgl 18 juni sampai sekarang masih belum dijalankan secara maksimal artinya tempat prostitusi memang sengaja dilanggenggkan baik oleh pelaku prostitusi maupun para elit yang punya modal yang terus mempertahankan sedangkan untuk yang kontra mennggap seperti yang dikatakan oleh desandy masalah benar dan salah dalam agama.
BalasHapusPada beberapa masyarakat Indonesia memang benar seperti itu Dhe, seperti apa yang kemudian dikatakan Marx: Religion is opium to mass (society)
BalasHapusFaulcault dalam seksualitas menjelaskan bahwa rezim kuasa (dalam hal ini adalah agama) mempunyai peran yang cukup dominan dalam membentuk identitas seseorang.Dalam konteks prostitusi agama itu bekerja seperti Dosile Body (sebuah unit terkecil dimana kuasa tetap dapat bero[erasi seperti pada tubuh wanita. Tubuh wanita memang merupakan topik yang cukup seksi untuk diperbincangkan, pasalnya dalam agama dikatakan bahwa tubuh perempuan itu seringkali memicu syahwat (nafsu) laki - laki sehingga tubuh itu harus dilindungi.
BalasHapusDengan adanya dogma tersebut memberikan implikasi kepada wanita agar ia menutup bagian yang dianggap sensitif dan mampu memikat laki - laki. Konsep ini yang disebut dengan panopticon. adanya praktek kuasa daan pengetahuan dalam agama dengan penyebaran pewacanaan tentang PSK menyebabkan terbentuknya suatu identitas pada perempuan PSK it sendiri. Padahal mereka lupa PSK selain menjadi obyek mereka adalah subyek yang berhak memperlakukan tubuh mereka sesuai dengan keinginannya. Namun posisi mereka sebagai subyek dalam mengukuhkan identitasnya kalah dengan wacana dominan yang dibuat agama yang salah satu ayatnya berbunyi "dan janganlah kamu mendekati zina karena zina itu adalah perbuatan yang keji dan buruk.
Dari waca itu juga diperkuat dengan adanya kebujakan tentang UU pornografi dan pornoaksi.Tetapi walaupun permasalahan itu cukup krusial tetapi yang perlu dipahami adalah kasus Dolly yang ada di surabaya itu juga merupakan susber kehidupan mereka dan masyarakat setempat. Seharusnya pemangku kebijakan juga memberikan solusi terhadap permasalahan ini.
walaupun pemerintah surabaya telah mengalokasikan dana kepada mucikari sebesar Rp 5 .000.000 perorang. Hal inipun belum tentu menjamin kesejahteraan mereka setelah berhenti menjadi PSK. Toh mereka bekerja seperti itu juga karena adanya deprivasi ekonomi.
BalasHapusstigma mengenai pelacur menurut saya tidak akan bisa rubah menjadi hal yang profan. disinilah saya membenarkan agama sebagai sistem yg dibutuhkan keberadaannya. karena dalam agama terdapat aturan yg kompleks. ekslusi menjadi salah satu bentuk hukuman moral dari agama yg memang dibutuhkan. sederhanya jika anda setuju pelacuran kenapa anda juga setuju dengan pernikahan yg mengikat? itu jika berbicara mengenai moral. jika berbicara mengenai bisnis terutama yg dipaparkan peni, justru menurut saya harusnya yang diberi pesangon lebih banyak adalah pekerja sexnya bukan mucikarinya. karena dalam hal ini para mucikari sama halnya dg kapitalis bahkan lebih para sebab ia yg mengambil keuntungan dari sisi moralitas!
BalasHapusDalam film ini letak eksklusi sosial yakni anak-anak kehilangan akses-akses untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Anak-anak yang tinggal di tempat pelacuran ini di stigma negatif karena lahir dan besar di mlingkungan pelacuran. Yang membuat miris sekali yakni ketika anak kecil di suruh melakukan pekerjaan rumah tangga yang semestinya di kerjakan oleh ibu mereka. Sedangkan ibu mereka malah bersolek, berdiam diri, tidak melakukan kewajiban tersebut, malah-malah menyiksa anaknya. Hak-hak anak dalam film tersebut seakan dirampas. Mereka seharusnya menikmati masa-masa bermain dan sekolah, namun semua itu seakan-akan hanya menjadi angan-angan saja untuk bisa melanjutkan sekolah.
BalasHapus