Rabu, 25 Juni 2014

Tubuh dalam Kesenjangan dan Ekskusi Sosial: Difabel (Kelompok 3)






Nama Kelompok 3:
Imam Bukhori            (115120100111021)
Hallanita Prabawati    (115120101111025)
Diva Trifindaardy       (115120101111004)
Gagar Mayang          (115120107111046)
Hildam Ismoyo          (115120100111025)
Fajar Dwi S.F           (115120107111006)
Santoso                    (105120100111036)

Difabelitas. Kaum minoritas di negeri ini. Kaum-kaum yang terpinggirkan di masyarakat. Mereka di cap oleh masyarakat sebagai manusia cacat, yang memiliki perbedaan bentuk fisik. Secara tidak langsung, masyarakat yang mencacatkan mereka para kaum difabel. Menurut Mike Oliver, cacat itu tidak pernah ada, cacat menjadi ada karena dibentuk oleh orang-orang “normal”. Singkatnya, lingkungan lah yang membuat orang menjadi cacat.

Menurut Mike Oliver, seseorang yang berbeda itu dapat menjadi objek sehingga mereka menjadi pusat perhatian bagi orang lain. Disini kita melihat kaum difabel yang dianggap cacat di masyarakat. Padahal kita tahu bahwa konstruksi masyarakat yang telah disepakati bahwa manusia “normal” adalah manusia yang bentuk fisiknya sama dengan orang lain. Karena ada kesepakatan inilah yang membuat masyarakat difabel dianggap cacat di msyarakat.
            Mike Oliver menjelaskan bahwa adanya perbedaan tersebut ada karena adanya lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar yang mayoritas masyarakatnya memiliki kondisi fisik yang baik memandang para kaum difabel adalah masyarakat yang berbeda dengan mereka.
Lingkungan yang menentukan tubuh seseorang. Ketika bentuk tubuh seserang berbeda dari kebanyakan orang maka, seseorang itu dianggap cacat oleh masyarakat mayoritas. Hal ini sering terjadi di Indonesia. Dimana, kaum difabel adalah kaum minoritas. Mereka menjadi cacat karena kurangnya fasilitas yang menunjang kehidupan mereka.
Dalam kasus ini, Pemerintah seolah-olah telah mencacatkan rakyatnya sendiri. Pemerintah dinilai kurang memperhatikan rakyatnya yang difabel. Difabel bukan cacat tapi, difabel adalah masyarakat yang memiliki kebutuhan khusu. Ketika kebutuhan yang khusus ini tidak ditunjang dengan fasilitas yang memadai maka, kaum difabel ini dianggap di masyarakat sebagai manusia yang cacat karena tidak bisa hidup “normal” seperti masyarakat lainnya.
Kondisi yang seperti ini yang membuat masyarakat difabel mengalami eksklusi sosial. Mereka dikucilkan di masyarakat karena, masyarakat menganggap mereka masyarakat yang tidak mampu berbuat banyak untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Sehingga, masyarakat menilai bahwa mereka yang diindikasikan sebagai difabel adalah masyarakat yang kondisi fisiknya tidak baik sehingga, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak sanggup dan harus menggunakan alat bantu.
Masyarakat yang merasa dirinya “normal” seharusnya merubah pikiran mereka yang menganggap difabel sebagai orang cacat. Lingkungan tidak seharusnya memberikan label pada mereka yang berbeda. Masyarakat difabel pada dasarnya sama dengan masyarakat yang lainnya. Yang membedakan adalah, mereka masyarakat difabel, perlu fasilitas yang lebih untuk memenuhi kebutuhannya. Itu saja.
Muncul normalisasi di dalam masyarakat, menurut Mike Oliver normalisasi ini bisa dikatakan sebagai sebuah ideologi.
Normalization, it could be argued, is the ideology (or one of the ideologies) that allowed people to be returned to the community in that they can be 'normalized' or in its later variant, be allocated normal (valued) social roles. After all, we don't want the different, the deviant or even the dangerous returned to our communities.” (Oliver 1999)
Dari pernyataan ini bisa disebut bahwa individu yang ingin kembali lagi ke dalam masyarakat ketika mereka bisa disebut “normal” maka dari itu, “normal” menjadi sebagai suatu acuan bagi masyarakat agar mereka diperhitungkan di dalam lingkungannya.
Ada perbedaan antara penurunan dan kecacatan yang dimaksud penurunan adalah kurang atau sebagian anggota badan mengalami pembelokan termasuk mekanisme psikologis. Sementara cacat adalah pembatasan yang disebabkan oleh organisasi masyarakat yang tidak memperhitungkan individu dengan gangguan fisik atau psikologis.[1] Ini lah yang dimaksud oleh Mike Oliver, cacat adalah adanya kondisi dimana individu tidak diperhitungkan keberadaannya oleh masyarakat.
Lingkungan yang selama ini membentuk tubuh seseorang, tidak terlepas dari peran media. Media selalu menggambarkan mereka yang difabel adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus dan memiliki kondisi fisik yang berbeda dari masyarakat lain. Dari konstruksi yang dibangun dari media inilah yang membuat masyarakat menganggap difabel sebagai kecacatan.
Masyarakat memang sangat mudah terpengaruh oleh media. Sehingga, masyarakat seperti dikontrol oleh media. Penulis beranggapan bahwa media punya peran yang begitu besar dalam membentuk kecacatan seseorang. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi di dalam masyarakat. Ketika hal ini terjadi secara terus menerus maka, akan terjadi perpecahan di dalam masyarakat. Karena ada perbedaan yang tidak diketahui letak perbedaannya dimana.
Cara yang paling ampuh untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi pada masyarakat difabel adalah, pemerintah harus memberikan fasilitas yang layak untuk mereka. Tanpa fasilitas yang layak maka, mereka akn terus dinilai sebagai masyarakat yang cacat, masyarakat yang memiliki kondisi fisik yang kurang baik. Tanpa fasilitas yang layak, kesenjangan yang teradi pada masyarakat difabel akan tersu terjadi sampai kapanpun.
Contoh kasus yang ada pada penjelasan tersebut dengan konteks pemberian fasilitas pendidikan terhadap penyadang disabilitas guna mempermudah difabel dalam mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan mereka. Dengan begitu contoh yang kami yaitu seorang penyadang disabilitas yang berasal dari Malang dan mampu melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang perguruan tinggi di Universitas Brawijaya Malang seperti yang diutarakan oleh salah satu mahasiswi penyadang disabilitas Universitas Brawijaya. Mahasiswi tersebut mempunyai semangat dengan adanya dorongan dari orang-orang sekitar yaitu dengan cara mengikuti seminar disabilitas maka dari seminar tersebut Ia mempunyai semangat yang tinggi dengan melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi.



[1]http://www.brainhe.com/TheSocialModelofDisabilityText.html diakses anggal 22 Juni 2014 pukul 13.30


Daftar Pustaka

http://www.independentliving.org/docs3/oliver99.pdf diakses tanggal 22 Juni 2014 pukul 13.00
http://www.brainhe.com/TheSocialModelofDisabilityText.html diakses tanggal 22 Juni 2014 pukul 13.30
 

8 komentar:

  1. tubuh itu mampu menyesuaikan terhadap kondisinya. diffabel di anggap berbeda karena difabel di konstruksi oleh masyarakat bahwa diffabel itu berbeda. misal tunadaksa.

    BalasHapus
  2. walaupun mempunyai banyak kekurangan fisik, para diffabel ini banyak yang mempunyai segudang prestasi dibanding orang normal. namun masyarakat saja yang melabelkan para diffabel negatif seperti diffabel itu tidak berguna. Jika kita sadar akan kelebihan para diffabel, maka yang semestinya dikatakan "tidak normal "itu adalah orang-orang yang lengkap fisiknya (tidak cacat). karena belum tentu orang yang fisiknya sempurna bisa melakukan hal-hal yang menakjubkan seperti yang di lakukan oleh para diffabel.

    BalasHapus
  3. Mereka yang difable keberadaannya hingga kini masih kurang akan perhatian dari pemerintah dan dari masyarkat tentunya. mereka yang "normal" selalu memandang aneh mereka yang difable karena dianggap :"tidak normal" dalam hal fisik tubuh dan performanya, Beberapa diantara mereka yang "normal" bahkan acuh tak acuh kepada kelompok difable, keterbatasan akses juga membuat mereka tidak bisa berkembang padahal sesungguhnya mereka memiliki hak yang sama sebagai WNI untuk mengakses segala sarana dan prasarana yang ada, dalam hal pendidikan contohnya, mereka yang difable tidak bisa bersekolah di sekolah "normal" pada umumnya, mereka hanya dapat bersekolah disekolah-sekolah luar biasa atau berkebutuhan khusus jadi mereka disini hanya berkumpul dengan sesama difable, mereka tidak bisa keluar dari garis yang telah terkonstruk oleh masyarakat, hal-hal tersebut membuat mereka menjadi tereksklusi. tapi kini dengan hadirnya sekolah inklusi memberikan kesempatan kepada mereka yang difable untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan potensinya dan Universitas Brawijaya merupakan salah satu PTN yang memberikan kesempatan bagi para difable untuk bisa lebih berkembang, Saya cukup senang dengan itu :D

    BalasHapus
  4. adakah upaya pemerintah untuk memenuhi hak difabel di semua instansi yang ada, terutama di instansi pendidikan? karena banyak difabel yang putus sekolah dikarenakan instansi sekolah tidak mendukung aktivitas mereka.
    (Ramdani)

    BalasHapus
  5. saya setuju dengan kelompok diatas , "pemerintah harus memberikan fasilitas yang layak untuk mereka". karena yang saya tau juga dinas pendidikan kota malang sendiri sudah memberikan fasillitas dan mengharuskan semua sekolah dan PTN yang ada dimalang bisa menerima penyandang disabilitas . . untuk insfratuktur buat penyandang disabilitas sendiri juga sudah ada yang memenuhi.contohnya di kampus kita sendiri . ..tetapi kalau untuk daerah diluar malang sendiri saya belum begitu memahami kebijakan pemerintah untuk penyandang disabilitas ini .

    BalasHapus
  6. tapi sekarang ini setidaknya sudah mulai banyak bermunculan upaya-upaya dari berbagai pihak untuk tidak men-the otherkan kelompok difabel.

    BalasHapus
  7. iya, yang saya tahu juga di Malang sudah mulai memperhatikan permasalahan difabel ini. mulai dari pembangunan sarana prasarana yang menunjang untuk para penyandang difabel agar mudah dalam mengaksesnya, salah satunya pada bidang pendidikan.

    BalasHapus
  8. saya lebih suka menyebut upaya ''kaum difable'' daripada ''upaya pemerintah''. sebab pemerintah tidak akan sepeduli sekarang jika kaum difable tidak menyuarakan persamaan haknya.

    BalasHapus