Rabu, 25 Juni 2014

yani fathur rohman



Nama: yani fathur rohman
NIM: 115120100111034

Review 1
Dalam prespektif durkheim ekslusi sosial di klaim dapat mengancam solidaritas sebab terdapat individu/kelompok di dalam masyarakat yang tidak di anggap keber’’ada’’annya bahkan di cap sebagai penyakit sosial. Dalam artian orang-orang yang di anggap beda baik karena keterbatasan ataupun sengaja bertindak sebagai bentuk perlawanan terhadap keteraturan yang ada di masyarakat yang di anggap mengekang dirinya. tindakan anomi dalam prespektif durkheim sangat erat kaitannya dengan ekslusi sosial karena setiap tindakan yang aneh dan tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada maka tindakan tersebut dikatagorikan sebagai tindakan anomi atau dalam istilah lain disebut ‘’Deviant’’. Sehingga individu/kelompok tersebut harus menerima konsekuensi/sanksi sosial dari masyarakat baik berupa pengasingan maupun sanksi sosial yang lain. kaitannya dengan kondisi masyarakat, durkheim juga melihat dari sisi normal dan pathologis dimana masyarakat yang sehat dapat dikenali karena akan menemukan kondisi serupa dalam masyarakat-masyarakat lain pada tahap-tahap yang serupa pula. Artinya, kondisi masyarakat yang sehat dapat diketahui melalui homogenitas keteraturan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Sehingga kontruksi bahwa masyarakat yang normal harus seperti ini, seperti itu dan sebagainya secara tidak langsung tertanam pada kelompok masyarakat.
            Meski dmikian bukan berarti konsep durkheim tanpa cela dalam melihat eklusi sosial, karena menurut saya pribadi orang-orang yang tereklusi dalam kelompok sosial bisa jadi mereka memiliki rasa kesamaan nasib dan membuat kelompok tandingan. Artinya, memang benar eklusi dapat mengancam solidaritas secara makro namun dengan munculnya kelompok baru atas dasar sama-sama terekslusinya justru solidaritas yang lebih tinggi akan timbul pada kelompok kecil tersebut jika dilihat secara mikro apalagi yang tereklusi dalam suatu masyarakat bejumlah besar. Misalnya, di amerika serikat berdasarkan berita vivanews  beberapa wanita melakukan aksi agar bebas telanjang dada di depan umum layaknya kaum pria. Hal seperti ini mungkin dalam kelompok masyarakat tempat tinggalnya di anggap tindakan anomie, namun karena mereka menemukan orang-orang yang memiliki peimikran yang sama pada akhirnya mereka semakin solid dan berani melakukan aksi di depan umum dengan telanjang dada.
Berikunya, Marx melihat ekslusi sosial dari sisi strukturnya dalam artian ia mencoba mengungkap terjadinya eklusi sosial dari struktur masyarakat bukan dari individu. hal ini tidak jauh dari gagasan besar marx mengenai struktur materi dimana pada hakikatnya semua permasakahan yang ada di masyarakat termasuk devian tidak lain dipengaruhi oleh struktur materi. Devian dilihat memiliki keterkaitan dengan pertentangan kelas karena setiap tindakan yang di lakukan oleh individu/kelompok merupakan suatu bentuk perjuangan kelas akibat kesenjangan struktur materi mereka. Kaum borjuis di sini di anggap yang menetukan siapa yang disebut ‘’devian’’ sebab mereka yang memiliki kepentingan untuk menyokong besarnya keuntungan perusahaan yang mereka miliki. Artinya kaum devian di sandangkan pada mereka yang tidak bisa atau tidak mau membantu kapitalis dalam hal pemaksimalan laba perusahaan. dalam hal ini ia membagi 2 kelompok yakni social junk dan social dynamite. Social junk merupakan kelompok yang gagal menyokong kehidupan kapitalis tapi mereka tidak membahayakan, sedangkan social dynamite merupakan kelompok yang bergejolak sehingga mereka perlu dikontrol lewat legal sistem. Namun perlu diketahui bahwa secara historis kapitalis selalu berhasil menangani hal ini sehingga tidak ada pemberontakan/revolusi hebat seperti yang diharapkan marx.
Sehingga bisa dikatakan misi besar marx dalam pemikirannya sendiri  yang mengaharapkan kesetaraan kelas hanyalah utopis belaka. Namun yang menjadi penting bukanlah melihat misi merx berhasil atau tidak tapi lebih melihat bagaimana suatu kerangka berfikir kritis dan konseptual juga dapat memetakan masalah yang ada dalam hal ini adalah kontrol terhadap ekslusi sosial. Karena masyarakat tidak mau di anggap devian oleh kaum borjuis yang memiliki dominasi besar dalam masyarakat maka mereka secara tidak langsung mentaati standar hidup yang di kontruksi oleh para kapitalis. Dalam konsepnya, marx juga berbicara mengenai infrastrukture dan suprastrukture dimana dalam melihat ekslusi sosial infrastrukture inilah yang mempengaruhi suprastrukture yang ada dalam masyrakat artinya peran kapitalis sangat besar dalam menentukan suprastrukture yang ada. Namun karena misi kapitalis adalah mencari keuntungan yang besar jadi tidak heran jika dalam hal suprastrukture juga dimodifikasi sedemikian rupa untuk mempermudah mereka dalam setiap pengambilan kebijakan.
Namun menurut saya ada satu hal yang membingungkan atau lebih mungkin, mereka yang didefinisikan devian menurut kapitalis adalah semu. mereka yang sebenarnya devian, itu menurut saya sebenarnya mau menjadi penyokong kehidupan kapitalis namun kapasitas lapangan kerja yang minim dan berbagai persyaratan yang mengaharuskan pekerja membuat mereka tidak mendapat tempat dalam hal ini, dan saya yakin sebenarnya setiap individu itu menginginkan pejerjaan meskipun buruh dalam tanda kutip jika hanya mendefinisikan ‘’devian’’ sebagai kaum yang tidak mampu menyokong kehidupan kaiptalis. Karena pada hakikatnya setiap individu dalam masyarakat kalau tidak mau bekerja pada borjuis ya mempekerjakan/mejadi borjuis sendiri. sehingga mohon ma’af karl marx, kesimpulan saya dalam melihat ekslusi sosial adalah marx belum mampu mendefinisikan siapa sosok devian secara lebih jelas dan konkrit

Nama: Yani fathur rohman
NIM: 115120100111034


Review 2
Dalam madzab strukturalis, individu memiliki atribut yang di anggapnya sebagai hal yang natural atau alamiah. Kehadiran ‘’yang lain’’ dari masyarakat merupakan wujud dari katagori juga atribut yang melekat pada individu yang di sebut sebagai identitas sosial. Wujud dari kehadiran ‘’yang lain’’ inilah pada akhirnya memunculkan stigma masyarakat pada individu atau masyarakat tertentu. Stigma  sendiri merupakan sebuah pandangan masyarakat terhadap individu/kelompok yang biasanya diikuti dengan pelabelan dan berdampak pada deskriminasi. Ketika bicara tentang stigma, maka pandangan kita akan selalu mengacu pada hal-hal negatif mengenai individu atau kelompok tertentu. namun yang perlu diketahui bahwa stigma adalah sebuah bentuk kontruksi dalam artian istilah ini sering digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu dan memang sengaja untuk menjatuhkan individu/kelompok. Dalam pandangan saya, stigma ini bisa menjadi satu strategi para elit masyarakat, orang-orang dominan ketika ia merasa terancam sehingga ia di stigmakan jelek agar orang tersebut tidak dipercaya masyarakat. Tidak berhenti sampai disitu, karena jika stigma tersebut memiliki power yang kuat maka akan berlanjut pada tahap berikutnya yang berupa tindakan deskriminasi.
            Terdapat tiga tipe stigma yakni yang pertama cacat fisik, stigma karakter individu yang buruk, dan stigma kesukuan atau agama dan lain sebagainya. stigma cacat fisik merupakan pemberian label pada individu/kelompok yang memiliki keterbatasan fisik sehingga dengan keterbatasan fisiknya tersebut ia di anggap tidak mampu untuk melakukakan hal-hal yang orang normal lakukan, pada akhirnya ia tidak mendapatkan fasilitas  dan kesempatan seperti yang orang normal dapatkan. Yang kedua stigma karakter individu yang buruk. Sebenarnya saya sendiri kurang setuju ketika ada tambahan ‘’ yang buruk’’, menurut saya lebih tepatnya stigma karakter individu. karena karakter individu sendiri merupakan sebuah pembeda antara individu satu dengan yang lain dan itu bersifat personal, namun        ‘’ yang buruk’’ ini merupakan sebuah kontruksi entah berupa moral ataupun etika yang seringkali memiliki batasan berbada antara satu dengan yang lain. misalnya batak dengan jawa tengah, kalau orang batak gaya bicaranya keras dan seakan-akan terkesan memarahi bagi orang jawa tengah karena masyarakat jawa tengah mengkontruksi bahwa sopan itu harus bersuara pelan, santun, senyum dsb.
Namun jika berbicara mengenai stigma karakter, maka menjadi suatu yang jelas dimana kita sudah tidak melihat baik buruk namun bicara bagaimana kita melebelkan individi/kelompok denag menjelek-jelekkan karakternya di depan orang lain tanpa menyebut kejelekannya tapi karakternya istilahnya melakukan oposisi biner. Dan yang terakhir stigma kesukuan/agama. Stigma atas dasar kesukuan/agama nampaknya sudah begitu jelas dimana kita menstigma individu/kelompok berdasarkan perbedaan suku atau agama. Sekali lagi ketika berbicara stigma, hal ini berhubungan erat dengan bagaimana power kita untuk mewacanakan ‘’yang lain’’ dalam konteks ini perbedaan suku/agama sebagai sesuatu yang seakan-akan salah dan harus di tiadakan hingga ‘’yang lain menjadi seperti kita’’ atau istilahnya ada istilah unsur homogenisasi. Sehingga tidak salah kalau stigma selalu tertuju pada hal-hal yang negatif dan cendrung berujung pada diskriminasi sehingga Stigma bagi saya merupakan bentuk dari keegoisan diri baik individu/kelompok dominan.
Begitu juga teori stigma menurut Goffman yang tercantum dalam poin-poin berikut: 1).stigma merupakan relasi bahasa 2) stigma adalah processor untuk mengkonfirmasi ketidakbiasaan orang lain 3) stigma memunculkan inferioritas 4) stigma menyalahkan atribut yang melekat (identitas) 5) berujung pada deskriminasi. Artinya adanya stigma pada masyarakat tertentu menandakan minimnya rasa toleransi yang dimiliki. Menurut saya bukanlah orang yang mendapat stigma yang harus ‘’berubah’’, namun mainset/pola pikir masyarakat yang harus ‘’di rubah”  sebab hal tersebut mencakup identitas diri dan itu sebagai suatu tanda kebebasan individu. artinya, ketika berbicara stigma kita harus mengetahui terlebih dahulu siapa yang men’stigma dan apa motif di balik stigma tersebut.
Untuk pembicaraan mengenai tubuh yang di ungkap oleh judith butler, mike oliver dan foucault bagi saya sudah cukup jelas dimana ketiganya memperbincangkan mengenai bagaimana tubuh menjadi alasan individu/kelompok terekslusi juga  hal tersebut tidak terlepas dari kontruksi masyarakat mengenai tubuh. Jika judith butler mengatasnamakan performa sebagai suatu hal yang penting dan individu dengan perfomanyalah yang mengkontruksi gender, maka faucault menggagas apa yang di sebutnya ‘’rezim of truth’’ sebagai rezim yang mengkontruksi masyarakat yang seakan-akan berhak menentukan segala kebenaran tentang tubuh yang pada akirnya menciptakan sebuah govermentality dimana sebuah pembedaan antara yang sehat dan yang sakit atau normal dan ab-nomal, yang pada akhirnya seperti yang diungkapkan mike oliver dimana perbedaan tubuh menjadi objek utama,  sehingga lingkungan yang di bentuk membuat individu/kelompok menjadi ‘’Dis’’. 


Nama: yani fathur rohman
NIM: 115120100111034

Review 3 film
Jika dilihat dari sudut pandang agama, maka dapat dilihat bahwa kontruksi agama mengenai imam sholat harusnya suami yang menjadi imam. Namun karena keterbatasan sang suami yang merupakan tuna wicara sehingga tidak bisa melafalkan allahuakbar secara lantun maka istrinya yang menjadi imam karena ia tunanetra dan masih bisa berbicara normal. Dari film tersebut, dapat dilihat betapa kuat kontruksi agama di lingkungan mereka sehingga orangtuanya sempat mempermasalahkan kondisi tersebut yang pada akhirnya sang istri terus mengajarkan lafadh allahu akbar kepada suaminya agar bisa menjadi imam sholat. Tidak hanya demikian, ketika berbicara kontruksi nampaknya ada kaum-kaum yang dirugikan terutama perempuan. Sehingga orang tuanya juga protes karena harusnya ia mendapatkan suami yang bisa menjadi imam ketika sholat, dan imam dalam keluarga termasuk  mampu menafkahi istrinya yang tidak bekerja.
Yang menarik adalah ketika mereka menikahi sama-sama penyandang difable. Hal tersebut menurut saya bukannya tanpa sebab, tapi karena mereka terekslusi secara sosial dimana masyarakat menganggapnya sebagai objek yang berbeda sehingga kita bisa melihat mereka berdua tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan terpaksa saling menikahi berdasarkan asas ‘’kesamaan’’ sama-sama penyandang difable sebab ia juga akan beranggapan bahwa orang lain tidak akan bisa menerima ia sebagai suami/istri dikarenakan kontruksi dari regime of truth. Jika dilihat dari prespektif marxis mereka ini di sebut devian karena tidak mampu menyokong kehidupan para kapitalis, dalam artian mereka memiliki keterbatasan sehingga prusahaan milik kapitalis ogah untuk mempekerjakan kaum difable karena di anggap tidak mampu, padahal mampu hanya saja mungkin di bidang yang lain.
Seringkali masyarakat menilai seseorang dari tubuh yang menjadikannya sebagai objek perhatian untuk membedakan. Sehingga, dari sosok suami-istri tersebut seakan-akan mereka yang salah atas keterbatasan tubuhnya tanpa berlogika balik bahwa hal tersebut bisa terjadi karena justru masyarakat yang tidak mampu mendukung/tidak bisa beradaptasi dengan orang-orang seperti ini yang menjadikannya mereka sebagai objek yang beda dengan yang lain. Dengan istilah lain ‘’mereka menertawakan saya karena saya beda, saya pun bisa menertawakan mereka karena mereka sama’’. Namun karena adanya regime of truth mereka semakin di skat-skat untuk memperlancar misi orang-orang yang berkuasa atas sirkulasi kapitalis. Pada akhirnya mereka tetap menjadi orang-orang yang terekslusi karena tidak di imbangi dengan fasilitas yang layak untuk mereka, seperti pendidikan dan sebagainya. jika tidak maka kaum seperti difable akan semakin terekslusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar