Lela Fanna Lina / 115120107111026 /
Sosiologi
Review materi Kesenjangan dan
Eksklusi Sosial
Smith dalam menanggapi adanya
kesenjangan social ini menganggap bahwa seharusnya kebahagiaan itu adalah untuk
kepentingan orang banyak sehingga dapat dinikmati oleh semua orang. Tetapi
disini malah pihak – pihak minoritas cenderung dilenyapkan karena dianggap
mengganggu. Orang – orang yang tereksklusi disini biasanya mereka akses
kesejahteraannya rendah. Dari sini kita dapat melihat bahwa pihak – pihak
minoritas ini tidak dihargai sehingga akses yang mereka dapatkan juga sangat
minim karena seringkali mereka dipandang sebelah mata oleh kapitalis. Bukan
malah mendapatkan fasilitas yang baik, tetapi mereka malah tereksklusi
keberadaanya. Hal inilah yang kerap kali membuat mereka tidak bisa melakuan
banyak hal secara bebas karena gerak gerik mereka terbatas. Tak heran jika kita
melihat banyak sekali terjadi adanya kesenjangan didalam masyarakat karena
pihak – pihak mayoritas sendiri tidak bisa menghargai kaum nimoritas. Seperti
contohnya saja fasilitas – fasilitas umum yang ada lebih banyak menggunakan
standarisasi orang – orang yang dianggap normal yang lebih banyak menggunakan
fasilitas tersebut, tetapi bagaimana dengan orang – orang yang difabel. Mereka
malah tidak mendapatkan akses yang baik karena mereka dianggap sebagai kaum
minoritas, sehingga kebutuhan mereka lebih banyak yang dikesampingkan. Contoh
lain misalnya saat ini di Brawijaya sudah membuka kelas bagi difabel, namun
akses maupun fasilitas yang ada masih minim meskipun saat ini sudah mulai
banyak perkembangan. Saya pernah mendengar cerita seorang mahasiswi sosiologi
yang seorang difabel, dia seorang tuna daksa. Dia disini memang merupakan dari
kalangan yang kurang mampu sehingga setiap pagi dia harus menempuh perjalanan
jauh dengan angkot untuk bisa sampai di kampus, selain itu dia juga harus
berjalan sendiri dari veteran sampai gedung fisip dengan kondisi seperti itu.
Hal – hal seperti inilah yang seharunya lebih bisa diperhatikan dimana orang –
orang seperti ini bisa mendapatkan akses yang lebih baik karena keterbatasan
yang dia miliki, bukan malah tereksklusi. Sebab saya rasa orang – orang seperti
ini juga berhak mendapatkan perhatian lebih, bukan malah diabaikan atau malah
acuh tak acuh karena keberadaannya dianggap minoritas.
Parsons melihat bahwa ketika
seseorang tidak ingin tereksklusi, maka orang tersebut harus memiliki peran dan
terintegrasi dalam suatu system. Parsons juga membagi diskursus eksklusi social
menjadi 3 bagian, yaitu 1) Redistribusionis Discourse yang merupakan eksklusi
social karena kemiskinan, 2) Moral Underclass Discourse yang merupakan individu
– individu yang kerap kali melakukan penyimpangan, 3) Social Intergration
Discourse yang merupakan masyarakat yang tereksklusi namun masih tetap
terkoneksi. Parson memandang bahwa ketika masyarakat dapat berperan dalam suatu
masyarakat, maka dia tidak akan serta merta tereksklusi dari lingkungannya
karena parsons membagi beberapa komponen dari eksklusi social itu sendiri
menjadi 5 bagian, diantaranya kemiskinan, akses terhadap pekerjaan, tidak
memiliki dukungan dari jaringan social, efek dari lingkungannya, dan lack of
basic service (kurangnya pelayanan). Sebenarya apa yang disampaika oleh Parsons
sendiri tidak beda jauh dengan Karl Mark, namun Parsons lebih melihat peran
dari masyarakat tersebut sehingga ketika orang tersebut tidak memiliki peran
apa – apa dalam masyarakat, maka dia akan tereksklusi. Factor ekonomi disini
juga menjadi peranan yang sangat penting karena ketika orang tersebut miskin,
maka dia tidak akan memiliki peran apa – apa yang dapat menyokong pihak
kapitalis sehingga dari kemiskinan inilah kerap kali muncul adanya penyimpangan
– penyimpangan. Selain itu, parsons juga menjelaskan bahwa ketika seseorang
melakukan penyimpangan maka dia juga akan sulit mendapatkan pekerjaan dimana
sering kali kita temui saat kita melamar pekerjaan, kita selalu dimintai surat
berkelakuan baik oleh perrusahaan karena ketika kita pernah melakukan hal – hal
menyimpang sebelumnya, maka kita akan susah mendapatkan pekerjaan. Dari sinilah
Prsons melihat adanya eksklusi social sehingga dapat menghambat akses terhadap
orang – orang yang melakukan penyimpangan tersebut. Orang – orang yang
melakukan penyimpangan – penyimpangan selain tidak mendapatkan akses pekerjaan,
mengalami kemiskinan, dia juga tidak memiliki dukungan dari jaringan social
karena sudah dianggap buruk oleh masyarakat sehingga respon dari masyarakat
juga biasanya kurang baik terhadap orang – orang seperti ini sehingga wajar
saja jika orang – orang seperti ini pada akhirnya tereksklusi karena memang dia
juga tidak memiliki peranan yang kuat seperti yang dijelaskan oleh parsons
tadi.
Durkheim disini juga menjelaskan
mengenai dampak dari eksklusi social itu sendiri dapat mengalami bunuh diri. Durkheim
menilai bahwa dengan adanya eksklusi social ini dapat memberikan ancaman
terhadap solidaritas social, sehingga individu tersebut tidak bisa masuk dalam
ranah system yang sudah ada maka dari itu mereka cenderung dikesampingkan. Dari
sinilah muncul adanya masyarakat devian dimana devian merupakan perilaku yang
tidak sesuai dengan norma – norma dalam masyarakat. Keadaan seperti devian
inilah yang pada akhirnya menyebabkan anomie, sehingga ketika norma disini
sudah tidak lagi berfungsi maka akan rentan terhadap adanya penyimpangan –
penyimpangan dalam masyarakat. Seperti contohnya seks bebas, pembunuhan,
pencurian, dan sebagainya. Hal – hal inilah yang membuat masyarakat kehilangan
norma – norma yang sudah ada karena mereka merasa sudah kehilangan solidaritas
yang mereka miliki akibat dari adanya eksklusi social ini. Ketika masyarakat
mulai kehilangan norma (anomie), maka mereka akan mengalami kebingungan –
kebingunan dimana mereka sudah tidak memiliki patokan / dasar dalam bersosial
sehingga tak heran jika anomie ini terjadi maka kondisi masyarakat sendiri akan
chaos. Saya disini setuju dengan Durkheim karena menurut saya, ketika seseorang
tereksklusi maka solidaritas dalam masyarakat juga akan rusak. Seperti kita
contohkan di desa yang solidaritasnya sangat kuat ini dapat meminimalisis
adanya perilaku – perilaku menyimpang karena keselarasan yang ada sudah
tercipta sehingga masyarakat akan saling menghargai satu sama lain, selain itu
nilai – nilai yang tertanam dalam masyarakat biasanya sangat dijunjung tinggi
oleh masyarakat yang ada di desa. Namun berbeda ketika kita melihat masyarakat
yang ada di kota dimana tingkat kriminalitasnya sangat tinggi karena saya
melihat di kota inilah nilai – nilai sudah mulai pudar dan solidaritasnya juga
buruk sekali sehingga banyak masyarakat yang tereksklusi disini karena mereka
menganggap bahwa norma – norma social sudah tidak lagi berfungsi sehingga
perilaku mereka banyak sekali yang menyimpang. Maka saya lihat saat ini kondisi
masyarakat di kota sudah sangat chaos karena memang mereka sendiri sudah
mengabaikan nilai dan norma yang ada. Kejahatan dimana – mana dan masyarakat
juga akan merasa tidak aman karena kondisi masyarakatnya yang sudah sangat
buruk sehingga tak heran ketika di kota kita tidak bisa serta merta mudah
mempercayai orang yang baru saja kita kenal karena memang solidaritas rasa
kekeluargaan mereka sudah sangat minim sekali sehingga ketika memang ada
solidaritas dalam masyarakatt kota, itu hanyalah karena mereka memiliki
kepentingan yang sama yang pada akhirnya berdampak pada keuntungan pihak –
pihak tertentu.
Berbeda dengan Durkheim, Karl Mark
disini melihat bahwa devian merupakan sebuah fenomena yang sifatnya episodic
dan sementara / history. Pengontrolan terhadap devian sebenarnya tidak dibahas
namun sebenarnya control sendiri dapat memunculkan devian. Menurut Mark,
superstruktur yang ada dalam masyarakat (budaya, politik, dsb) yang ada dalam
masyarakat dapat menegakkan hegemoni the ruling class lewat mekanisme control
yang diinstitusionalkan lewat keluarga, media, sekolah, negara, dll. Dalam hal
ini infrastruktur (ekonomi) dapat mempengaruhi superstruktur. Seperti contohnya
saat ini banyak sekali kriminalitas yang terjadi di lingkungan kita karena
pengaruh – pengaruh ekonomi. Mereka banyak melakukan tindak criminal ini karena
mereka memiliki permasalahan dengan ekonomi sehingga jalan yang mereka ambil
yaitu melalui kriminalitas. Dari sinilah infrastruktur begitu sangat berperan
terhadap superstruktur karena infrastuktur sendiri menjadi tujuan utama dalam masyarakat.
Ekonomi menjadi hal yang utama karena memang ekonomi menjadi hal yang sangat
vital dalam kehidupan sehari, sebab masyarakat tidak akan bisa memenuhi biaya
hidupnya tanpa adanya ekonomi sehingga ketika infrastuktur seseorang lemah,
maka biasanya mereka cenderung akan melakukan berbagai hal untuk
mensejahterakan hidupnya meskipun harus melanggar nilai atau norma – norma yang
ada. Karl Mark disini menilai bahwa orang – orang yang dianggap devian oleh
‘the ruling class’ adalah orang – orang yang tidak mampu menyokong produksi
kapitalis seperti orang gila, anak – anak punk, pengemis, dsb. Maka dari itu
disinilah muncul adanya eksklusi social terhadap orang – orang tersebut karena
sebenarnya ‘the ruling class’ disini lebih berpihak terhadap kapitalis, sehingga
orang – orang yang tidak bisa menguntungkan pihak – pihak kapitalis akan di
eksklusi. Dari sini Karl Mark membagi populasi devian menjadi 2 macam, yaitu
social junk (sampah social) dan social dynamite. Kedua populasi devian ini
sifatnya sangat bertolak belakang dimana social junk merupakan sebuah populasi
yang dianggap tidak membahayakan kapitalis, tetapi mereka tetap saja tidak bisa
menyokong akumulasi modal yang dimiliki oleh kapitalis sendiri, ya seperti yang
dicontohkan tadi yaitu orang gila, pengemis, dsb. Berbeda dengan social junk,
social dynamite disini perannya lebih aktiv karena mereka lebih bergejolak
dibandingkan kelompok social junk seperti contohnya mahasiswa – mahasiswa yang
kerap kali melakukan demo. Kelompok – kelompok inilah dianggap sebagai
pengganggu oleh kapitalis, sehingga dianggap membahayakan dan perlu dikontrol
agar akunulasi modal sendiri dapat berjalan dengan baik.
Lela Fanna Lina / 115120107111026 /
Sosiologi
Review materi Kesenjangan dan
Eksklusi Sosial
Durkheim disini juga menjelaskan
mengenai dampak dari eksklusi social itu sendiri dapat mengalami bunuh diri.
Durkheim menilai bahwa dengan adanya eksklusi social ini dapat memberikan
ancaman terhadap solidaritas social, sehingga individu tersebut tidak bisa
masuk dalam ranah system yang sudah ada maka dari itu mereka cenderung
dikesampingkan. Dari sinilah muncul adanya masyarakat devian dimana devian
merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan norma – norma dalam masyarakat.
Keadaan seperti devian inilah yang pada akhirnya menyebabkan anomie, sehingga
ketika norma disini sudah tidak lagi berfungsi maka akan rentan terhadap adanya
penyimpangan – penyimpangan dalam masyarakat. Seperti contohnya seks bebas,
pembunuhan, pencurian, dan sebagainya. Hal – hal inilah yang membuat masyarakat
kehilangan norma – norma yang sudah ada karena mereka merasa sudah kehilangan
solidaritas yang mereka miliki akibat dari adanya eksklusi social ini. Ketika
masyarakat mulai kehilangan norma (anomie), maka mereka akan mengalami
kebingungan – kebingunan dimana mereka sudah tidak memiliki patokan / dasar
dalam bersosial sehingga tak heran jika anomie ini terjadi maka kondisi
masyarakat sendiri akan chaos.
Saya
disini setuju dengan Durkheim karena menurut saya, ketika seseorang tereksklusi
maka solidaritas dalam masyarakat juga akan rusak. Seperti kita contohkan di
desa yang solidaritasnya sangat kuat ini dapat meminimalisis adanya perilaku –
perilaku menyimpang karena keselarasan yang ada sudah tercipta sehingga
masyarakat akan saling menghargai satu sama lain, selain itu nilai – nilai yang
tertanam dalam masyarakat biasanya sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat yang
ada di desa. Namun berbeda ketika kita melihat masyarakat yang ada di kota
dimana tingkat kriminalitasnya sangat tinggi karena saya melihat di kota inilah
nilai – nilai sudah mulai pudar dan solidaritasnya juga buruk sekali sehingga
banyak masyarakat yang tereksklusi disini karena mereka menganggap bahwa norma
– norma social sudah tidak lagi berfungsi sehingga perilaku mereka banyak
sekali yang menyimpang. Maka saya lihat saat ini kondisi masyarakat di kota
sudah sangat chaos karena memang mereka sendiri sudah mengabaikan nilai dan
norma yang ada. Kejahatan dimana – mana dan masyarakat juga akan merasa tidak
aman karena kondisi masyarakatnya yang sudah sangat buruk sehingga tak heran
ketika di kota kita tidak bisa serta merta mudah mempercayai orang yang baru
saja kita kenal karena memang solidaritas rasa kekeluargaan mereka sudah sangat
minim sekali sehingga ketika memang ada solidaritas dalam masyarakatt kota, itu
hanyalah karena mereka memiliki kepentingan yang sama yang pada akhirnya
berdampak pada keuntungan pihak – pihak tertentu.
Situasi seperti anomie inilah yang
sangat dikhawatirkan oleh Durkheim, sebab ketika masyarakat berada pada kondisi
seperti ini, maka akan berdampak negative terhadap masyarakat yang lain karena
hal ini sifatnya sangat rentan sekali karena memang menurut Durkheim,
lingkungan inilah yang membentuk individu. Ketika saya lihat saat ini maraknya
kriminalitas di wilayah perkotaan oleh anak – anak yang masih remaja inilah
yang sudah mulai menunjukkan kondisi masyarakat yang tidak sehat karena memang
anak – anak ini akan lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungannya yang sudah
semakin buruk. Banyaknya bermunculan masyarakat devian inilah yang membuat dia
pada akhirnya akan tereksklusi oleh lingkungannya sendiri karena sudah dianggap
tidak bisa memberikan kenyamanan terhadap masyarakat lain. Contoh lain dari
adanya masyarakat devian ini seperti adanya komunitas punk yang dilihat dari
penampilannya saja sudah jauh sekali dengan norma- norma yang ada di masyarakat
sehingga mereka tereksklusi dari masyarakat karena memang sudah dianggap tidak
memiliki norma atau nilai – nilai, namun menurut saya keberadaan mereka
seharusnya bukan malah semakin dieksklusi tetapi bagaimana upaya pemerintah
untuk bisa lebih memahami mengapa komunitas seperti ini bisa muncul karena
menurut saya mereka melakukan hal – hal seperti itu hanya karena pengaruh dari
lingkungan mereka, sehingga mereka secara tidak sadar terjerumus kedalam
lingkaran tersebut. Saya rasa mereka tidak akan selamanya hidup terus seperti
itu, sebab akan ada saatnya mereka berhenti dari komunitas itu dan menata hidup
mereka dengan lebih baik. Toh mereka juga tidak akan terus menerus tinggal di
jalanan bersama teman – teman mereka, bersenang – senang, dan semacamnya.
Situasi inilah yang harusnya diperhatikan oleh pemerintah dimana mereka hanya
ingin terlihat berbeda dari masyarakat kebanyakan sehingga mereka mulai
mengabaikan nilai – nilai yang sudah ada.
Selain itu, Durkheim juga membahas
mengenai pathologi dimana pathologi ini merupakan sebuah keadaan yang sangat jarang
sekali terjadi dalam masyarakat. Hal ini mungkin bisa dianalogikan seperti
keberadaan seekor kuda putih diantara kuda pada umumnya. Ketika pathologi ini
muncul dalam masyarakat, maka akan menjadi sangat mencolok sekali karena hal
tersebut dianggap sangat jarang sekali terjadi. Berbeda dengan devian yang
keberadaannya sudah sangat jelas dan sudah dianggap seperti seuatu hal yang
biasa menurut Durkheim. Memang pathologi sendiri menjadi sesuatu hal yang
sangat langka keberadaannya dalam masyarakat. Pengistilahan pathologi sendiri
tidak sama dengan devian yang sudah jelas sekali tereksklusi dari masyarakat.
Namun pathologi disini hanyalah sebuah kondisi yang bisa saja terjadi, namun
tidak bertahan lama. Seperti contohnya ketika masyarakat di wilayah pedesaan
yang hingga saat ini terkenal dengan solidaritasnya yang kuat, namun pada suatu
waktu solidaritas mereka menjadi hilang ketika salah satu warganya mengalami
kemalingan, namun tidak ada satupun warga di daerah sana yang peduli terhadap
pencurian tersebut sehingga mereka cenderung acuh tah acuh. Dari sini nilai –
nilai kekeluargaan masyarakat pedesaan yang menjadi ciri khas inilah tiba –
tiba hilang. Hal seperti inilah yang dianggap sebagai pathologi dimana hal –
hal yang pada awalnya bersifat khas menjadi berubah karena factor – factor
tententu, namun ketika adanya kondisi seperti ini terus terjadi dalam
masyarakat pedesaan, maka keadaan ini tidak dianggap sebagai pathologi karena
sudah menjadi suatu hal yang dianggap wajar oleh masyarakat.
Lela Fanna Lina / 115120107111026 / Sosiologi
Review pertemuan 4 – 5
Mata Kuliah Kesenjangan dan Eksklusi Sosial
Sepemahaman saya mengenai Judit
Butler, saya sedikit setuju dengan apa yang dia kemukakan sebab setiap individu
memiliki kebebasan untuk mengkonstruksikan apa yang menjadi miliknya seperti
saat ini banyak kita jumpai laki – laki yang berpenampilan layaknya seperti
perempuan. Menurut saya hal itu biarlah menjadi hak mereka dimana mereka bebas
mengekspresikan diri, namun sayangnya kita tidak bisa hidup dalam ranah yang
seperti itu karena ada lingkungan yang serta merta menilai segala sesuatu yang
dilakukan oleh individu sehingga disini terlihat adanya dominasi makna yang ada
dalam masyarakat maka dari itu aka nada nilai maupun norma – norma yang
membatasi setiap gerak gerik individu untuk melakukan suatu hal. Selain itu
masyarat juga memiliki peranan yang penting dalam suatu lingkungan sehingga
seringkali kita harus mengikuti hal – hal yang ada dalam masyarakat.
Mike Oliver memiliki pandangan yang
berbeda mengenai pandangan masyarakat terkait orang yang dianggap ‘cacat’. Hal
ini menurut Oliver hanyalah sebuah penilaian yang diberikan oleh orang – orang
normal pada orang – orang yang mereka anggap tidak normal. Menurut saya, memang
seharusnya tidak ada pengertian mengenai orang normal dan tidak normal, sebab
hal ini hanya akan memberikan sekat antara orang normal dan orang yang dianggap
tidak normal. Selain itu Oliver juga mengemukakan bahwa orang yang dianggap
cacat yaitu ketika orang tersebut tidak bisa menggunakan fasilitas yang ada.
Tapi jika orang bisu, buta, tuli, dsb bisa melakukan hal – hal yang dilakukan
oleh orang normal, lantas apa yang menjadi permasalahan disini. Keadaan seperti
inilah yang dibahas oleh Oliver karena orang – orang yang dianggap berbeda dari
orang kebanyakan akan dianggap sesuatu yang aneh dan menjadi pusat perhatian
karena dirasa berbeda dengan standarisasi orang normal.
Hampir sama dengan apa yang
dijabarkan oleh Oliver, Foucault disini juga lebih membahas mengenai regime of
truth. Hal inilah yang menjadikan orang – orang dikelompokkan sesuai dengan
bentuk tubuhnya karena adanya rezime kebenaran itu tadi. Memang benar ketika
dalam suatu tatanan masyarakat sudah dibentuk adanya standarisasi yang menjadi
sebuah acuan / patokan didalamnya, sehingga ketika hal – hal tersebut dianggap
berbeda dari standarisasi maka akan menimbulkan adanya diskriminasi. Jika
memang adanya rezime kebenaran itu perlu ada dalam suatu masyarakat, maka saya
rasa tidak seharusnya ada pengelompokan – pengelompokan seperti ini karena
hanya akan membuat orang – orang yang berbeda dari standarisasi yang sudah
ditentukan menjadi terekslusi.
Stigma merupakan sebuah prasangka /
pandangan negative yang diberikan seseorang / masyarakat kepada orang lain.
Stigma disini biasanya merujuk pada hal – hal yang dinilai sebagai suatu hal
yang buruk / tidak sesuai dengan nilai – nilai yang ada dalam masyarakat. Stigma
sendiri dibagi menjadi 3 tipe dalam masyarakat yang diantaranya stigma cacat
fisik merupakan sebuah pandangan yang diberikan oleh masyarakat terhadap orang
– orang yang fisiknya dianggap cacat, misalnya difabel yang seringkali dianggap
sebagai suatu hal yang berbeda dalam masyarakat karena dianggap tidak normal
secara fisik sehingga hal inilah yang dapat memunculkan adanya stigma. Kemudian
ada stigma karakter individu yang buruk dan disini kita sudah bisa melihat bahwa
orang – orang yang memiliki perilaku yang buruk akan mendapatkan stigma dari
masyarakat, misalnya orang yang suka mabuk – mabukan, gay, dll sehingga disini
kita masyarakat menilai bahwa hal – hal tersebut merupakan stigma. Dan yang
terakhir ada stigma kesukuan / agama / tribal / gagasan dimana adanya pengaruh
suku yang dimiliki oleh seseorang bisa menimbulkan adanya stigma seperti orang
Papua yang dianggap memiliki watak yang keras sehingga pandangan masyarakat
terhadap suku tersebut juga seperti itu dan hal ini biasanya ditransmisikan
melalui generasi – generasi berikutnya. Selain itu adanya pandangan mengenai
suatu agama seringkali menimbulkan stigma seperti contohnya agama islam yang
kadang kala dianggap sebagai agama teroris oleh orang barat. Dari sinilah
muncul adanya stigma yang perlahan ditularkan oleh masyarakat dan menjadi luas.
Jika hal – hal ini semakin meluas dalam pandangan masyarakat, maka akan
berdampak pada orang – orang yang medapatkan stigma ini karena dia akan merasa
terdiskriminasi oleh lingkungannya, seperti agama islam yang ada di negara
bagian barat yang keberadaannya begitu terancam karena dia akan dikucilkan oleh
lingkungannya sehingga hal inilah dapat memperkecil kesempatan orang – orang
islam yang ada disana untuk berkarya. Maka dari itu saya rasa kita tidak
seharusnya mengstigmakan seseorang karena bisa saja hal ini memberikan pengaruh
yang buruk terhadap dirinya karena adanya stigma dari masyarakat.
Lela Fanna Lina / 115120107111026 / Sosiologi
Review film
Mata Kuliah Kesenjangan dan Eksklusi Sosial
Dalam film yang saya tonton kemarin
saya setuju dengan pendapat Mike Oliver dimana sebenarnya pemaknaan mengenai
orang cacat hanyalah sebuah konstruksi
sosial dari lingkungannya. Hal – hal yang dikatakan oleh orang adanya orang
cacat itu merupakan sebuah penilaian yang diberikan oleh orang – orang normal.
saya rasa dalam masyarakat tidaklah perlu adanya penilaian hal – hal yang
demikian karena hanya akan menjadi sebuah pembeda antara orang yang dianggap
normal dan tidak normal. namun menurut pandangan Oliver, pengertian mengenai
orang normal dan tidak normal dilihat dari ketika orang tersebut tidak bisa
menggunakan fasilitas yang ada, berarti hal ini tidak hanya dilihat dari fisik
saja seperti contoohnya ketika seseorang tidak bisa menggunakan lift, maka dia
dianggap cacat menurut Oliver meskipun menurut konstruksi masyarakat dia tergolong
difabel. Ketika saya menonton film tersebut, itu berarti ketika dikaitkan oleh
pndangan Oliver maka kedua tokoh pemain yang ada dalam film tersebut tidak bisa
dikatakan sebagai orang yang cacat karena dia bisa melakukan hal – hal yang
bisa dilakukan oleh orang pada umumnya meskipun yang satu buta dan yang satunya
lagi bisu. hal ini bisa dibuktikan saat dia melakukan aktifitas sehari - harinya dimana dia bisa melaksanakan solat,
dia juga bisa mengerti waktu melalui jam meskipun dia buta. Kondisi seperti ini
saya rasa tidak serta merta bisa dikatakan sebagai orang cacat karena pada
kenyataannya dia bisa melakukan hal – hal tersebut.
Sama halnya dengan pandangan Michel
Foucault mengenai ‘the regime of thruth’ dimana orang dikelompokkan sesuai
dengan bentuk tubuhnya karena adanya rezime kebenaran, sehingga hal – hal yang
sifatnya berbeda dianggap suatu hal yang aneh dan ini menimbulkan adanya
diskriminasi. Adaya rezime kebenaran inilah yang pada akhirnya membuat orang –
orang di dalam masyarakat menjadi dikelompokkan dan dibedakan. ketika seseorang
dinilai normal atau tidak normal maka saya rasa akan ada sekat diantara
masyarakat antara yang normal dan tidak normal. seperti dalam film tersebut,
saya melihat orang – orang yang difabel hanya menikah dengan orang yang sama –
sama difabel pula, begitu juga dengan orang – orang yang dianggap normal, maka
dia akan menikah dengan orang normal. disini sangat terlihat sekali adanya
perbedaan terkait normal dan tidak normal. saya rasa hal ini perlu dihilangkan
dalam konstruksi masyarakat meskipun sulit karena dengan adanya pandangan –
pandangan seperti ini hanya akan memisahkan antara orang – orang yang dianggap
normal dan tidak normal.
Devian dalam pandangan durkheim dimana adanya perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma yang ada menurut saya juga merupakan konstruksi dari masyarakat. ketika sebuah stigma dari masyarakat sudah melekat pada diri individu maka tetap saja individu tersebut walaupun perilakunya sudah tidak menyimpang lagi akan tetap dianggap sebagai devian..konstruk masyarakat sangat berperan dalam hal ini...
BalasHapuselyah, apakah kondisi sekarang masih seklasik itu? ibarat kata sudah nggk salah tetep aja dianggap salah...hehe
Hapus