Rabu, 25 Juni 2014

Response Paper Individu (Lela Fanna Lina)


Lela Fanna Lina / 115120107111026 / Sosiologi
Review materi Kesenjangan dan Eksklusi Sosial

            Smith dalam menanggapi adanya kesenjangan social ini menganggap bahwa seharusnya kebahagiaan itu adalah untuk kepentingan orang banyak sehingga dapat dinikmati oleh semua orang. Tetapi disini malah pihak – pihak minoritas cenderung dilenyapkan karena dianggap mengganggu. Orang – orang yang tereksklusi disini biasanya mereka akses kesejahteraannya rendah. Dari sini kita dapat melihat bahwa pihak – pihak minoritas ini tidak dihargai sehingga akses yang mereka dapatkan juga sangat minim karena seringkali mereka dipandang sebelah mata oleh kapitalis. Bukan malah mendapatkan fasilitas yang baik, tetapi mereka malah tereksklusi keberadaanya. Hal inilah yang kerap kali membuat mereka tidak bisa melakuan banyak hal secara bebas karena gerak gerik mereka terbatas. Tak heran jika kita melihat banyak sekali terjadi adanya kesenjangan didalam masyarakat karena pihak – pihak mayoritas sendiri tidak bisa menghargai kaum nimoritas. Seperti contohnya saja fasilitas – fasilitas umum yang ada lebih banyak menggunakan standarisasi orang – orang yang dianggap normal yang lebih banyak menggunakan fasilitas tersebut, tetapi bagaimana dengan orang – orang yang difabel. Mereka malah tidak mendapatkan akses yang baik karena mereka dianggap sebagai kaum minoritas, sehingga kebutuhan mereka lebih banyak yang dikesampingkan. Contoh lain misalnya saat ini di Brawijaya sudah membuka kelas bagi difabel, namun akses maupun fasilitas yang ada masih minim meskipun saat ini sudah mulai banyak perkembangan. Saya pernah mendengar cerita seorang mahasiswi sosiologi yang seorang difabel, dia seorang tuna daksa. Dia disini memang merupakan dari kalangan yang kurang mampu sehingga setiap pagi dia harus menempuh perjalanan jauh dengan angkot untuk bisa sampai di kampus, selain itu dia juga harus berjalan sendiri dari veteran sampai gedung fisip dengan kondisi seperti itu. Hal – hal seperti inilah yang seharunya lebih bisa diperhatikan dimana orang – orang seperti ini bisa mendapatkan akses yang lebih baik karena keterbatasan yang dia miliki, bukan malah tereksklusi. Sebab saya rasa orang – orang seperti ini juga berhak mendapatkan perhatian lebih, bukan malah diabaikan atau malah acuh tak acuh karena keberadaannya dianggap minoritas.
            Parsons melihat bahwa ketika seseorang tidak ingin tereksklusi, maka orang tersebut harus memiliki peran dan terintegrasi dalam suatu system. Parsons juga membagi diskursus eksklusi social menjadi 3 bagian, yaitu 1) Redistribusionis Discourse yang merupakan eksklusi social karena kemiskinan, 2) Moral Underclass Discourse yang merupakan individu – individu yang kerap kali melakukan penyimpangan, 3) Social Intergration Discourse yang merupakan masyarakat yang tereksklusi namun masih tetap terkoneksi. Parson memandang bahwa ketika masyarakat dapat berperan dalam suatu masyarakat, maka dia tidak akan serta merta tereksklusi dari lingkungannya karena parsons membagi beberapa komponen dari eksklusi social itu sendiri menjadi 5 bagian, diantaranya kemiskinan, akses terhadap pekerjaan, tidak memiliki dukungan dari jaringan social, efek dari lingkungannya, dan lack of basic service (kurangnya pelayanan). Sebenarya apa yang disampaika oleh Parsons sendiri tidak beda jauh dengan Karl Mark, namun Parsons lebih melihat peran dari masyarakat tersebut sehingga ketika orang tersebut tidak memiliki peran apa – apa dalam masyarakat, maka dia akan tereksklusi. Factor ekonomi disini juga menjadi peranan yang sangat penting karena ketika orang tersebut miskin, maka dia tidak akan memiliki peran apa – apa yang dapat menyokong pihak kapitalis sehingga dari kemiskinan inilah kerap kali muncul adanya penyimpangan – penyimpangan. Selain itu, parsons juga menjelaskan bahwa ketika seseorang melakukan penyimpangan maka dia juga akan sulit mendapatkan pekerjaan dimana sering kali kita temui saat kita melamar pekerjaan, kita selalu dimintai surat berkelakuan baik oleh perrusahaan karena ketika kita pernah melakukan hal – hal menyimpang sebelumnya, maka kita akan susah mendapatkan pekerjaan. Dari sinilah Prsons melihat adanya eksklusi social sehingga dapat menghambat akses terhadap orang – orang yang melakukan penyimpangan tersebut. Orang – orang yang melakukan penyimpangan – penyimpangan selain tidak mendapatkan akses pekerjaan, mengalami kemiskinan, dia juga tidak memiliki dukungan dari jaringan social karena sudah dianggap buruk oleh masyarakat sehingga respon dari masyarakat juga biasanya kurang baik terhadap orang – orang seperti ini sehingga wajar saja jika orang – orang seperti ini pada akhirnya tereksklusi karena memang dia juga tidak memiliki peranan yang kuat seperti yang dijelaskan oleh parsons tadi.
            Durkheim disini juga menjelaskan mengenai dampak dari eksklusi social itu sendiri dapat mengalami bunuh diri. Durkheim menilai bahwa dengan adanya eksklusi social ini dapat memberikan ancaman terhadap solidaritas social, sehingga individu tersebut tidak bisa masuk dalam ranah system yang sudah ada maka dari itu mereka cenderung dikesampingkan. Dari sinilah muncul adanya masyarakat devian dimana devian merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan norma – norma dalam masyarakat. Keadaan seperti devian inilah yang pada akhirnya menyebabkan anomie, sehingga ketika norma disini sudah tidak lagi berfungsi maka akan rentan terhadap adanya penyimpangan – penyimpangan dalam masyarakat. Seperti contohnya seks bebas, pembunuhan, pencurian, dan sebagainya. Hal – hal inilah yang membuat masyarakat kehilangan norma – norma yang sudah ada karena mereka merasa sudah kehilangan solidaritas yang mereka miliki akibat dari adanya eksklusi social ini. Ketika masyarakat mulai kehilangan norma (anomie), maka mereka akan mengalami kebingungan – kebingunan dimana mereka sudah tidak memiliki patokan / dasar dalam bersosial sehingga tak heran jika anomie ini terjadi maka kondisi masyarakat sendiri akan chaos. Saya disini setuju dengan Durkheim karena menurut saya, ketika seseorang tereksklusi maka solidaritas dalam masyarakat juga akan rusak. Seperti kita contohkan di desa yang solidaritasnya sangat kuat ini dapat meminimalisis adanya perilaku – perilaku menyimpang karena keselarasan yang ada sudah tercipta sehingga masyarakat akan saling menghargai satu sama lain, selain itu nilai – nilai yang tertanam dalam masyarakat biasanya sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat yang ada di desa. Namun berbeda ketika kita melihat masyarakat yang ada di kota dimana tingkat kriminalitasnya sangat tinggi karena saya melihat di kota inilah nilai – nilai sudah mulai pudar dan solidaritasnya juga buruk sekali sehingga banyak masyarakat yang tereksklusi disini karena mereka menganggap bahwa norma – norma social sudah tidak lagi berfungsi sehingga perilaku mereka banyak sekali yang menyimpang. Maka saya lihat saat ini kondisi masyarakat di kota sudah sangat chaos karena memang mereka sendiri sudah mengabaikan nilai dan norma yang ada. Kejahatan dimana – mana dan masyarakat juga akan merasa tidak aman karena kondisi masyarakatnya yang sudah sangat buruk sehingga tak heran ketika di kota kita tidak bisa serta merta mudah mempercayai orang yang baru saja kita kenal karena memang solidaritas rasa kekeluargaan mereka sudah sangat minim sekali sehingga ketika memang ada solidaritas dalam masyarakatt kota, itu hanyalah karena mereka memiliki kepentingan yang sama yang pada akhirnya berdampak pada keuntungan pihak – pihak tertentu.
            Berbeda dengan Durkheim, Karl Mark disini melihat bahwa devian merupakan sebuah fenomena yang sifatnya episodic dan sementara / history. Pengontrolan terhadap devian sebenarnya tidak dibahas namun sebenarnya control sendiri dapat memunculkan devian. Menurut Mark, superstruktur yang ada dalam masyarakat (budaya, politik, dsb) yang ada dalam masyarakat dapat menegakkan hegemoni the ruling class lewat mekanisme control yang diinstitusionalkan lewat keluarga, media, sekolah, negara, dll. Dalam hal ini infrastruktur (ekonomi) dapat mempengaruhi superstruktur. Seperti contohnya saat ini banyak sekali kriminalitas yang terjadi di lingkungan kita karena pengaruh – pengaruh ekonomi. Mereka banyak melakukan tindak criminal ini karena mereka memiliki permasalahan dengan ekonomi sehingga jalan yang mereka ambil yaitu melalui kriminalitas. Dari sinilah infrastruktur begitu sangat berperan terhadap superstruktur karena infrastuktur sendiri menjadi tujuan utama dalam masyarakat. Ekonomi menjadi hal yang utama karena memang ekonomi menjadi hal yang sangat vital dalam kehidupan sehari, sebab masyarakat tidak akan bisa memenuhi biaya hidupnya tanpa adanya ekonomi sehingga ketika infrastuktur seseorang lemah, maka biasanya mereka cenderung akan melakukan berbagai hal untuk mensejahterakan hidupnya meskipun harus melanggar nilai atau norma – norma yang ada. Karl Mark disini menilai bahwa orang – orang yang dianggap devian oleh ‘the ruling class’ adalah orang – orang yang tidak mampu menyokong produksi kapitalis seperti orang gila, anak – anak punk, pengemis, dsb. Maka dari itu disinilah muncul adanya eksklusi social terhadap orang – orang tersebut karena sebenarnya ‘the ruling class’ disini lebih berpihak terhadap kapitalis, sehingga orang – orang yang tidak bisa menguntungkan pihak – pihak kapitalis akan di eksklusi. Dari sini Karl Mark membagi populasi devian menjadi 2 macam, yaitu social junk (sampah social) dan social dynamite. Kedua populasi devian ini sifatnya sangat bertolak belakang dimana social junk merupakan sebuah populasi yang dianggap tidak membahayakan kapitalis, tetapi mereka tetap saja tidak bisa menyokong akumulasi modal yang dimiliki oleh kapitalis sendiri, ya seperti yang dicontohkan tadi yaitu orang gila, pengemis, dsb. Berbeda dengan social junk, social dynamite disini perannya lebih aktiv karena mereka lebih bergejolak dibandingkan kelompok social junk seperti contohnya mahasiswa – mahasiswa yang kerap kali melakukan demo. Kelompok – kelompok inilah dianggap sebagai pengganggu oleh kapitalis, sehingga dianggap membahayakan dan perlu dikontrol agar akunulasi modal sendiri dapat berjalan dengan baik.

Lela Fanna Lina / 115120107111026 / Sosiologi
Review materi Kesenjangan dan Eksklusi Sosial

            Durkheim disini juga menjelaskan mengenai dampak dari eksklusi social itu sendiri dapat mengalami bunuh diri. Durkheim menilai bahwa dengan adanya eksklusi social ini dapat memberikan ancaman terhadap solidaritas social, sehingga individu tersebut tidak bisa masuk dalam ranah system yang sudah ada maka dari itu mereka cenderung dikesampingkan. Dari sinilah muncul adanya masyarakat devian dimana devian merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan norma – norma dalam masyarakat. Keadaan seperti devian inilah yang pada akhirnya menyebabkan anomie, sehingga ketika norma disini sudah tidak lagi berfungsi maka akan rentan terhadap adanya penyimpangan – penyimpangan dalam masyarakat. Seperti contohnya seks bebas, pembunuhan, pencurian, dan sebagainya. Hal – hal inilah yang membuat masyarakat kehilangan norma – norma yang sudah ada karena mereka merasa sudah kehilangan solidaritas yang mereka miliki akibat dari adanya eksklusi social ini. Ketika masyarakat mulai kehilangan norma (anomie), maka mereka akan mengalami kebingungan – kebingunan dimana mereka sudah tidak memiliki patokan / dasar dalam bersosial sehingga tak heran jika anomie ini terjadi maka kondisi masyarakat sendiri akan chaos.
Saya disini setuju dengan Durkheim karena menurut saya, ketika seseorang tereksklusi maka solidaritas dalam masyarakat juga akan rusak. Seperti kita contohkan di desa yang solidaritasnya sangat kuat ini dapat meminimalisis adanya perilaku – perilaku menyimpang karena keselarasan yang ada sudah tercipta sehingga masyarakat akan saling menghargai satu sama lain, selain itu nilai – nilai yang tertanam dalam masyarakat biasanya sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat yang ada di desa. Namun berbeda ketika kita melihat masyarakat yang ada di kota dimana tingkat kriminalitasnya sangat tinggi karena saya melihat di kota inilah nilai – nilai sudah mulai pudar dan solidaritasnya juga buruk sekali sehingga banyak masyarakat yang tereksklusi disini karena mereka menganggap bahwa norma – norma social sudah tidak lagi berfungsi sehingga perilaku mereka banyak sekali yang menyimpang. Maka saya lihat saat ini kondisi masyarakat di kota sudah sangat chaos karena memang mereka sendiri sudah mengabaikan nilai dan norma yang ada. Kejahatan dimana – mana dan masyarakat juga akan merasa tidak aman karena kondisi masyarakatnya yang sudah sangat buruk sehingga tak heran ketika di kota kita tidak bisa serta merta mudah mempercayai orang yang baru saja kita kenal karena memang solidaritas rasa kekeluargaan mereka sudah sangat minim sekali sehingga ketika memang ada solidaritas dalam masyarakatt kota, itu hanyalah karena mereka memiliki kepentingan yang sama yang pada akhirnya berdampak pada keuntungan pihak – pihak tertentu.
            Situasi seperti anomie inilah yang sangat dikhawatirkan oleh Durkheim, sebab ketika masyarakat berada pada kondisi seperti ini, maka akan berdampak negative terhadap masyarakat yang lain karena hal ini sifatnya sangat rentan sekali karena memang menurut Durkheim, lingkungan inilah yang membentuk individu. Ketika saya lihat saat ini maraknya kriminalitas di wilayah perkotaan oleh anak – anak yang masih remaja inilah yang sudah mulai menunjukkan kondisi masyarakat yang tidak sehat karena memang anak – anak ini akan lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungannya yang sudah semakin buruk. Banyaknya bermunculan masyarakat devian inilah yang membuat dia pada akhirnya akan tereksklusi oleh lingkungannya sendiri karena sudah dianggap tidak bisa memberikan kenyamanan terhadap masyarakat lain. Contoh lain dari adanya masyarakat devian ini seperti adanya komunitas punk yang dilihat dari penampilannya saja sudah jauh sekali dengan norma- norma yang ada di masyarakat sehingga mereka tereksklusi dari masyarakat karena memang sudah dianggap tidak memiliki norma atau nilai – nilai, namun menurut saya keberadaan mereka seharusnya bukan malah semakin dieksklusi tetapi bagaimana upaya pemerintah untuk bisa lebih memahami mengapa komunitas seperti ini bisa muncul karena menurut saya mereka melakukan hal – hal seperti itu hanya karena pengaruh dari lingkungan mereka, sehingga mereka secara tidak sadar terjerumus kedalam lingkaran tersebut. Saya rasa mereka tidak akan selamanya hidup terus seperti itu, sebab akan ada saatnya mereka berhenti dari komunitas itu dan menata hidup mereka dengan lebih baik. Toh mereka juga tidak akan terus menerus tinggal di jalanan bersama teman – teman mereka, bersenang – senang, dan semacamnya. Situasi inilah yang harusnya diperhatikan oleh pemerintah dimana mereka hanya ingin terlihat berbeda dari masyarakat kebanyakan sehingga mereka mulai mengabaikan nilai – nilai yang sudah ada.
            Selain itu, Durkheim juga membahas mengenai pathologi dimana pathologi ini merupakan sebuah keadaan yang sangat jarang sekali terjadi dalam masyarakat. Hal ini mungkin bisa dianalogikan seperti keberadaan seekor kuda putih diantara kuda pada umumnya. Ketika pathologi ini muncul dalam masyarakat, maka akan menjadi sangat mencolok sekali karena hal tersebut dianggap sangat jarang sekali terjadi. Berbeda dengan devian yang keberadaannya sudah sangat jelas dan sudah dianggap seperti seuatu hal yang biasa menurut Durkheim. Memang pathologi sendiri menjadi sesuatu hal yang sangat langka keberadaannya dalam masyarakat. Pengistilahan pathologi sendiri tidak sama dengan devian yang sudah jelas sekali tereksklusi dari masyarakat. Namun pathologi disini hanyalah sebuah kondisi yang bisa saja terjadi, namun tidak bertahan lama. Seperti contohnya ketika masyarakat di wilayah pedesaan yang hingga saat ini terkenal dengan solidaritasnya yang kuat, namun pada suatu waktu solidaritas mereka menjadi hilang ketika salah satu warganya mengalami kemalingan, namun tidak ada satupun warga di daerah sana yang peduli terhadap pencurian tersebut sehingga mereka cenderung acuh tah acuh. Dari sini nilai – nilai kekeluargaan masyarakat pedesaan yang menjadi ciri khas inilah tiba – tiba hilang. Hal seperti inilah yang dianggap sebagai pathologi dimana hal – hal yang pada awalnya bersifat khas menjadi berubah karena factor – factor tententu, namun ketika adanya kondisi seperti ini terus terjadi dalam masyarakat pedesaan, maka keadaan ini tidak dianggap sebagai pathologi karena sudah menjadi suatu hal yang dianggap wajar oleh masyarakat.

Lela Fanna Lina / 115120107111026 / Sosiologi
Review pertemuan 4 – 5
Mata Kuliah Kesenjangan dan Eksklusi Sosial
           
            Sepemahaman saya mengenai Judit Butler, saya sedikit setuju dengan apa yang dia kemukakan sebab setiap individu memiliki kebebasan untuk mengkonstruksikan apa yang menjadi miliknya seperti saat ini banyak kita jumpai laki – laki yang berpenampilan layaknya seperti perempuan. Menurut saya hal itu biarlah menjadi hak mereka dimana mereka bebas mengekspresikan diri, namun sayangnya kita tidak bisa hidup dalam ranah yang seperti itu karena ada lingkungan yang serta merta menilai segala sesuatu yang dilakukan oleh individu sehingga disini terlihat adanya dominasi makna yang ada dalam masyarakat maka dari itu aka nada nilai maupun norma – norma yang membatasi setiap gerak gerik individu untuk melakukan suatu hal. Selain itu masyarat juga memiliki peranan yang penting dalam suatu lingkungan sehingga seringkali kita harus mengikuti hal – hal yang ada dalam masyarakat.
            Mike Oliver memiliki pandangan yang berbeda mengenai pandangan masyarakat terkait orang yang dianggap ‘cacat’. Hal ini menurut Oliver hanyalah sebuah penilaian yang diberikan oleh orang – orang normal pada orang – orang yang mereka anggap tidak normal. Menurut saya, memang seharusnya tidak ada pengertian mengenai orang normal dan tidak normal, sebab hal ini hanya akan memberikan sekat antara orang normal dan orang yang dianggap tidak normal. Selain itu Oliver juga mengemukakan bahwa orang yang dianggap cacat yaitu ketika orang tersebut tidak bisa menggunakan fasilitas yang ada. Tapi jika orang bisu, buta, tuli, dsb bisa melakukan hal – hal yang dilakukan oleh orang normal, lantas apa yang menjadi permasalahan disini. Keadaan seperti inilah yang dibahas oleh Oliver karena orang – orang yang dianggap berbeda dari orang kebanyakan akan dianggap sesuatu yang aneh dan menjadi pusat perhatian karena dirasa berbeda dengan standarisasi orang normal.
            Hampir sama dengan apa yang dijabarkan oleh Oliver, Foucault disini juga lebih membahas mengenai regime of truth. Hal inilah yang menjadikan orang – orang dikelompokkan sesuai dengan bentuk tubuhnya karena adanya rezime kebenaran itu tadi. Memang benar ketika dalam suatu tatanan masyarakat sudah dibentuk adanya standarisasi yang menjadi sebuah acuan / patokan didalamnya, sehingga ketika hal – hal tersebut dianggap berbeda dari standarisasi maka akan menimbulkan adanya diskriminasi. Jika memang adanya rezime kebenaran itu perlu ada dalam suatu masyarakat, maka saya rasa tidak seharusnya ada pengelompokan – pengelompokan seperti ini karena hanya akan membuat orang – orang yang berbeda dari standarisasi yang sudah ditentukan menjadi terekslusi.
            Stigma merupakan sebuah prasangka / pandangan negative yang diberikan seseorang / masyarakat kepada orang lain. Stigma disini biasanya merujuk pada hal – hal yang dinilai sebagai suatu hal yang buruk / tidak sesuai dengan nilai – nilai yang ada dalam masyarakat. Stigma sendiri dibagi menjadi 3 tipe dalam masyarakat yang diantaranya stigma cacat fisik merupakan sebuah pandangan yang diberikan oleh masyarakat terhadap orang – orang yang fisiknya dianggap cacat, misalnya difabel yang seringkali dianggap sebagai suatu hal yang berbeda dalam masyarakat karena dianggap tidak normal secara fisik sehingga hal inilah yang dapat memunculkan adanya stigma. Kemudian ada stigma karakter individu yang buruk dan disini kita sudah bisa melihat bahwa orang – orang yang memiliki perilaku yang buruk akan mendapatkan stigma dari masyarakat, misalnya orang yang suka mabuk – mabukan, gay, dll sehingga disini kita masyarakat menilai bahwa hal – hal tersebut merupakan stigma. Dan yang terakhir ada stigma kesukuan / agama / tribal / gagasan dimana adanya pengaruh suku yang dimiliki oleh seseorang bisa menimbulkan adanya stigma seperti orang Papua yang dianggap memiliki watak yang keras sehingga pandangan masyarakat terhadap suku tersebut juga seperti itu dan hal ini biasanya ditransmisikan melalui generasi – generasi berikutnya. Selain itu adanya pandangan mengenai suatu agama seringkali menimbulkan stigma seperti contohnya agama islam yang kadang kala dianggap sebagai agama teroris oleh orang barat. Dari sinilah muncul adanya stigma yang perlahan ditularkan oleh masyarakat dan menjadi luas. Jika hal – hal ini semakin meluas dalam pandangan masyarakat, maka akan berdampak pada orang – orang yang medapatkan stigma ini karena dia akan merasa terdiskriminasi oleh lingkungannya, seperti agama islam yang ada di negara bagian barat yang keberadaannya begitu terancam karena dia akan dikucilkan oleh lingkungannya sehingga hal inilah dapat memperkecil kesempatan orang – orang islam yang ada disana untuk berkarya. Maka dari itu saya rasa kita tidak seharusnya mengstigmakan seseorang karena bisa saja hal ini memberikan pengaruh yang buruk terhadap dirinya karena adanya stigma dari masyarakat.

Lela Fanna Lina / 115120107111026 / Sosiologi
Review film
Mata Kuliah Kesenjangan dan Eksklusi Sosial

            Dalam film yang saya tonton kemarin saya setuju dengan pendapat Mike Oliver dimana sebenarnya pemaknaan mengenai orang cacat  hanyalah sebuah konstruksi sosial dari lingkungannya. Hal – hal yang dikatakan oleh orang adanya orang cacat itu merupakan sebuah penilaian yang diberikan oleh orang – orang normal. saya rasa dalam masyarakat tidaklah perlu adanya penilaian hal – hal yang demikian karena hanya akan menjadi sebuah pembeda antara orang yang dianggap normal dan tidak normal. namun menurut pandangan Oliver, pengertian mengenai orang normal dan tidak normal dilihat dari ketika orang tersebut tidak bisa menggunakan fasilitas yang ada, berarti hal ini tidak hanya dilihat dari fisik saja seperti contoohnya ketika seseorang tidak bisa menggunakan lift, maka dia dianggap cacat menurut Oliver meskipun menurut konstruksi masyarakat dia tergolong difabel. Ketika saya menonton film tersebut, itu berarti ketika dikaitkan oleh pndangan Oliver maka kedua tokoh pemain yang ada dalam film tersebut tidak bisa dikatakan sebagai orang yang cacat karena dia bisa melakukan hal – hal yang bisa dilakukan oleh orang pada umumnya meskipun yang satu buta dan yang satunya lagi bisu. hal ini bisa dibuktikan saat dia melakukan aktifitas sehari  - harinya dimana dia bisa melaksanakan solat, dia juga bisa mengerti waktu melalui jam meskipun dia buta. Kondisi seperti ini saya rasa tidak serta merta bisa dikatakan sebagai orang cacat karena pada kenyataannya dia bisa melakukan hal – hal tersebut.
            Sama halnya dengan pandangan Michel Foucault mengenai ‘the regime of thruth’ dimana orang dikelompokkan sesuai dengan bentuk tubuhnya karena adanya rezime kebenaran, sehingga hal – hal yang sifatnya berbeda dianggap suatu hal yang aneh dan ini menimbulkan adanya diskriminasi. Adaya rezime kebenaran inilah yang pada akhirnya membuat orang – orang di dalam masyarakat menjadi dikelompokkan dan dibedakan. ketika seseorang dinilai normal atau tidak normal maka saya rasa akan ada sekat diantara masyarakat antara yang normal dan tidak normal. seperti dalam film tersebut, saya melihat orang – orang yang difabel hanya menikah dengan orang yang sama – sama difabel pula, begitu juga dengan orang – orang yang dianggap normal, maka dia akan menikah dengan orang normal. disini sangat terlihat sekali adanya perbedaan terkait normal dan tidak normal. saya rasa hal ini perlu dihilangkan dalam konstruksi masyarakat meskipun sulit karena dengan adanya pandangan – pandangan seperti ini hanya akan memisahkan antara orang – orang yang dianggap normal dan tidak normal.



2 komentar:

  1. Devian dalam pandangan durkheim dimana adanya perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma yang ada menurut saya juga merupakan konstruksi dari masyarakat. ketika sebuah stigma dari masyarakat sudah melekat pada diri individu maka tetap saja individu tersebut walaupun perilakunya sudah tidak menyimpang lagi akan tetap dianggap sebagai devian..konstruk masyarakat sangat berperan dalam hal ini...

    BalasHapus
    Balasan
    1. elyah, apakah kondisi sekarang masih seklasik itu? ibarat kata sudah nggk salah tetep aja dianggap salah...hehe

      Hapus