Mohammad
ishak (105120107111012) Eksklusi Sosial
Respon Paper 1
Eksklusi
sosial adalah proses yang menghalangi atau menghambat individu dan keluarga
dari sumber daya yang dibutuhkan dalam kegiatan sosial, ekonomi dan
politik.seorang yang terekslusi berarti dia terputus dari layanan, jejaring
sosial, dan semua hal yang bisa dirasakan oleh masyarakat banyak. Menurut
Amartya sen eksklusi sosial adalah keterkaitan dengan kemiskinan dan deprivasi
(kehilangan akses).
Menurut
Pierson ada 3 diskursus eksklusi sosial. Pertama RED (redistribution discourse),
disini menjelaskan bahwa bagaimana cara negara menangani eksklusi sosial.
Kedua, MUD (moral underclass discourse) yaitu individu yang melakukan
penyimpangan sikap dan moralitas, ini lebih kepada pengidentifikasian. Yang
ketiga SID (social integration discourse),
bagaimana caranya agar masyarakat yang tereksklusi tetap terhubung.
Dalam
pandangan durkheim eksklusi sosial sangat mengancam solidaritas sosial. Keadaan
ini menurut durkheim akan menimbulkan anomie yang nantinya brakibat
disorganisasi ataupun dissociation. Disamping itu keadaan ini juga akan
menimbulkan patologis. Patologis adalah perilaku atau tindakan yang tidak
normal, penyimpangan dari kewajaran, jarang terjadi, bisa juga disebut sebagai
penyakit. Ini berhubungan dengan deviant juga, deviant adalah perilaku
menyimpang, perilaku yang tidak sesuai norma. Apa yang dianggap patologi dalam
sosiologi adalah tergantung norma.
Dalam
kacamata Marx deviant sendiri berarti orang-orang yang tidak menyoong
kapitalisme. Deviant marx ini lebih kepada pertentangan kelas seperti yang
diketahui bahwa marx memang kajiannya perihal kelas sosial. Jadi marx
memposisikan deviant sebagai orang-orang yang tidak berguna bagi kapitalisme
lain halnya dengan posisi borjuis sebagai the rulling class. Para borjuis bisa
mengatur apapun karena kepemilikan modal mereka.
Populasi
deviant terbagi menjadi 2. Yaitu social junk dan social dynamite. Social junk
merupakan kelompok-kelompok yang dianggap tidak berbahaya oleh kapitalis.
misalnya orang gila yang bukan merupakan ancaman bagi kapitalis. Sedangkan
social dynamite adalah kalangan (biasanya) pemuda-pemudi yang mempunyai potensi
untuk melakukan perlawananatau sebagainya. Namun, para kapitalis sudah
mempunyai cara untuk mengontrol keduanya yakni dengan menggunakan agen-agen
terapik bagi social junk. Sedangkan bagi social dynamite akan dikontrol dengan
lembaga-lembaga formal.
CONTOH KASUS:
SNMPTN Bukan Untuk Difabel
LBH Jakarta Akan Somasi Mendikbud
Selasa, 11 Maret 2014
Jakarta,
HanTer – Sebanyak 62 perguruan
tinggi negeri (PTN) melarang para penyandang cacat fisik (difabel) untuk
mendaftar sebagai calon mahasiswa baru untuk hampir semua jurusan.
Direktur Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Febi Yonesta, menyatakan, segera melayangkan surat
somasi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, MRPTNI, dan Panitia Pelaksana
SNMPTN 2014.
Pasalnya, tiga
lembaga tersebut yang harus bertanggung jawab atas perlakuan diskriminasi yang
diterima para difabel. Mereka juga mendesak pemerintah menarik aturan tersebut.
Menurut Febi, bila
merujuk pada ratifikasi yang dilakukan Indonesia mengenai Convention on the
Right of Persons with Disabilities (CRPD) melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2011 pada Pasal 24 ayat (1) menyatakan, negara-negara pihak mengakui hak
orang-orang difabel atas pendidikan.
Dalam rangka
memenuhi hak ini tanpa diskriminasi dan berdasarkan kesempatan yang sama.
Negara-negara pihak wajib menjamin sistem pendidikan yang bersifat inklusif
pada setiap tingkatan dan pembelajaran jangka panjang.Sehingga, persyaratan
SNMPTN itu dinilai menyalahi hukum yang menjadi pegangan dunia internasional.
“Kebijakan itu
langkah mundur dan melanggar terhadap begitu banyak prinsip hukum yang telah
disepakati, serta melanggar terhadap prinsip hak asasi manusia yang telah dijunjung
tinggi dunia,” bebernya.
Namun, saat
dikonfirmasi Ketua MRPTNI, Idrus Paturusi, mengaku belum mengetahui
permasalahan tersebut. Menurutnya, para difabel dapat mengikuti seleksi masuk
PTN pada tahun ini.
“Setahu saya tidak ada peraturan
yang melarang difabel untuk ikut,” kata Idrus. (as)
Diakses pada tanggal 19/03/2014
10:17.
Analisis
Dari
data diatas terlihat jelas bahwa para difabel tereksklusi dari dunia
pendidikan. Mereka mengalami deprivasi karena larangan masuk PTN. Jika dilihat
dari kacamata durkheim larangan ini merupakan patologis. Hal ini menyimpang
dari kewajaran dimana difabelitas diputus layanan pendidikannya padahal
seharusnya mereka juga mendapatakan hak yang sama dengan orang yang tidak
difabel.
Sedangkan
jika dilihat dari kacamata marx aturan ini jelas adalah ulah para kapitalis
atau borjuis. Mereka sebagai the rulling class membuat peraturan ini
memanfaatkan modal yang mereka mliki. Sedangkan posisi dari para difabel
merupakan deviant dengan kekurangan fisik mereka. Borjuis menganggap para
difabel adalah orang yang tidak bisa menyokong atau bisa menghambat proses sistem
kapitalisme mereka dan akhirnya dibuatlah peraturan ini agar sistem kapitalisme
mereka berjalan dengan lancar. Karena lembaga pendidikan merupaka ajang untuk
mengasah skill yang antinya akan berguna bagi kapitalis dengan dipekerjakan.
Para
difabel bisa juga dianggap sebagai orang yang berbahaya yanga akan mengancam
terhadap sistem kapitalisme borjuis. Karena mungkin borjuis menganggap bahwa kekurangan
fisik mereka tidak mengurangi kecerdasan otak yang memungkinkan nanti menjadi
hal yang berbahaya juga bagi para borjuis. Akhirnya tindakan yang diambil
adalah mengeksklusikan difabelitas dengan peraturan larangan seperti di atas
melalui lembaga formal.
Respon
Paper 2
Memaknai tubuh dan identitas sosial
Tubuh
adalah perjumpaan dengan dunia saat pertama kali. Tubuh merupakan yang pertama
yang mengenal dunia. Misalnya saat kita lahir yang terjadi adalah nangis dan
itu anggota tubuh yang mengalaminya. Selain itu tubuh juga menjadi identitas
karena melalui tubuh masyarakat mencirikan diri kita baik secara fisik maupun
non fisik. Seperti kulit hitam manis seseorang menjadikannya lebih bisa
dikenali karenanya. Hal ini juga berarti tubuh menjadi konstruksi sosial. Tubuh
juga merupakan sebuah tanda seperti laki-laki dengan perempuan. Ini alasannya
kenapa tubuh menjadi wilayah penting dalam perjumpaannya dengan dunia.
Menurut
tokoh penganut feminisme, judit butler, gendeer dan seks itu berbeda.
Menurutnya, Gender merupakan konstruksi melupakan pengalaman individu karena
gender adalah pengaalaman. Individulah yang sebenarnya mengkonstruksi gender
dan gender itu juga yang mempengaruhi performa contohnya waria atau mungkin
cowok yang berkelakuan cewek. Maka dari itu judit butler menegaskan bahwa tubuh
adalah penentuan identitas. Sampai pada pendapatnya bahwa individu mempunyai
makna terhadap tubuhnya sendiri dan individu itu yang memperformakan tubuhnya. Ini
yang membedakannya dari tokoh feminisme lainnya. Artinya judit butler disini
berpandangan bahwa pengklaiman itu murni dari individu bukan dari masyarakat.
Masyarakat yang sering mengklaim seseorang adalah masyarakat yang jahat.
Mike
oliver adalah seorang tokoh cebol juga berpendapat bahwa tubuh yangg berbeda
menjadi objek. Artinya tubuh yang berbeda selalu menjadi perhatian ini
disebabkan oleh lingkungan sekitar. Konstruksi lingkungan sekitar yang
menjadikan tubuh yang berbeda menjadi perhatia orang banyak. Karena lingkungan
juga menjadikan tubuh menjadi “dis” (tidak mampu). Misalnya seorang yang cacat
namun bisa melakukan segalanya layaknya orang “normal”. Kata cacat disini
sebenarnya ada karena diciptakan lingkungan yang tidak sesuai dengan tubuh. Andai saja semua orang
di lingkungan cacat dan yang “normal” menjadi minoritas maka keadaan akan
berbalik.
Menurut
Erving Goffman pandangan negatif ini disebut negatif. Stigma yang direproduksi
di kehidupan sosial ini akan menimbulkan
stereotype yang nantinya akan menuju ke diskriminasi. Hal ini berhubungan erat
dengan identitas sosial yang menurut Goffman identitas sosial diciptakan dan
dibentuk oleh masyarakat. Goffman membagi identitas soial menjadi 2:
1.
Virtual Social Identity, yaitu asumsi
yang muncul menghubungkan dengan realitas yang belum terbentuk sepenuhnya
karakter cenderung menyalahkan. Atau dengan bahasa lain prasangka.
2.
Actual Social Identity merupakan
kategori atau atribut yang realitasnya dapat terbukti.
Keduanya
ini ada sebuah gap yang membatasi diantaranya. Stigma sendiri menurut Goffman
meupakan yang menjembatani gap tersebut. Gap atau kesenjangan keduanya ini
memunculkan pendeskritan (pemojokan) seseorang karena dianggap berbeda dari
harapan masyarakat. Bisa mencirikan seseorang secara negatif yang diberikan oleh masyarakat. Serta
stigmatisasi.
Ada
3 tipe stigma yang terjadi di masyarakat.
1.
Stigma cacat fisik
2.
Stigma karakter individu yang buruk.
3.
Stigma kesukuan
Respon
Paper 3
Bermula
dari A
Banyak
nilai pelajaran yang bisa diambil dari film ini. Dapat dilihat bahwa
nilai-nilai toleran dari film ini sangat kentara. Akbar, seorang laki-laki yang
bisu belajar berbicara kepada sahabat perempuannya yang buta.
PRAVOTCATERI N.
115120100111026
RESPON
PAPER 1
KESENJANGAN
DAN EKSKLUSI SOSIAL
Kesenjangan
merupakan suatu kondisi dimana terjadi perbedaan yang sangat nampak jelas terlihat. Dalam
lingkungan masyarakat kondisi seperti ini sering terjadi, misalnya terjadi
kesenjangan di suatu perusahaan, para pekerja memiliki standar kerja dan porsi
yang sama, namun dilain sisi muncul perbedaan pendapatan yang mencolok. Hal ini
terjadi karena ada satu pihak yang
memiliki relasi dekat dengan atasan, sedangkan pihak yang lain dirugikan dan
terpinggirkan, inilah kondisi yang menunjukkan adanya kesenjangan. Dari contoh diatas dapat
disimpulkan bahwa adanya kesenjangan dapat terjadi ketika suatu peminggiran
atau ada pihak-pihak yang termarginalkan. Kesenjangan berarti perbedaan yang
membuat suatu pembagian hak yang tidak merata. Kesenjangan juga dapat berdampak
pada munculnya kecemburuan sosial bahkan dapat memicu konflik, akibat adanya
marginalisasi.
Jika
kesenjangan berarti ada perbedaan, berbeda lagi dengan eksklusi sosial.
Eksklusi sosial dimaknai sebagai suatu proses yang menghalangi atau menghambat
satu pihak baik individu maupun kelompok untuk ikut berpartsipasi dalam
kegiatan diberbagai bidang seperti sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Dalam hal ini, individu maupun kelompok dibatasi ruang geraknya dalam
menyalurkan keikutsertaanya diberbagai bidang dalam masyarakat. Artinya,
peluang untuk mengembangkan diri terputus karena adanya pembatasan itu.
Eksklusi dapat terjadi sebagai
konsekuensi dari kemiskinan dan sumber daya ekonomi yang rendah, tidak memiliki relasi terhadap akses pekerjaan, tidak ada
dukungan dan jaringan sosial, dampak dari lingkungan sekitar dan pemutusan
layanan.
Ada
3 diskursus dari eksklusi sosial yaitu, Redistribution
Discourse (RED), Moral Underclass Discourse (MUD) dan Social Integration Discourse (SID). Redistribution Discourse (RED) terjadi karena adanya kemiskinan
atau rendahnya sumber daya ekonomi. Dengan kondisi tersebut maka perlu ada
solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut, melalui redistribusi pendapatan
masyarakat yang diwujudkan dengan pungutan pajak. Sedangkan Underclass Discourse (MUD) berfokus pada
individu atau kelompok yang melakukan tindakan penyimpangan baik sikap maupun
moralitas. Para pelaku MUD tersebut posisinya sudah terputus dari lembaga
sosial utama. Pada Social Integration
Discourse (SID) difokuskan pada upaya penanggulangan eksklusi sosial
melalui peningkatan integrasi dan kohesi sosialnya dalam pasar kerja, sebagai
seorang pekerja yang dibayar.
Dalam
perspektif Durkheim, eksklusi dipandang sebagai suatu gejala yang dapat
mengancam solidaritas sosial. Hal ini disebabkan oleh keberadaan
kelompok-kelompok di dalam lingkungan masyarakat yang diabaikan dan termasuk
dalam sasaran target dari kebijakan Pemerintah. Penyebab lainnya karena
keberadaan kelompok-kelompok tersebut dikesampingkan dan memungkinkan
terjadinya anomie. Ciri-ciri dari
adanya anomie adalah aturan kultural kehilangan daya ikat, terjadi
disorganisasi sosial, pemisahan dalam struktur sosial yang kemudian berkembang
menjadi pola adaptasi diantara berbagai penyimpangan, selanjutnya tanpa adanya
asosiasi, masyarakat tidak akan memiliki konsep yang jelas mengenai apa yang
tepat dan tidak dari perilaku yang dapat diterima.
Dalam
konsep Normal dan Patologis, patologis sosial dapat dikatakan sebagai penyakit
atau produk yang gagal. Dikatakan
sebagai produk gagal dikarenakan terjadi penyimpangan yang tidak wajar dari apa
yang ditemukan dalam suatu masyarakat. Bahkan jika dibandingkan dengan tindakan
kejahatan, tindakan kejahatan dikatakan
normal dari pada patologis, sebab adanya kejahatan sering ditemukan
dalam masyarakat. Selain itu kejahatan juga menggambarkan adanya nurani
kolektif para pelakunya. Bagi Durkheim, dalam patologi sosial terdapat kriteria
umum masyarakat yang sehat. Artinya, konsep normal telah ditetapkan oleh
masyarakat. Sehingga dapat dianalogikan bahwa, patologi merupakan penyakit,
sedangkan kejahatan dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dan dapat
dikategorikan dalam patologi. Dalam sosiologi, apa yang dianggap sebagai
patologi bergantung pada norma yang ada.
Dalam
perspektif Marxis mengenai tindakan penyimpangan ( deviance ), penyimpangan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai
patalogis. Berbeda dengan asumsi yang dinyatakan Durkheim, bahwa kejahatan
adalah sesuatu yang normal dan bukan termasuk patologis. Bagi Marx,
penyimpangan termasuk dalam patologis karena penyimpangan merupakan pelanggaran
yang bertolak dari norma-norma yang ada di dalam masyarakat dan juga tindakan
penyimpangan ditolak dalam masyarakat. Penyimpangan dianggap sebagai
penyalahgunaan hak-hak karena dapat merugikan orang lain. Tindakan penyimpangan
yang merupakan produk dari masyarakat.
Menurut Marx, kejahatan
dalam bidang ekonomi sering dilakukan kapitalis dimana mereka berusaha
memperjuangkan kepentingan pribadinya dengan cara mengabaikan kepentingan
bersama, biasanya sasaran yang dilemahkan
adalah kaum lapisan bawah yang
termarjinal. Proses ini dapat merugikan pihak-pihak lain karena menyalahgunakan
hak-hak orang untuk mencapai keuntungan
pribadi. Dalam pandangan Marxis, selalu berkaitan dengan aspek materi
dan kapitalis dimana di dalamnya ada perjuangan kelas antara lapisan masyarakat
atas dan lapisan bawah. Pada lapisan kelas atas selalu berusaha mencapai kepentingan
pribadi dengan mengeksploitasi kelas pekerja, dengan kekuasaan yang dipegang.
PRAVOTCATERI
N.
115120100111026
Respon Paper 2
Stigma dan Identitas Sosial
Dalam kesenjangan dan eksklusi
sosial ada beberapa bentuk tindakan seperti deviant, patologis, tindakan
kriminal (crime) dan sebagainya.
Stigma merupakan salah satu wujud dari kesenjangan dan eksklusi sosial. Stigma
dilihat sebagai cara pandang yang negatif terhadap tanda atau ciri-ciri negatif
yang diberikan oleh masyarakat. Sehingga ketika ada individu yang berbeda
dengan masyarakat, memungkinkan adanya stigma dari masyarakat. Masyarakat memunculkan
stigma dikarenakan adanya wacana dominan di masyarakat, misalnya suatu wilayah
dihuni oleh kumpulan warga dengan kondisi keluarga yang harmonis, namun ada
satu warga dengan keluarga yang broken
home dan perceraian orang tua, yang dilihat masyarakat hanya sebagai
minoritas, maka inilah yang memunculkan stigma di masyarakat terhadap minoritas
tersebut.
Stigmatisasi merupakan sikap
merendah dan mengucilkan individu yang memiliki atribut tertentu sehingga
memberikan pandangan buruk pada masyarakat. Atribut yang dimaksudkan adalah
kategori yang di dalam masyarakat, artinya sesuatu yang melakat pada seseorang.
Stigmatisasi berbeda dengan stigma, stigmatisasi merupakan proses dari stigma
yaitu bagaimana sesorang menunjukkan sikap stigma kepada seseorang yang
dipandang dengan atribut berbeda, sedangkan stigma adalah cara memandang
seseorang tersebut.
Teori stigma yang diberikan Erving
Goffman melihat stigma sebagai proses dinamis yang mendeskridit atau memojokkan
individu di mata individu lain. Stigma memiliki pengaruh besar terhadap
individu yang dikucilkan. Individu menjadi tidak nyaman dengan prasangka dari
orang lain, menjadi cemas dan cenderung antisipastif ketika berinteraksi dengan
orang lain, ketika prasangka itu tidak benar mereka berusaha menunjukkan bahwa
mereka normal seperti orang-orang pada umumnya. Namun tidak semua orang
memberikan stigma terhadap orang lain yg dikucilkan. Terkadang orang-orang ini
justru bersimpati, menerima minoritas yang dikucilkan dengan baik.
Untuk membedakan bentuk-bentuk
stigma, ada tiga tipe stigma yang dikategorikan yaitu cacat fisik, karakter
yang buruk dan kesukuan (tribal, gagasan atau agama). Cacat fisik seperti tuna
netra, tuna rungu, tuna wicara dan lain-lain. Karakter individu yang buruk
adalah citra buruk yang melekat pada diri seseorang misalnya pecandu narkoba, homoseksual
dan sebagainya. Sedangkan kesukuan, tribal, agama dan gagasan merupaka tipe
dimana diturunkan ke generasi berikutnya.
Stigma itu sendiri dapat mengarah
pada labelling, dimana individu yang
dipojokkan akan mendapat pemberian label negatif dari masyarakat, yang kemudian
memperoleh diskriminasi pula dari masyarakat karena minoritas yang dianggap
berbeda dan tidak dominan dengan masyarakat pada umumnya. Menurut mahzab
strukturalis, setiap individu dalam masyarakat memiliki atribut dan kategori yang melekat. Atribut ini sifatnya
alamiah (natural) bukan dibentuk
secara tiba-tiba. Namun berbeda dengan identitas sosial, identitas sosial
adalah atribut yang melekat pada diri seseorang karena bentukan dari
masyarakat. Inilah yang disebut dengan pelabelan (labelling), yaitu sebuah pemberian label oleh masyarakat terhadap
individu yang berbeda dengan masyarakat.
Teori labeling memaknai sebagai
sebuah tindakan seseorang ditentukan bagaimana masyarakat secara sosial
mendefinisikan tindakannya tersebut. Contohnya, sebuah masyarakat menilai salah
satu orang warganya sebagai pencuri di perkampungan mereka, padahal orang
tersebut sebenarnya tidak demikian, pada akhirnya pelabelan tersebut yang hanya
prasangka menjadi sebuah kebenaran dari yang sebenarnya bukan pencuri menjadi
pencuri sungguhan. Ini yang menyebabkan seseorang memberikan stigma diri, yakni
meyakini stigma bahwa dirinya memang seperti apa yang diucapkan masyarakat. Ada
dua jenis kategori identitas yaitu virtual
social identity (prasangka) dan actual
social identity. virtual social
identity (prasangka) merupakan anggapan yang muncul karena realitas yang
terjadi belum tentu benar terjadi sepenuhnya dan cenderung menyalahkan,
contohnya seperti prasangka terhadap anak broken
home yang dapat memberikan pengaruh buruk terhadap anak-anak mereka jika
bergaul dengan anak tersebut. Sedangkan actual
social identity adalah kondisi kategori yang melekat pada seseorang memang
benar adanya (terbukti), seperti tindakan kriminal dapat merugikan dan
mengganggu ketenangan masyarakat.
PRAVOTCATERI
N.
115120100111026
Respon Paper 3
REVIEW FILM “BERMULA DARI A”
Film
pendek yang berdurasi sekitar 15 menit ini, menceritakan tentang seorang gadis
dan temannya yang sama-sama berkebutuhan khusus. Dalam film, digambarkan bagaimana
Akbar pemeran pria dengan kondisi tuna rungu serta seorang anak perempuan yang
tuna netra berkomunikasi satu sama lain. Bagi penonton yang menyaksikan film
ini mungkin berpikir dua kali ketika ketiadaan yang justru melengkapi mereka
dalam berkomunikasi, seperti yang digambarkan dalam adegan Akbar menanyakan
harga kacamata, namun tidak dimengerti oleh si penjual dan kemudian disampaikan
ke teman perempuannya tersebut. Mungkin dalam benak si penjual kacamata
bagaimana cara mereka berkomunikasi dengan kondisi keduanya yang mungkin tidak
mudah untuk saling berkomunikasi.
Setiap
adegan dalam film ini membawa pesan tersirat penting bahwa keterbatasan atau
ketidaksempurnaan fisik individu tidak
dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal. Hal ini dibuktikan melalui
upaya gadis ini mengajari Akbar agar bisa melafalkan kata “Akbar”, mulai dari shalat
berjamaah dengan gadis yang menjadi imam sampai pada akhirnya Akbar dapat
melafalkan “Allahu Akbar” dengan
jelas saat menjadi imam. Mereka sering dipandang sebagai sesuatu yang tidak
normal karena adanya wacana dominan dalam masyarakat, masyarakat beranggapan
demikian karena individu atau kelompok yang dianggap tidak normal ini hanya
minoritas saja.
Menggunakan
kacamata Foucault dalam konsepnya Regime
of Truth, berbicara tentang wacana, berarti berbicara tentang
aturan-aturan, praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan-pernyataan yang
bermakna pada satu rentang historis tertentu. Artinya rezim wacana dan kekuasaan yang dimaksudkan oleh Foucault
adalah sebagai penentuan benar atau salah, normal atau tidak dan sebagainya.
Seperti dalam film ini, sebuah anggapan normal atau tidak ditentukan dari
lingkungan masyarakat sebagai wacana dominan. Hal ini ditunjukkan dalam adegan bagaimana upaya Akbar dan temannya saat berkomunikasi
untuk menyampaikan berapa harga kacamata tersebut kepada sang pelayan toko.
Adegan tersebut sekaligus membantah wacana dominan dalam masyarakat bahwa
sebenarnya mereka juga dalam kategori normal bahkan komunikasi yang merekan
tunjukkan juga lancar dan bukan menjadi masalah besar untuk dibeda-bedakan.
Pertaruhan
kebenaran menggunakan sarananya politik tubuh, artinya bahwa sasaran kekuasaan
adalah tubuh. Berdasarkan wacana dan kekuasaan yang diungkapkan Foucault
menunjukkan bahwa tubuh menjadi objek, dalam film Bermula dari A tubuh digambarkan sebagai sasaran atau objek dalam
kekuasaan. Kuasa yang dibentuk melalui kepatuhan dari tubuh melalui
produktifitasnya, misalnya dalam ini ditunjukkan dengan bagaimana Akbar
berupaya keras agar dapat melafalkan “Allahu
Akbar” dengan jelas, Akbar memiliki kuasa akan tubuhnya agar mengikuti apa
yang ingin dilakukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Donny
Gahral Adian, “Menabur Kuasa Menuai Wacana” dalam BASIS nomor 01-02, Tahun
ke-51,Januari-Februari 2002.
http://salihara.org/media/documents/2010/06/30/h/a/haryatmoko-seks-foucault.pdf ( Diakses Minggu, 23 Maret 2014 Pukul. 22.06
).
NAMA :
ULFATUT DAWILAH
NIM :
115120101111027
KLS :
A.SOS.6
TUGAS KE-1 (WORKING PAPER MATERI TENTANG
DEVIAN)
KESENJANGAN DAN EKSLUSI SOSIOAL
Masyarakat pada dunia ketiga mengalami apa yang di namakan dengan
kesenjangan sosial, kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat ini di
akibatkan oleh modernitas. Kesenjangan sendiri adalah garis pemisah yang ada di
masyarakat antara mereka yang kaya dan yang miskin. Sedang golongan yang miskin
ini kemudian mengalami ekslusi sosial, yaitu suatu proses termajinalkan atau
terpinggirkan dari masyarakat. Mereka yang masuk dalam golongan termajinalkan
ini kemudian di terjemahkan oleh Amartya Sen sebagai golongan yang akan
mengalami deprivasi (kehilangan akses). Pada mereka yang miskin dan
termajinalkan mengalami proses dimana mereka tidak dapat memiliki akses dalam
bidang sosial di dalam masyarakatnya. Seperti orang yang tergolong miskin maka
mereka secara otomotis mengalami deprivasi atau kehilangan akses d bidang
pendidikan dan kesehatan karena keterbatasan penghasilan atau ekonomi.
Selain Amartya Sen, Emile Durkheim juga membahas bagaimana ekslusi sosial
dapat mengancam sebuah solidaritas yang ada dalam masyarakat. Adanya ekslusi
sosial bagi Durkheim dapat menimbulkan atau menyebabakan seorang individu melakukan
hal-hal diluar yang seharusnya. Ketika seseorang mengalami keterbatasan sosial
sedang di sisi yang lain dia juga harus bertahan hidup maka yang sering terjadi
adalah mereka akan melakukan apapun untuk tetap hidup. Sehingga kita kemudian
mengenal apa itu kejahatan (crime), kejahatan yang di lakukan tersebut akan
berdampak bagi masyarakat di sekitarnya. Dan dia akan dianggap sebagia orang
yang telah menyimpang (devian) dari norma dan aturan. Devian dari perspektif
Durkheim lebih menekankan pada nilai dan norma yang ada dalam masyarakat,
dimana ketika seseorang berperilaku di luar nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat maka dia
akan di anggap sebagai orang yang memiliki perilaku menyimpang atau Devian.
Sedang lain lagi dengan Karl Mark jika berbicara tentang Devian maka hal
itu tidak akan pernah jauh dari pemikirannya selama ini tentang meteri.
Pemikiran Mark mengenai meterialisme historis tetap tak boleh di pisahkan dari
konsep devian seorang Mark. Dia melihat masyarakat sebagai struktur sosial yang
selalu akan di pengaruhi oleh ide tentang materi, bagaimana materi seseorang
sangat menentukan peran seseorang dalam masyarakat. Dalam masyarakat Mark
membagi masyarakat menjadi dua yaitu kaum borjuis dan kaum proletar, kaum
borjuis ialah mereka yang memiliki modal sedang kaum proletar adalah mereka
yang tidak memiliki modal. Apa yang dimaksud sebagai menguasi dan di kuasai
selalu ada dalam masyarakat tergantung pada modal yang dimiliki oleh setiap
individu. Devian dalam perspektif Mark adalah mereka yang tidak dapat menyokong
kapitalis, karena devian di tentukan oleh yang di sebut dengan rulling class.
Rulling class sendiri adalah mereka yang berada pada golongan borjuis,
sebab golongan borjuis adalah golongan yang memilki modal. Dalam konsep ini
jelas terlihat bagaimana materi menguasai struktur dalam masyarakat sedemian
rupa sehingga mereka yang tergolong dalam kaum pemiliki modal (borjuis) dapat
menentukan apa saja dalam masyarakat baik aturan, nilai dan norma, dan perilaku
seseorang. Devian tidaknya seseorang dalam masyarakat menurut Mark ditentukan
oleh mereka yang termasuk dalam golongan borjuis atau rulling class. Devian
sendiri di bagi menjadi dua, yaitu devian junk (sampah) dan devian dynamic,
devian junk atau sampah adalah mereka yang tidak dapat menyokong kapitalis
namun di anggap tidak berbahaya bagi kaum rulling class seperti orang gila yang
kemudian di kontrol dengan adanya rumah sakit jiwa, psikolog, dan terapis.
Namun berbeda dengan devian dynamite, mereka yan termasuk dalam golongon devian
ini di anggap berbahaya oleh kaun rulling class karena di rasa memiliki potensi
untuk melakukan revolusi sehingga di lakukan kontrol melalui lembaga-lembaga
formal, seperti para buruh yang masih muda dan memiliki semangat juang biasanya
di anggap membahayakan para kaum borjuis atau rulling class sehingga mereka
harus di redam atau di cegah dengan adanya lembaga formal seperti serikat buruh
yang di dalamnya dapat di lakukan negosiasi dan tawar menawar dalam menentukan
upah bagi para buruh sehingga para kaum borjuis atau golongan rulling class
tidak merasa di rugikan.
REVIEW FILM “BERAWAL
DARI A”
Jika kita melihat film berawal dari A, kita dapat
menganalisisnya dengan teori dari Judit Butler mengenai gender. Dimana gender
adalah konstruksi melupakan pengalaman individu, dalam film ini kita dapat
melihat tentang pemahaman masyarakat tentang imam dalam sholat adalah laki-laki
sedangkan dalam film ibadah sholat di imami oleh perempuan. Ibu dari seorang
perempuan tadi mengatakan bahwa anaknya harus mencari imam untuk sholatnya dan
bukannya menjadi imam untuk seorang laki-laki. Pemikiran ibu tersebut terlihat
sangat terpengaruh oleh konsepsi gender yang ada selama ini bahwa yang
mengimami sholat adalah seorang laki-laki. Tanpa melihat kondisi yang
seharusnya menjadi perhatian mereka, karena sosok laki-laki yang di tampilkan
dalam film memiliki keterbatasan sehingga belum bisa mengimami sholat. Selain
itu Butler juga berbicara tentang performa, bahwa seseorang itu di lihat dari
perfoma dirinya. Masyarakat selama ini melihat laki-laki dan perempuan
berdasarkan perfoma sehingga laki-laki di pandang lebih di banding perempuan,
tapi yang di tampilkan di film tersebut justru yang mengajari sholat adalah
perempuan sehingga perempuan dalam film ini terlihat berusaha untuk
meghilangkan konstruk gender pada masyarakat yang terlihat sakral selama ini
bahwa perempun adalah makmum. Sehingga dapat di pahami tentang Butler bahwa
individu itu dapat mengkontruksi gender.
Selain itu kita juga dapat menganalisis film tersebut dengan
pemikiran Mike Oliver tentang tubuh yang berbeda menjadi object. Dalam film ini
kita dapat melihat bahwa orang yang memiliki ketidaksempurnaan menjadi object
penilain orang lain yang merasa dirinya sempurna. Di film di perlihatkan tokoh
laki-lakinya seorang tuna wicara (orang tidak dapat berbicara) sedang tokoh
yang perempuan seorang tuna netra (orang tidak dapat melihat), yang mereka
berdua menjadi object penilaian dan perhatian tersendiri olae ibu si perempuan
yang melihat bahwa laki-laki yang mendekati anak gadisnya adalah orang yang secara
fisik tidak sempurna dan tidak pula bisa mengimami anaknya sholat.
NIM : 115120101111027
KESENJANGAN DAN EKSLUSI SOSIAL
RESPON
PAPER II
TEORI (JUDIT BUTLER, MIKE OLIVER,
DAN FOUCAULT)
STIGMA (ERVING GOFFMAN)
·
Ketika berbicara megenai tubuh, kita
akan memahami bahwa sebenarnya yang selama ini di nilai oleh masyarakat ketika
berinteraksi dengan masyarakat adalah tubuh kita. Tubuh adalah unsur konkrit
yang digunakan saat berjumpa dengan dunia sosial contoh : ketika bertemu dengan
guru kita akan secara spontan menunduk atau mencium tangannya sebagai tanda
penghormatan, tapi yang sebenarnya terlihat dan dinilai masyarakat adalah budi
pekerti kita melalui gerak tubuh menunduk dan menyalami tangan guru kita.
Selain itu konstruk yang ada dalam masyarakat banyak melalui tubuh, yang
artinya bahwa secara umum tubuh itu dinilai oleh masyarakat contoh : kecantikan atas seorang perempuan akan sangat
terkonstruk melalui tubuh mereka, masyarakat sekarang menilai orang yang cantik
adalah orang memiliki tubuh langsing, tinggi, kulit yang putih, rambut yang
hitam dan lurus (semua dinilai dari tubuh dan di konstruk melalui tubuh).
·
Untuk menganalisa lebih mendalam tentang
tubuh yang terkonsruk sosial ada tiga tokoh yang berbicara mengenai ha
tersebut, Judit Butler, Mike Oliver, dan Foucault.
1. Judit
Butler berbicara mengenai bagaimana manusia memaknai tubuhnya, Judit melihat
aspek gender yang terbangun dalam masyarakat, gender adalah kontruksi melupakan
pengalaman individu (kita dapat memahami bahwa sebenarnya konsrtuksi gender
yang ada dalam masyarakat selama ini tidak melihat aspek pengalaman yang
dimiliki oleh individu itu sendiri). Sebagai contoh kita dapat melihat di bali
dalam sebuah keluarga yang diagungkan adalah pihak laki-laki, namun di saat
sang perempuan memiliki pengetahuan lebih dari laki-laki, konrtuksi tentang
keagungan seorang laki-laki tidak berubah dan cenderung tidak memperhatikan
pengalaman sang perempuan yang memiliki aspek nilai lebih tinggi dibanding si
laki-laki dari sisi pengetahuan. Judit juga melihat sisi performa yang dapaat
difahami bahwa selama ini masyarakat melihat performa seorang individu coontoh
: laki-laki selalu di anggap berani dan gagah, sedangkan perempuan selalu di
anggap lemah dan lembut karena performa yang mereka. Namun aspek performa ini
kemudian dapat melampaui konstruksi masyarakat, yang dapat kita lihat bahwa
permpuan sekarang banyak yang memiliki performa yang tangguh. Dan aspek
terakhir yang dilihat oleh Judit adalah individu itu juga dapat mengkonstruksi
gender, yang dapat difahami bahwa gender dalam sebuah masyarakat terdapat
dominasi makna, yang hal itu berhubungan dengan dominasi yang dimiliki oleh
setiap individu atau kelompok tertentu contoh : bagaimana orang berfaham
feminis ingin merubah konstruksi sosial atas kedudukan dan peran antara
laki-laki dan perempuan.
2. Mike
Oliver berbicara mengenai bahwa sebenarnya cacat itu tidak ada, yang ada adalah
masyarakatlah yang membuat seseorang cacat. Mike melihat bahwa selama ini tubuh
yang berbeda itu menjadi object, artinya masyarakat selama ini selalu
menjadikan object penilaian mereka terhadap mereka yang dilihat cacat secara
fisik (tuna netra, tuna runggu, tuna daksa, dll). Kemudian unsur lingkungan,
dimana lingkungan menentukan tubuh seseorang (cacat tidaknya seseorang
lingkunganlah yang menentujan hal itu contoh : jika ada seorang tuna netra
dapat melakukan hal-hal layaknya orang yang memiliki penglihatan normal mereka
tetap akan dianggap buta karena lingkungan menentukan buta tidaknya seseorang).
Selama ini sebenarnya lingkunganlah yang justru meng “DIS” kan seseorang, bukan
mereka yang cacat kemudian merasa berbeda dan tidak sempurna tapi lingkungan
merekalah yang membuat mereka difabel yang berbeda dengan yang mereka anggap
normal.
3. Michel
Foucault, tokoh ini lebih melihat pada aspek kekuasaan atas tubuh itu sendiri.
Pertama mengenai regime of truth, yang dapat dipahami bahwa dalam sebuah rezim
terdapat kebenaran-kebenaran yang di bentuk lewat wacana. Kedua mengenai
govrmentality, yang dapat difahami bahwa pemerintah memiliki peran atas apa
yang ada dalam regime of truth. Kita dapat mengambil contoh bahwa difabel itu
tidak dapat belajar bersama dengan orang-orang yang normal, kemudian hadirlah
wacana-wacana tentang pembenaran akan hal itu bawa orang difabel tidak dapat
berdampingan dengan orang normal dalam hal belajar, mereka akan mengalami
kesulitan dan sebagainya, yang kemudian terlegalkan dengan peran pemerintah melalui
adanya legalitas atas sekolah luar biasa untuk mereka yang difabel dan sekolah
itu untuk mereka yang cacat saja karena tidak bisa bersekolah di sekolah biasa.
·
Stigma, jika kita berbicara mengenai
stigma maka yang terbersit pada pikiran kita adalah segala hal yang berbau
negatif lalu tidak adakah hal positif ?. Goffman membahas stigma dan identitas
sosial. Goffman membedakan identitas sosial menjadi dua, yaitu a) virtual
social identity, yang dapat di fahami bahwa asumsi di hubungkan dengan realitas
yang belum terbentuk sepenuhnya dan cenderung menyalahkan contoh : prasangka
akan sesuatu. b) actual social identity, yang dapat di fahami sebagai realitas
sosial yang dapat terbukti. Dari identitas sosial yang dijabarkan, stigma
kemudian muncul dari kesenjangan yang terjadi antara virtual social identity
dan actual social identity. Stigma kemudian diartikan sebagai tanda atau ciri
yang negatif pada siri seseorang, biasanya stigma ini diberikan oleh masyarakat
pada sekelompok orang tertentu. kita dapat mengambil contoh bagaimana
masyarakat memberikan stigma jelek pada kelompok punk. Selain itu ada tiga tipe
stigma yang ada dalam masyarakat:
1. Stigma
cacat fisik
mereka yang tidak
memiliki tubuh normal atau difabel. contoh : tuna netra.
2. Stigma
karakter individu yang buruk
mereka yang memiliki
karakter individu yang di anggap buruk oleh masyarakat contoh : homoseksual,
lesbian, waria, pecandu narkoba dan minuman keras.
3. Stigma
kesukuan atau tribal atau gagasan atau agama yang dapat di transmisikan melalui
generasi berikutnya. contoh : suku madura dengan agama yang fanatik, jadi tiap
bertemu orang madura mulai dari dulu sampai sekarang maka penilaian mereka akan
tetap sama bahwa orang madura selain berwatak keras juga memiliki kefanatikan
terhadap agama.
Nama : Reza Dulisanti
NIM
: 115120101111007
Pertemuan
ke-2 :
Dalam
membahas suatu kesenjangan dan eksklusi sosial, Adam Smith lebih fokus pada
kedaulatan atas diri sendiri atau pada hak individu tersebut. Individu seharusnya bebas mengekspresikan
dirinya selagi tidak keluar dari jalur hukum tanpa harus dibatasi oleh
aturan-aturan lain yang sangat mematikan hak-hak pada diri individu tersebut.
Bentuk
diskriminasi yang sering terjadi dan sangat umum yaitu segala sesuatu terlalu
fokus terhadap hal-hal yang sifatnya selalu diperuntukkan untuk kaum mayoritas,
sehingga hak-hak dari kaum minoritas sering diabaikan. Misalnya saja, Indonesia
merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, sehingga setiap
fasilitas umum selalu menyediakan musholla atau masjid, tapi belum tentu ada
tempat ibadah untuk agama lain. Ada juga
dalam hal sepele pun, disekitar kita bahwa dalam menerima anak kost saja banyak
yang mengkhususkan untuk hanya menerima yang muslim. Selain itu, sejumlah
fasilitas umum serta gedung-gedung perkantoran di Indonesia juga masih belum
semua yang memberikan fasilitas akses kemudahan bagi kaum difabel, dari sini
bisa kita lihat bahwa banyak sesuatu yang dibuat hanya diperuntukkan untuk yang
mayoritas, mereka entah lupa atau melupakan keberadaan yang minoritas, tentu
saja hal ini tetap merupakan suatu bentuk diskriminasi.
Eksklusi
sosial dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Social
exclution active ( eksklusi sosial aktif)
Mereka yang merupakan orang-orang yang
tereksklusi, namun mereka masih ada suatu keterlibatan serta andil di dalam
masyarakat sehingga posisi mereka masih diperhitungkan di lingkungannya.
Contohnya adalah perempuan serta
difable.
2. Social
exclution passive ( Eksklusi sosial pasif)
Mereka yang mungkin belum mampu atau
tidak mampu atau tidak mau mengembangkan diri mereka dalam kaitannya dengan
suatu kegiatan yang terlibat di masyarakat yang mungkin dikarenakan tidak
memiliki kemampuan untuk hal itu, sehingga adanya suatu eksklusi sosial justru membuat
mereka tidak memiliki tawar di mata masyarakat .
Ahmad
Sassein membagi beberapa kategori yang menurutnya masuk dalam kategori eksklusi
sosial, diantaranya adalah orang yang tidak memiliki pengeluaran, orang yang
tidak memiliki kemampuan, orang yang tidak memiliki kebebasan, dari segi
kejahatan, kesehatan, motivasi dan masadepan, gender dan ras, serta orang-orang
yang lemah nilai sosialnya. Dari sini kita bisa melihat betapa banyak orang
yang dikotak-kotakkan berdasarkan beberapa kategori untuk hal yang dianggap
berbeda dari yang pada umumnya mayoritas ada. Eksklusi sosial sendiri menurut
saya sesuatu yang dibuat oleh manusia, tetapi juga mengeksklusi manusia itu
sendiri. Tanpa disadari sesuatu yang “beda” kemudian justru dijadikan sebagai
pembeda sehingga semakin kuat munculnya eksklusi sosial ini.
Pertemuan
ke-3 :
Eksklusi
sosial sangat menyebabkan seorang
individu terhambat dalam melakukan aktivitas sosial yang seharusnya
mereka ingin lakukan . Eksklusi sosial juga berakibat pada individu untuk melakukan
bunuh diri, karena mungkin individu akan merasa dibedakan sehingga akan sulit
baginya untuk menjadi biasa ketika berada di lingkungannya. Beberapa komponen
yang menyebabkan seseorang tereksklusi sosial adalah :
Ø Kemiskinan
atau pendapatan yang rendah
Ø Akses
terhadap pekerjaan
Ø Tidak
memiliki jaringan
Ø Efek
daerah setempat
Ø Lack
of service
Dari
beberapa komponen tersebut kita bisa melihat bahwa keterbatasan modal ekonomi
dan sosial yang dimiliki oleh individu akhirnya menyebabkan mereka mengalami
kesulitan dalam mendapatkan akses serta fasilitas seperti yang lainnya sehingga
mereka menjadi salah satu dari beberapa orang yang tereksklusi.
Diskursus
eksklusi sosial menurut Parson :
1. RED
(reelistribisionis dicourse) : eksklusi sosial yang terjadi akibat kemiskinan
pada individu dan kelompok, sehingga seharusnya ada pemerataan distribusi
pendapatan masyarakat melalui pajak. Kemiskinan dalam hal ini sangat
mempengaruhi individu dalam mendapatkan perlakuan, kemiskinan yang terjadi
akibat keterbatasan ekonomi menjadikan individu tereksklusi hingga akhirnya
harus ada pemerataan pendapatan agar kesenjangan antara orang kaya dengan orang
miskin tidakn terlalu jauh.
2. MUD ( Moral
Underclass discourse) : individu yang melalukan penyimpangan yang terdegradasi,
hal ini disebabkan moral yang dimiliki oleh individu mulai melemah, sehingga
individu akan lebih berpeluang untuk melakukan suatu penyimpangan.
3. SID ( Social
Integration Discourse) : masyarakat tereksklusi masih tetap terkoneksi,
sehingga tidak ada jarak yang terlalu jauh antara masyarakat yang tereksklusi
dan yang dianggap sebagai masyarakat biasa. Untuk menyelesaikan ini harus ada
upaya-upaya untuk mereduksi suatu eksklusi sosial sehingga sesuatu yang
dianggap beda tidak terlalu dijadikan sebagai patokan untuk membeda-bedakan
individu dengan kategori-kategori tertentu
Menurut
Durkheim, selain dengan akibat-akibat yang telah terjadi seperti yang telah
disebutkan di atas, eksklusi sosial juga dapat menjadi suatu ancaman bagi
solidaritas sosial yang ada di dalam masyarakat, karena dengan perbedaan yang
individu miliki menjadikan ia kesulitan untuk masuk di dalam suatu sistem
sehingga dia dikesampingkan. Eksklusi sosial juga mampu menyebabkan adanya
anomi, yaitu suatu keadaan masyarakat ketika benar-benar tidak ada norma, serta
atruran yang mampu mengikat masyarakat sehingga masyarakat akan pecah dan
terjadilah suatu disorganisasi sosial, sehingga semakin rentan terjadi suatu
penyimpangan sosial. Durkheim juga menyatakan bahwa masyarakat sehat adalah
masyarakat yang ditemukan pada kondisi yang sama dan tetap yang serupa serta
diakui oleh masyarakat luas, berarti hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat
yang mungkin dalam berbagai aspek memiliki perbedaan atau termasuk dalam
komponen masyarakat yang tereksklusi merupakan masyarakat yang tidak diakui
oleh masyarakat luas.
Dalam
kaitannya dengan eksklusi sosial, ada juga suatu istilah yaitu Devian. Devian
diartikan sebagai suatu perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang ada di
masyarakat, sehingga devian ini dianggap sebagai individu yang melakukan
perilaku menyimpang, hal ini pastinya juga akan menyebabkan suatu eksklusi
sosial di lingkungan amsyarakat tersebut. intinya, eksklusi sosial akan terus
terjadi ketika adanya sesuatu yang dianggap “beda” atau tidak wajar serta tidak
sesuai dengan apa yang ada di masyarakat secara umum dan hal tersebut
dikotak-kotakkan, sehingga jarak antara masyarakat yang dianggap ‘umum” serta
dianggap “beda” itu akan semakin terlihat.
Nama
: Reza Dulisanti
NIM
: 115120101111007
Respon
paper pertemuan 5-6:
Tubuh Sebagai Analisa (Pertemuan
5)
1.
Menurut Judith Butler
Tubuh
merupakan hal yang sangat penting, Gender merupakan konstruksi melupakan
pengalaman individu, performa, dan individu juga mengkonstruksi gender.
Konstruksi
yang mengarah harus sesuai dengan bentuk tubuh, menyebabkan adanya eksklusi
sosial. Sehingga ketika ada seseorang yang fisiknya laki-laki, dan kemudian dia
menggunakan atribut perempuan, yang terajdi adalah dia akan tereksklusi. Inilah
yang disebut Judith Butler bahwa konstruksi selalu harus sesuai dengan bentuk
tubuh.
2.
Menurut Mike Oliver
a. Tubuh
berbeda menjadi obyek
b. Lingkungan
menentukan tubuh
c. Lingkungan
yang menjadikan “dis”
d. Kapitalisme
dan materialisme
Bentuk
tubuh yang berbeda dianggap aneh dan kemudian akhirnya menjadi pusat perhatian.
Selain itu, lingkungan yang diisi mayoritas oleh orang normal menjadikan
difable adalah orang yang berbeda sehingga sebenarnya adanya difable tersebut
karena lingkungan yang ada mayoritas orang normal. Lingkungan yang diisi oleh
kebanyakan orang normal tersebut kemudian juga menciptakan berbagai akses yang
mungkin hanya diperuntukkan untuk orang normal, sehingga yang membuat orang
difable sulit untuk menggunakan fasilitas yang sama, mungkin jika akses yang
diciptakan juga diperuntukkan untuk orang difable, akan sama halnya orang
difable tersebut dengan orang normal yang mampu melakukan aktivitasnya
sendiri. Akses yang diciptakan untuk kebanyakan
orang normal tersebut pastinya tidak lepas dari para kapitalis yang memang
tujuannya hanya untuk keuntungan, tanpa memikirkan fungsi lain yang
diperuntukkan untuk orang difabel.
3.
Menurut Foucault
Foucault
menjelaskan tentang “Rezim of Truth” dimana manusia diatur dari tubuhnya dan
ditata sesuai dengan tubuhnya oleh legimitasi dokter dan psikologi, sehingga
hal ini mengikuti alur kekuasaan.
Jadi
, bentuk tubuh manusia dikotak-kotakkan berdasarkan apa yang disbeutkan dokter,
dan itu sudah terbentuk sehingga kita sebagai masyarakat biasa hanya
mengikutinya. Misalnya bayi yang normal adalah bayi yang sehat lahir dan
lengkap alat inderanya. Pernyataan seperti itu dari dokter kemudian terkonstruk
di masyarakat hingga sekarang.
Stigma dan Identitas
Sosial oleh Erving Goffman (Pertemuan 6)
1)
Mahzab Strukturalis
·
Masyarakat dianggap sebagai sekumpulan
individu yang memiliki atribut yang “natural” dan juga sebagai rutinitas
hubungan sosial untuk mengantisipasi atribut di luar yang “natural”. Kehadiran
ynag “lain” dari masyarakat pada dasarnya adalah wujud dari kategori dan
atribut yang melekat pada individu yang disebut identitas sosial.
Jadi masyarakat memiliki sebuah atribut
yang natural (bertindak secara normatif), yang kemudian akan bersikap
antisipatif jika ada yang di luar “natural” yang dalam hal ini bisa berupa
orang yang mungkin bertindak menyimpang atau tidak sesuai dengan norma yanga da
di lingkungan tersebut.
2)
Social Identity menurut Goffman :
Virtual dan
actual social identity, virtual
sifatnya masih berbentuk prasangka sedangkan actual sudah berebtnuk realitas
yang dapat terbukti. Adanya perbedaan dari virtual dan actual akan membentuk suatu
stigma diantaranya, sehingga jarak ayng terjadi antara virtual dan actual
tersebut kemudian menciptakan suatu stigma.
Stigma
sendiri merupakan tanda negatif yang diberikan oleh masyarakat pada sekelompok
orang tertentu. dalam prosesnya, akan terjadi sesuatu yang sifatnya
“merendahkan” kepada sekelompok orang tertentu tersebut, hal ini disebut
sebagai stigmatisasi.
Tipe Stigma :
a. Stigma
cacat fisik, dalam hal ini orang –orang yang fisiknya dianggap berbeda dengan
orang normal akan mendapatkan stigma karena dianggap tidak sama dengan suatu
yang dianggap “normal”.
b. Stigma
terhadap karakter yang buruk (alkoholism,homo,dll)
Orang yang memiliki kebiasaan buruk yang dianggap
tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan, juga akan mendapatkan sebuah
setigma. Mereka dianggap menyimpang dari norma yang ada sehingga mereka
dianggap buruk dan pantas untuk mendapatkan stigma dari masyarakat.
c. Stigma terhadap kesukuan
/tribal/gagasan/agama.
Hal ini dianggap buruk oleh masyarakat
karena hal ini merupakan hal yang dianggap bisa dilanjutkan oleh generasi
berikutnya, sehingga ketika mereka dianggap berbeda dari lingkungannya, masyarakat menghawatirkan hal
tersebut akan bisa berlangsung terus menerus karena bisa dilanjutkan oleh
generasi-generasinya.
Stigma bisa tercipta dari
seseorang/masyarakat kepada sekelompok orang yang memiliki ciri yang dianggap
berbeda dari mereka, misalnya cacat fisik, karakter yang buruk,agama, dan
lainnya. Sebenarnya stigma itu sendiri kalau menurut saya merupakan hal yang
tidak ada gunanya karena apa yang kita fikirkan belum tentu sama dengan
kebenaran (antara virtual dan actual). Namun hal ini sudah menjadi hal yang
pasti terjadi ketika memang ada sekelompok orang yang dianggap berbeda dari
yang umumnya ada.
Teori
Stigma (Goffman)
·
Stigma adalah relasi bahasa
·
Stigma adalah processor untuk
mengkonfirmasi ketidakbiasaan orang lain. Di sini kita bisa melihat bahwa
stigma hanya akan menjadi sebuah pompa untuk mendorong kita semakin
mendeskritkan orang yang kita anggap berbeda dari kita.
·
Stigma memunculkan inferioritas . untuk
orang yang berbeda dan kemudian dia mendapat stigma dari orang lain, hal itu
kemudian akan membuatnya merasa rendah diri akibat adanya stigma tersebut.
·
Stigma menyalahkan atribut yang melekat
pada pada individu atas ketidaksempurnaan. Pada dasarnya manusia diciptakan
berbeda-beda,ketika ada yang tidak sesuai dengan yang umumnya, sehingga yang
terjadi justru setigma.
·
Stigma memunculkan diskriminasi. Adanya
stigma terhadap individu yang dianggap beda kemudian memunculkan perlakuan yang
ebrbeda juga kepada individu tersebut, hal ini bisa dikatakan sebagai bentuk
diskriminasi
·
Stigma mengecilkan kesempatan orang
lain. Adanya stigma dari masyarakat terhadap individu yang berbeda, itu berarti
kita telah mengurangi kesempatannya untuk menjadi orang yang keluar dari stigma
yang telah terbentuk.
Teori
labelling
Tindakan manusia
dilakukan oleh bagaimana orang lain mendefinisikan. Jadi pada dasarnya apa yang dilakukan oleh
seseorang merupakan suatu konstruk yang terbentuk akibat labelling dari orang
lain. Misalnya saja ketika anak kecil oleh orang tuanya disebut sebagai anak
nakal, justru selanjutnya anak tersebut akan memerankan apa yang telah
disebutkan padanya bahwa dia nakal, sehingga sebenarnya kejahatan banyak
terjadi karena bentuk labelling yang dibuat oleh lingkungannya terhadap
seseorang tersebut sehingga orang tersebut melakukan apa yang di “cap” kan
untuk dia.
Nama :Reza Dulisanti
NIM :115120101111007
Analisis
film “Bermula dari A”
Film
pendek yang berjudul “Bermula dari A” menggambarkan sebuah hubungan antara pria
dan wanita yang saling melengkapi di dalam kekurangan mereka masing-masing. Si
wanita yang tunanetra serta si laki-laki yang tuna rungu mencoba menunjukkan
betapa mampunya mereka untuk saling melengkapi di dalam keterbatasan yang
mereka miliki.
Dalam
analisisnya mengenai tubuh, Judith Butler membagi perspektifnya dalam tiga bagian,
yang pertama bahwa gender merupakan konstruksi untuk melupakan pengalaman
individu, dalam film yang berjudul “Bermula dari A” ini menunjukkan betapa
kehidupan di lingkungan di dalam setting film tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat telah mengkonstruksi dari segi agama maupun sosial, bahwa laki-laki
adalah imam bagi perempuan di dalam suatu hubungan keluarga, sehingga ibu dari
peran wanita yang di film tersebut merasa kurang setuju ketika anak
perempuannya mengimami teman laki-lakinya ketika melakukan shalat. Padahal hal
ini dilakukan karena keterbatasan si laki-laki yang belum mampu mengucapkan
kata “akbar” sehingga tidak mampu menjadi imam pada saat itu.
Kedua,
Butler menganalisis mengenai performa,performa dapat diartikan sebagai aksi,
atau sesuatu yang dilakukan. Gender
merupakan sesuatu yang terbentuk melalui performa itu sendiri. Jadi sebuah
konstruksi yang menganggap bahwa laki-laki harus menjadi imam bagi
perempuannya, dapat terlihat bahwa dalam segi agama , ketika melakukan shalat
laki-laki harus menjadi imam dari si perempuan. Hasil dari konstruksi yang
telah dibangun ini bahwa pria memiliki keharusan untuk mengimami perempuan,dan
akan menjadi “aneh” ketika seorang perempuan dalam hal beribadah ini menjadi
imam atas pria tersebut.
Ketiga,
individu itu sendiri yang mengkonstruksi gender. Di film ini dapat kita lihat
bahwa perempuan tersebut berusaha mengajarkan teman laki-lakinya untuk
mengucapkan kata “akbar” agar nantinya pria tersebut mampu mengimami perempuan
tersebut ketika beribadah. Adanya konstruksi yang mengharuskan bahwa sesuatu
yang dilakukan harus sesuai dengan keadaan biologisnya (misalnya jika pria,
harus menjadi imam) menyebabkan adanya eksklusi sosial ketika konstruksi
tersebut tidak berjalan sesuai dengan apa yang telah terkonstruksi. Sehingga,
sebenarnya eksklusi sosial atau diskriminasi akan terus terjadi selama terjadi
sesuatu yang berlawanan dengan konstruksi yang ada. Dan konstruksi yang telah
ada akan bisa berubah ketika muncul konstruksi sosial baru di masyarakat itu
sendiri.
Nama : Saifan Rafdi Akbar
NIM : 115120102111003
Karl Marx
Deviance atau yang biasa disebut
dengan perilaku menyimapang ialah suatu perbuatan yang tidak sesuai dari norma
– norma yang berlaku di dalam masyrakat. Namun berbeda dengan Karl Marx ketika
melihat seorang yang deviance di pengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun faktor
tersebut erat kaitannya dengan para kaum kapitalis dimana seorang deviace
dianggap tidak bisa membantu para kaum kapitalis untuk memproduksi suatu
barang. Sebagai contoh seseorang penjahat berperilaku criminal dalam suatu
masyarakat maka dia tidak bisa membantu proses produksi yang ingin di ciptakan
oleh kaum kapitalis.
Peranan hukum di Indonesia ini juga
sangat mencerminkan beberapa kepentingan kelas yang berkuasa, dan bahwasannya sistem
peradilan pidana mencerminkan nilai dan kepentingan mereka. Oleh sebab itu
orang yang dianggap melakukan tindak pidana dan yang terkena hukuman biasanya
lebih banyak terdapat dikalangan orang miskin. Hal ini membuktikan marx
berpandangan bahwasannya kejahat dan perilaku menimpang hanya dilakukan kaum
plorelatariat sedangkan kaum borjouis dianggap tidak berperilaku deviance.
Sedangkan para kaum borjuis yang melakukan tidakan korupsi dianggap wajar. Hal
ini membuat sebagaian masyarakat menjadi adanya kesenjangan dan tereklusi
antara kaum borjouis dan kaum ploletar.
Emile
Durkheim
Berbeda dengan karl marx bahwasannya
Durkheim melihat deviance terjadi dikarenakan adanya crime atau kejahatan dan
juga patologi sosial. Jadi, jika seseorang melakukan sesuatu tindakan kehatan
maka ia diang telah berperilaku menyimpang. Sebagai contoh sesorang melakukan
tindakan pemerkosaan maka ia sebenarnya telah melakukan tindakan berperilaku
menyimpang. Maka dari itu Durkheim melihat perilaku menyimpang ini dari
individu saja. Berbeda hal nya dengan karl marx yang melihat perilaku
menyimpang dari masyarakatnya.
Patologi sosial juga terbentuk
dikarenakan terdapat kriteria masyarakat yang sehat. Konsepsi kata – kata
normal juga sudah di ciptakan di dalam masyarakat maka jika seseorang
berperilaku tidak normal yang sudah diciptakan masyrakat tersebut dianggap
telah berperilaku menyimpang. Lalu Durkheim ,mgartikan crime terjadi di dalam
masyrakat dianggap sesuatu hal yang wajar terjadi di dalam masyarakat.
Nama : Saifan Rfadi Akbar
NIM : 115120102111003
Stigma Erving Goffman
Stigma ialah sebuah pandangan yang dibuat suatu
individu untuk melihat seseorang dalam suatu keadaan yang rendah. Biasanya
stigma ini menghasilkan sebuah pandangan yang negatif dan terjadi pada suatu
kelompok tertentu. Hal ini terjadi dikarenakan oleh lingkungan sekitar yang
membangun bahwasanya seorang yang mempunyai kaki satu dianggap tidak normal
sedangkan seseorang yang mempunyai kaki
dua dianggap normal. Maka goofman membagi kategori stigma menjadi tiga kategori
yaitu, pertama, stigma yang berkaitan kecacatan
tubuh seseorang atau cacat fisik. Kedua, stigma yang berkaitan dengan
karakter individu yang buruk misalnya homoseksual. Ketiga, stigma yang
berkaitan dengan ras, bangsa, dan agama.
Pada akhirnya seseorang yang terkena stigma dari
masyrakat akan mengalami suatu tindakan yang diskriminasi dari lingkungan
sekitarnya. Dimana keberlangusan hidup seorang terstigma tidak dianggap
keberadaanya. Sebagai contoh seorang odha yang terkena HIV/AIDS akan mengalami
stigma dalam masyrakat. karena bahwasannya masyrakat mempunyai pandangan
seorang terkena HIV ditularkan melalui hubungan seks. Padahalan penularan virus
tidak hanya dalam berhubungan seks. Penyakit tersebut bisa saja menular melalui jarum suntik yang tertular di dalamnya. Hal
inilah yang menyebabkan seseorang menjadi terdiskriminasikan keberadaanya
karena kekurangan pengetahuan. Maka pada akhirnya hal ini lah yang membuat
seseorang menjadi terdiskriminasikan. Stigma juga tidak bisa dihilangkan dalam
waktu yang singkat dan cepat. Harus dibutuhkannya proses legalisasi untuk
menghapus proses diskriminasi tersebut.
Labeling
Teori ini muncul dikarenakan adanya stigma
yang muncul dalam masyrakat dan juga adanya perilaku menyimpang dalam masyrakat.
Ditutupnya peran dalam masyarakat juga sangat berpengaruh bagi seseorang yang mendapatkan pemberian
stigma dan label, menyebabkan seseorang akan melakukan penyimpangan, khususnya
dalam mempertahankan diri dari pemberian label. Pada awalnya muncul teori
Labeling ini digunkan para kriminolog untuk mengungkap sebuah kejahatan dan
pelaku kejahatan. Konsep teori labeling ini
juga menyebabkan seseorang menjadi kriminal. Pada akhirnya dengan adanya
teori labeling ini seorang yang sudah melakukan tindak criminal akan menjadi
rendah diri dengan adanya dampak pelabelan tersebut itu. Dimana dampak
pelabelan ini juga sangat mempengaruhi struktur tatanan yang ada di masyarakat.
Sebagai contoh seseorang yang sudah melakukan tindak kriminal tidak akan
mendapatkan surat keterangan baik dri kepolisian sehingga ini jelas memberi
dampak yang konkret melalui proses pelabelan tersebut.
Judith butler & mike oliver
Judith butler mempunyai perspektif bahwasannya
seorang difabel dianggap biasa keberadaanya di dalam masyrakat. Maka dari itu
beberapa dari kita seharusnya tidak berpandangan negative dengan adanya seorang
yang difabel itu. Dalam kenyataan masih banyak seorang yang difabel masih
mengalami ekslusi sosial di dalam masyarakat. Hal ini terbukti pada saat difabel
di tengah – tengah masyrakat malah di sebut orang tidak normal atau bisa di
sebut juga dengan kata “cacat” sedangkan menurut oliver faktor lingkungan juga sangat pengaruh dalam masrakat. Dimana
lingkungan seolah- olah hanya diciptakan untuk seorang yang normal. Sedangkan
seorang difabel tidak mendapatkan akses yang sama dalam masyarakat.
Nama : Saifan Rafdi Akbar
NIM : 115120102111003
Kesempatan menulis kali ini saya
akan merespon film yang di putar pada saat perkuliahan minggu kemarin. Dari
sini saya akan mebahas film itu dari perpektif seorang tokoh yaitu Judith
butler. Dimana bila kita kaitkan dengan teori dari beliau bahwasannya seorang
difabel dianggap biasa keberadaanya di dalam masyrakat. Maka dari itu beberapa
dari kita seharusnya tidak berpandangan negative dengan adanya seorang yang
difabel itu. Dalam kenyataan masih banyak seorang yang difabel masih mengalami
ekslusi sosial di dalam masyarakat. Hal ini terbukti pada saat difabel di
tengah – tengah masyrakat malah di sebut orang tidak normal atau bisa di sebut
juga dengan kata “cacat”
Melihat fenomena yang seperti ini
maka seorang yang difabel seharusnya mengikuti
makna tubuh itu sendiri daripada harus mengikuti makna yang di
konstruksikan di dalam masyrakat itu sendiri. Dalam film tersebut juga
menjelaskan menganai peran gender yang sangat jelas. Dimana seorang laki – laki
harus menjadi seorang imam di dalam keluarga maka dari itu lelaki tersebut rela
belajar mengucapkan kata “akbar” untuk bisa menjadi seorang imam di dalam
keluarga.
Faktor lingkungan menurut mike
oliver juga sangat pengaruh dalam masrakat. Dimana lingkungan seolah- olah
hanya diciptakan untuk seorang yang normal. Sedangkan seorang difabel tidak
mendapatkan akses yang sama dalam masyarakat.
Nama : Arinal Haq
NIM : 115120107111011
MATKUL : Kesenjangan dan Eksklusi Sosial
RESUME
PERTEMUAN I-III
Pertemuan
I
Menurut Amartya Sen (2000) ekslusi sosial terdiri dari
dua yakni aktif dan pasif (Sen, 2000:15). Ekslusi pasif bisa didefinisikan
sebagai proses eksklusi yang ketika seseorang tidak bisa menghidarinya.
Sedangkan eksklusi aktif merupakan proses peminggiran yang berada di
tengah-tengah masyarakat. Lebih lanjut Yasen membagi eksklusi sosial aktif
dibagi menjadi 8, yaitu:
a. Lost
Of Current Output: bisa saya artikan disini ialah individu yang tidak
produktif. Produktif yang dimaksud ialah dalam bentuk materi.
b. Lost
Of Skill: yakni individu yang tidak mempunyai ketrampilan. Artinya ketika ia
tidak mempunyai ketrampilan tertentu, otomatis ia merasa tidak berguna di
masyarakat.
c. Lost
Of freedom: yakni tidak adanya kebebasan dan mengalami tekanan dalam suatu
golongan di tengah-tengah masyarakat, yang dalam ini golongan tersebut
merupakan golongan minoritas. Masyarakat sekitar tidak mampu menerimanya karena
dianggap berbeda dengan yang lain. Bisa saya contoh kan disini yaitu Ahmadiyah.
Salah satu aliran agama islam di Indonesia ini merupakan golongan minoritas.
Aliran ini sangat ditentang oleh masyarakat luas. mungkin kita sudah mengetahui
di berbagai media bahwa ketika masyarakat mengetahui ada individu yang menganut
ahmadiyah maka akan diusir secara paksa dan bahkan diperlakukan lebih dari itu
seperti rumahnya dibakar dll.
d. Psychological
harm & mistery: yakni ekslusi yang disebabkan oleh individu yang mengalam
tekanan psikologis akibat masyarakat disekitarnya tidak menerima keberadaannya.
Contohnya yaitu waria. Waria tidak diterima dimasyarakat bahkan masyarakat
sering merendahkan derajat waria, masyarakat menganggap bahwa waria harus
dijauhi, karena telah menentang kodrat
yang sudah diberi oleh tuhan.
e. Health
& Mental: yakni eksklusi yang dialami individu akibat stereotype(pelabelan negative) dari masyarakat. Contoh: individu
yang mengidap HIV. Banyak orang yang menganggap bahwa individu yang mengidap
HIV harus dihindari karena dapat menular, padahal tidak demikian.
f. Motivation
Lost & Future Works: ekslusi yang disebabkan akibat dari adanya perang.
Dari perang tersebut individu mengalami kecacatan fisik yang dapat meyebabkan
individu tersebut tidak bisa bekerja seperti individu pada umumnya.
g. Gender
dan Rasial: yakni eksklusi yang disebabkan ketika pada suatu wilayah
mementingkan golongan ras tertentu dan gender.
h. Weakening
of Social Value: yakni eksklusi yang disebabkan karena melemahnya nilai-nilai
sosial yang ada di masyarakat.
Pertemuan II
Ø Durkheim
meilhat bahwa deviance (perilaku menyimpang) yang dilakukan oleh individu
karena diakibatkan oleh pengaruh hilangnya nilai-nilai sosial pada masyarakat. Sehingga
hasil dari hilang dan runtuhnya nilai-nilai dari masyarakat mengakibatkan
individu dalam kondisi yang disebut anomie. Perilaku anomie sampai yang paling
ekstrim yakni bunuh diri.
Ø Erat
kaitannya dengan hilang dan lunturnnya nilai-nilai/ norma-norma yang ada di
masyarakat bagi Durkheim dapat menimbulkan apa yang disebutnya yakni patologi
sosial. Patologis merupakan keadaan pada
masyarakat yang berprilaku menyimpang
dari keadaan yang pada umumnya. Artinya disini masyarakat berprilaku tidak
wajar seperti yang ada disekitarnya, bisa dikatakan masyarakat patologis
merupakan masyarakat yang tidak sehat/ sakit. Contoh: pernikahan sesama jenis.
Pertemuan III
Ø Sama
dengan Durkheim, Marx menganalisis deviance dalam tataran struktur, bukan dalam
tataran individu. Artinya ketika Deviance (perilaku menyimpang) yang dilihat
dari keseluruhan masyarakat.
Ø Marx
menilai bahwa deviance ketika bahwa suatu kelompok masyarakat yang menentang/
tidak masuk dalam bagian struktur kapitalis. Artinya disini ketika sekelompok
dalam masyarakat tidak ikut menopang kapitalis dikatakan sebagai perilaku yang
menyimpang. Karena bagi kalangan Marxis
Ø Relative
Surplus Population
Populasi dilihat oleh marx dari 2 sisi, yakni: yakni
berguna dalam arti ikut masuk dalam arus kapitalis yang artinya produktif dan
populasi yang mengancam akumulasi modal.
Ø 2
jenis Deviance menurut Marx
a. Social
Junk: didiskreditkan/dipinggirkan karena kegagalan dalam melakukan peran
masyarakat kapitalis
b. Social
Dynamite: kelompok ini lebih bergejolak dibandingkan social junk, golongan ini
biasanya adalah mereka yang lebih muda. Keberadaan dari social dynamite ini
perlu dikontrol melalui legal system.
Referensi :
Ø Sen,
Amartya. 2000, Social Exclusion: Concept, Aplication and Scrutiny. Di unduh
melalui situs http://housingforall.org/Social_exclusion.pdf.
Ø Catatan
kuliah kesenjangan dan eksklusi sosial tahun 2014.
Nama : Arinal Haq
NIM : 115120107111011
Analisis
Film Bermula Dari A
Sebagaian besar orang pada umumnya menganggap bahwa
difabel, seperti tuna ntera, dan tuna rungu dianggap sebagai individu yang tidak
“berguna”, karena tidak memiliki fisik yang sempurna. Kondisi tersebut
tergambar dalam film “Bermula Dari A”. Dalam film tersebut diceritakan orang
tua perempuan menganggap bahwa teman laki-laki dekatnya yang menyandang tuna
rungu dan tuna wicara dianggap tidak pantas dan tidak bisa menjadi pemimpin bagi anaknya kelak.
Menurut Mike Oliver, cacat yang dilekatkan pada diri
manusia sebenarnya tidak ada. Karna menurut Mike Oliver kata cacat yang dilekatkan
pada diri manusia merupakan konstruksi sosial dari orang-orang yang “normal”. Konstruksi
tersebut terbentuk karena orang yang “normal” lebih banyak daripada orang yang
difabel.
Dari perspektif Mike Oliver diatas dapat dimengerti
bahwa anggapan yang menyebutkan bahwa difabel merupakan orang yang cacat dan
tidak berguna adalah anggapan yang keliru. Sedangkan difabel sebenarnya bisa
melakukan aktivitas seperti orang “normal” pada umumnya. Hanya saja memerlukan kebutuhan
khusus serta perlu dukungan dari lingkungan disekitarnya berupa sarana untuk
bisa beraktivitas seperti pada orang “normal” pada umumnya. Dan cara dalam
beraktivitasnya yang berbeda dari mayoritas orang pada umumnya.
Nama : Arinal Haq
NIM : 115120107111011
Review
Pertemuan IV-V
Judith
Butler
Judith
Butler adalah seorang filsuf yang melengkapi pandangan kaum Feminisme yang
beranggapan bahwa gender merupakan bentukan sosial dan seks adalah kodrat.
Menurut Butler gender dan seksualitas merupakan sebuah hasil pertunjukan, artinya gender tidak hanya konstruksi sosial,
melainkan juga berdasarkan pengalaman yang membentuk. Untuk memahami pemikiran
dari Judith Butler kita harus memahami konsepnya yakni performativitas. Menurut
Alimi (2011) Performativitas adalah apa yang sebenarnya kita lakukan atau
katakan bersifat konstitutif (Alimi, 2011:5).
Yang saya pahami dari
pengertian tersebut adalah individu juga dapat mengonstruksi gender. Ketika
saya laki-laki namun lebih menyukai untuk memakai rok maka saya bisa dikatakan
mengonstruksi gender. Oleh karena itu, menurut Butler gender bukanlah
seseorang, tapi adalah sesuatu yang diilakukan orang (Alimi, 2011:6). Namun
makna-makna yang dikonstruksikan oleh individu tidaklah bebas sepenuhnya
melainkan makna-makna atas gender direnggut oleh konstruksi sosial. Seperti:
bahwa yang berkumis dan memiliki jakun harusnya laki-laki, perempuan harus
mempunyai buah dada dll. Jadi seseorang dianggap menyimpang ketika dalam perilakunya
tidak menunjukkan seperti
sebagaimana yang telah orang tunjukkan.
Mike Oliver
Menurut
Mike Oliver, kelompok tubuh yang berbeda dari mayoritas orang pada umumnya
menjadi “objek”, karna akan menjadi pusat perhatian bagi orang yang berada
disekitarnya, sebab mempunyai fisik yang berbeda. Definisi “cacat” yang
dilekatkan pada diri manusia menurut mike oliver sebenarnya tidak ada. Karna “cacat”
yang dilekatkan pada diri manusia tidak lain merupakan konstruksi dari
orang-orang yang “normal”. Contoh yang dapat menggambarkan dari pemikiran
Oliver yakni difabel. Terdapat anggapan yang melekat pada difabel, bahwa
difabel individu yang tidak berguna, karena keterbatasan fisiknya maka tidak
dapat melakukan aktivitas yang biasa dilakukan oleh orang pada umumnya
(normal). Anggapan semacam itu merupakan sebuah konstruksi dari masyarakat yang
memiliki fisik yang sempurna (normal).
Juga menurut Mike Oliver, cacat yang
dilekatkan pada individu “ada” jika lingkungan sekitarnya tidak mendukungnya.
Dan sebaliknya ketika lingkungan sekitarnya mendukung, maka dia tidak cacat.
Dari penjelasan Oliver diatas dapat dimengerti bahwa difabel sebenarnya tidak
cacat, hanya saja memerlukan kebutuhan tersendiri dan berbeda dari individu
pada umumnya dalam melakukan aktivitasnya. Sehingga bisa diartikan bahwa fasilitas/teknologi
yang mendukung bagi para difabel lah yang membuat difabel tidak cacat. Seperti: individu pada umumnya yang
membutuhkan lampu untuk membaca, bagi
difabel yang tuna netra, mereka tetap masih bisa membaca namun memerlukan huruf
braile untuk dapat membaca. Hal itu menunjukkan bahwa difabel juga bisa
melakukan aktivitas seperti individu pada umumnya.
Michel Foucault
Inti dari pemikiran Foucault yakni
bahwa pengetahuan
tidak bersifat top down, bahwa
pengetahuan bagi Foucault tersebar
dimana-mana/ berada ditengah-tengah masyarakat.
Jika pemikiran dari Foucalut dikaitkan denga proses
eksklusi, yakni bahwa dalam suatu masyarakat terdapat pengetahuan/ wacana dominan yang
beredar. Sehingga wacana dominan tersebut dianggap sebagai sebuah kebenaran
bagi masyarakat tersebut (Regime of truth).
Pengetahuan atau wacana tersebut seperti hanya di taken for granted oleh masyarakat tanpa mempertanyakannya. Oleh karena itu, tidak jarang
wacana/pengetahuan yang berada di tengah-tengah masyarakat seringkali dapat
menyebabkan diskriminasi dan eksklusi bagi individu/ kelompok tertentu. Misalnya: bahwa pengetahuan yang ada di tengah-tengah
masyarakat seringkali menganggap bahwa individu yang mengidap penyakit HIV
harus dijauhi tidak boleh untuk melakukan interaksi, karena dapat menular.
Padahal kenyataannya anggapan tersebut sangatlah keliru.
Stigma
& Identitias Sosial Erving Goffman
Menurut Erving Goffman identitas
Sosial ada 2, yaitu:
1. Virtual
Social Identity
Adalah asumsi yang menghubungkan dengan realitas namun belum
terbukti kebenarannya.
2.
Actual
Social Identity
Asumsi tersebut dapat
dibuktikan kebenarannya secara medis.
Konsep stigma Goffman muncul
berasal dari adanya gap/jarak antara asumsi awal dengan realitas sesungguhnya (kesenjangan
antara virtual social identity dengan actual social identity).
Tipe-tipe
stigma yang rentan terjadi di masyarakat:
1.
Stigma
cacat fisik, individu yang tidak memiliki tubuh yang sempurna; difabel.
2.
Stigma
karakter individu yang buruk; peminum, pengangguran, preman.
3.
Stigma
kesukuan/gagasan/agama; syiah yang mendapat perlakuan diskriminasi di sampang.
Jadi stigma merupakan
tanda/prasangka negatif yang dilekatkan pada diri seseorang, yang label
tersebut diberikan masyrakat pada sekelompok orang tertentu. Stigma selalu
dilekatkan dengan adanya alasan pendukung (stereotype) sehingga memunculkan
perbedaan perlakuan/diskriminasi oleh masyarakat.
Individu yang menerima
stigma akan merasa tidak nyaman terhadap prasangka yang dibuat oleh masyarakat.
Oleh karena itu akan menjadikan individu berprilaku se-“normal” mungkin untuk
menghindari agar stigma tersebut tidak melekat pada dirinya. Misalnya: ketika
individu mengidap penyakit HIV akan berusaha menutup-nutupi penyakit tersebut
dan berprilaku seperti individu pada umumnya, yang bertujuan agar tidak
mendapatkan perlakuan diskriminasi oleh masyarakat disekitarnya.
Referensi:
Ø
Alimi,
Moh Yasir. (2011). Judith Butler: Gender/seks ssebagai “pertunjukkan” dan
Tawa Medusa. Komunitas
Salihara. Diakses melalui salihara.org/media/documents/2011/04/13/p/e/pemikiran_butler_moh_yasir_alimi.pdf
pada jam 15.00, 31 maret 2014.
Ø
Catatan
kuliah kesenjangan dan eksklusi sosial T.A 2014.
Ligar Abdillah
115120113111005
Respone Paper I
Kesenjangan Sosial
Pada peretemuan tiga minggu
terakhir, secara umum telah melakukan pembahasan menegenai definisi dari
kesenjangan sosial. Dalam pertemuan tersebut disebutkan bahwa kesenjangan hanya
memprioritaskan kaum mayoritas dan secara langsung maupun tidak langsung
seakan-akan meminggirkan kaum minoritas. Dengan demikian dapat kita telusuri
bahwa kemunculan kesenjangan sosial seiring dengan perkembangan modernitas,
yang selama ini sangat mengedepankan aspek positivsme. Di dalam kompleksitas
kehidupan masyarakat modern, pada dasarnya telah tercipta standar kenormalan
yang harus diikuti oleh semua orang. Tanpa kita sadari dari sinilah mulai
muncul kesenjangan sosial akibat kaum-kaum tertentu tidak dapat mengikuti
standar kenormalan yang telah diciptakan. Jadi semakin sulit kaum-kaum yang
tidak mampu mengikuti standar, maka semakin jauh pula mereka disingkirkan oleh
kehidupan modern.
Adapun pernyataan tokoh yang
dihadirkan dalam perkuliahan beberapa waktu lalu, seperti Pierson yang
mengatakan bahwa kesenjangan sosisal merupakan sebuah proses menghalangi atau
menghambat seseorang maupun kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang
dibutuhkan untuk kelangsungan dalam kegiatan sosial, ekonomi, budaya, politik
dan lain sebgainya. Berdasarkan pemikiran Pierson, dengan adanya kesenjangan
sosial tersebut seakan-akan memutuskan seseorang maupun kelompok yang
tereksklusi dari layanan dan jaringan sosial. Secara garis besar terdapat
komponen dari eksklusi sosial antara lain kemiskinan/pendapatan yang rendah,
akses terhadap pekerjaan, tidak punya dukungan dan jaringan sosial. Salah satu
contoh dari poin di atas adalah seseorang yang tidak dapat mengakses SKCK
sehingga sangat sulit untuk memperoleh pekerjaan di sektor pemerintah.
Emile Durkheim juga berkontribusi
dalam menelaah kesenjangan sosial pada masyarakat modern dengan merevleksikan
terhadap nilai dan norma. Seperti yang kita ketahui Durkheim merupakan
seseorang yang sangat morlis, sehingga menurutnya masyarakat yang normal adalah
masyarakat sehat yang sesuai dengan masyarakat pada umumnya. Sedangkan
masyarakat yang mnyimpang merupakan masyarakat yang melakukan penyimpangan dari
kewajaran pada umumnya.
Durkheim juga menyinggung
permaslahan devian yang selama kita kenal dengan perilaku menyimpang dari nilai
dan norma yang berlaku. Kondisi yang demikikan dapat mengindikasikan sebuah
penyakit sosial atau pathologi. Sesorang atau kelompok dapat dikatakan sebagai
penyakit sosial jika terdapat kriteria universal masyarakat sehat dan terdapat
konsep normal yang telah ditetapkan. Salah satu contoh yang dapat kita ambil
adalah sebuah larangan untuk mencuri yang telah ditetapkan oleh negara,
sehingga dengan demikian pencurian merupakan sebuah tindakan kriminal yang dapat
dikategorikan sebagai penyakit sosial. Akan tetapi Durkheim memiliki pandangan
lain terhadap tindakan kriminal atau kejahatan, menurutnya tindakan tersebut
merupakan suatu tindakan yang wajar karena sering kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari.
Sedangkan Karl Marx mendevinisikan sebuah
penyimpangan atau devian adalah seseorang atau kelompok yang tidak memiliki
potensi untuk melakukan akumulasi modal bagi kaum pemilik modal. Seperti yang
kita ketahui, Karl Marx memiliki pemikiran yang didasari oleh aspek materi,
sehingga penentuan devian juga dipengaruhi oleh aspek materi. Jadi dapat
disimpulkan bahwa kaum yang berhak menentukan devian atau bukan adalah kaum
yang memiliki modal.
Adapun konsep dasar yang dibahas
oleh Karl Marx mengenai posisi infrastruktur dengan superstruktur. Berdasarkan
sudut pandang materialisme, infrastruktur dikatakan sebagai hal yang penting
dan mampu mempengaruhi superstruktur. Infrastruktur terdiri dari aspek yang
berbau materi, sedangkan superstruktur merupakan aspek di luar materi seperti
aspek sosial, politik, dan budaya. Karl Marx membagi populasi menjadi dua
golongan yaitu social junk dan social dynamite. Social junk dapat diartikan
sebagai kelompok-kelompok yang dianggap tidak berbahaya dan tidak memiliki
potensi yang mengancam bagi kaum pemilik modal. Populasi ini dapat dikontrol
dengan lembaga seperti rumah sakit jiwa, karena populasi tersebut identik
dengan orang gila. Social dynamite diartikan sebagai kelompok yang berbahaya
dan memiliki potensi ancaman bagi kaum pemilik modal yang mampu malakukan
revolusi, sehingga hanya Negara yang dapat mengendalikannya.
Review Film
Berdasarkan film yang diputar pada
peretemuan lalu, memunculkan sebuah gejala sosial yang patut kita analisis
berdasarkan sudut pandang ekslusi sosial. Seperti yang dikatakan oleh Mike
Oliver bahwa “tubuh berbeda menjadi obyek”, sehingga pada dasarnya tubuh
(fisik) yang ada pada film tersebut seakan-akan telah menjadi obyek (kelainan)
dan terkontruksi pada masyarakat pada umumnya. Padahal seperti yang kita
saksikan bersama, kedua orang tersebut mampu beraktivitas seperti orang lain,
hanya saja menggunakan cara yang berbeda. Nah hal demikianlah yang menurut saya
perlu kita perhatikan, sehingga tidak lagi menganggap bahwa orang yang saya
maksud di atas bukanlah suatu hal yang aneh, karena pada dasarnya mereka juga
mampu beraktivitas seperti manusia pada umumnya. Menurut Mike Oliver,
sebetulnya mereka mampu melakukan apa saja seperti manusia pada umumnya, hanya
saja lingkunganlah yang menjadikan mereka tidak mampu.
Mike Oliver juga menyinggung gagasan
Foucault tentang “Regime of Truth” dan merelevansikan dengan kesanjangan
sosial. Dalam rezim ini muncul standar kenormalan, sehingga apabila tidak mampu
memenuhi standar tersebut dianggap tidak sah. Agama merupakan salah satu aspek
yang mengusung nilai-nilai kebenaran yang sulit untuk diruntuhkan. Salah satu
contoh dalam film tersebut adalah ketika sholat yang jadi imam harus laki-laki,
padahal laki-laki dalam film tersebut adalah orang bisu. Karena berkenaan
dengan nilai agama, mau tidak mau laki-laki dalam film tersebut terus berusaha
agar mampu menjadi imam sholat, alhasil di berhasil. Jadi kondisi yang demikian
membuktikan bahwa mereka mampu untuk malakukan apa saja, bahkan mampu memenuhi
standar kebenaran yang diusung oleh ajaran agama.
Govermentality menurut Mike Oliver
juga merupakan aspek yang sangat berpengaruh dalam proses kesenjangan sosial,
dimana stakeholder atau pemerintah menempatkan masyarakat berdasarkan standar
kenormalan. Hal yang dapat saya contohkan adalah perbedaan antara sekolah
favorit dengan sekolah luar biasa, dimana dalam sekolah favorit hanya boleh
diakses oleh siswa-siswi yang mampu memenuhi standar kenormalan, lalu bagaimana
dengan siswa-siswi seperti dalam fil tersebut?. Tidak menutup kemungkinan
orang-orang dalam film tersebut jauh lebih mampu da ri orang-orang sekolah
favorit.
Ligar Abdillah
115120113111005
Stigma dan Identitas
Sosial
Sebelum merujuk pada pembahasan
mengenai stigma, perlu kita ingat bahwa terdapat beberapa tokoh yang memiliki
kontribusi terhadap kajian kesenjangan sosial. Seperti yang kita bahas dalam pertemuan
dua minggu yang lalu, Judit Butler menyinggung persoalan tentang gender, ia
menganggap bahwa gender merupakan kontruksi melupakan pengalaman individu dan
sangat berkenaan dengan performa. Begitu juga dengan Mike Oliver yang memiliki
pandangan bahwa tubuh berbeda akan menjadi obyek, artinya ketika terdapat
bentuk tubuh individu yang kurang dari sempurna maka akan dianggap sebuah obyek
yang aneh. Lingkungan memiliki peran yang sangat signifikan dalam menentukan
tubuh individu, dengan kata lain lingkunganlah yang menentukan tubuh sesorang
tersebut sempurna atau tidak, disamping itu lingkungan juga yang menentukan dan
mengannggap individu menjadi “dis” atau tidak mampu melakukan hal seperti
masyarakat pada umumnya. Dari gagasan kedua tokoh di atas, dapat disimpulkan
bahwa standar kenormalan dalam kehidupan merupakan ciptaan dari lingkungan,
sehingga memicu proses peminggiran terhadap kaum-kaum yang dianggap tidak mampu
memenuhi standar kenormalan.
Sependek pengetahuan saya, stigma
merupakan pandangan buruk atau negatif yang dimiliki masyarakat terhadap
kaum-kaum tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa stigma bersifat merendahkan
atau membedakan kaum-kaum yang tidak mampu memenuhi standar kenormalan. Hal
diatas sangat berkenaan dengan identitas individu maupun kelompok, karena pada
dasarnya masyarakatlah yang menentukan identitas individu atau kelompok
tertentu. Pemebentukan identitas kaum tertentu tersebut berdasarkan isu-isu
yang beredar di masyarakat yang diterima begitu saja dan pada akhirnya terkontruksi
di benak masyarakat.
Pada pertemuan lalu terdapat
kontribusi gagasan dari Erving Goffman mengenai stigma dan identitas sosial.
Mahzab strukturalis memandang masyarakat sebagai kumpulan individu yang
memiliki atribut “natural”. Masyarakat juga dianggap sebagai rutinitas hubungan
sosial yang mampu mengantisipasi atribut di luar “natural”. Kehadiran suatu hal
“lain/the other” dalam masyarakat merupakan wujud dari kategori dan atribut
yang melekat pada individu yang disebut sebagai identitas sosial. Jika saya boleh berasumsi, atribut natural
yang dimaksud dalam konteks ini merupakan suatu yang normal, dan atribut yang
berada di luar natural merupakan hal yang dianggap tidak normal. Sehingga dapat
saya simpulkan bahwa dengan adanya atribut natural tersebut, maka secara
langsung maupun tidak langsung telah memunculkan proses kesenjangan sosial,
karena pada dasarnya atribut natural merupakan batas kenormalan yang sengaja
diciptakan oleh manusia.
Social identity menurut Goffman
dibagi menjadi dua yaitu, virtual social identity dan actual social identity.
Virtual social identity merupakan sebuah asumsi yang beredar di benak
masyarakat yang sama sekali belum dihubungkan dengan realitas sosia, sehingga
asumsi tersebut masih dpertanyakan kebenaraanya dan hanya sebatas prasangka.
Sedangkan actual social identity merupakan kategori atau atribut yang
realitasnya dapat dibuktikan.
Goffman menganggap stigma sebagai
tanda atau ciri negatif pada seseorang atau kelompok yang diberikan oleh
masyarakat. Menurut Goffman terdapat tiga tipe stigma, stigma cirri fisik,
stigma terhadap karakter individu yang buruk, stigma terhadap kesukuan yang
dapat ditarnsmisikan pada generasi berikutnya.
Goffman juga memiliki teori mengenai
stigma, yaitu stigma dianggap sebagai relasi bahasa. Saya
sangat setuju dengan
anggapan tersebut, karena pandangan buruk masyarakat terhadap kaum-kaum
tertentu terjadi karena perseberan asumsi atau isu melalui interaksi sosial
yang menggunakan bahasa.
Disamping itu menurut Goffman, stigma merupakan processor
untuk mengkonfirmasi ketidakbiasaan
seseorang. Stigma juga dapat memunculkan
inferioritas atau rendah diri akibat stigma. Stigma secara
langsung maupun
tidak telah menyalahkan atribut yang melekat pada sesorang atau kelompok atas
ketidaksempurnaan sehingga memunculkan diskriminasi.
setuju mbak ulfa, tapi berbicara tentang stigma goffman terkadang juga menjadi sangat dilematis ketika berbicara konteks mikro atau individual, karena semua individu memiliki anggapan sendiri-sendiri, salah satunya juga anggapan yang negatif. mungkin saya lebih mempermasalahkan ketika stigma tersebut merdampak kepada adanya diskriminasi atau perbedaan perlakuan terhadap yang diberikan stigma, itu yang perlu dirubah,hehe
BalasHapus