Rabu, 25 Juni 2014

Respon Paper Individu ( Kelompok 5 )

Mohammad ishak (105120107111012) Eksklusi Sosial
Respon Paper 1
Eksklusi sosial adalah proses yang menghalangi atau menghambat individu dan keluarga dari sumber daya yang dibutuhkan dalam kegiatan sosial, ekonomi dan politik.seorang yang terekslusi berarti dia terputus dari layanan, jejaring sosial, dan semua hal yang bisa dirasakan oleh masyarakat banyak. Menurut Amartya sen eksklusi sosial adalah keterkaitan dengan kemiskinan dan deprivasi (kehilangan akses).
Menurut Pierson ada 3 diskursus eksklusi sosial. Pertama RED (redistribution discourse), disini menjelaskan bahwa bagaimana cara negara menangani eksklusi sosial. Kedua, MUD (moral underclass discourse) yaitu individu yang melakukan penyimpangan sikap dan moralitas, ini lebih kepada pengidentifikasian. Yang ketiga SID (social integration discourse),  bagaimana caranya agar masyarakat yang tereksklusi tetap terhubung.
Dalam pandangan durkheim eksklusi sosial sangat mengancam solidaritas sosial. Keadaan ini menurut durkheim akan menimbulkan anomie yang nantinya brakibat disorganisasi ataupun dissociation. Disamping itu keadaan ini juga akan menimbulkan patologis. Patologis adalah perilaku atau tindakan yang tidak normal, penyimpangan dari kewajaran, jarang terjadi, bisa juga disebut sebagai penyakit. Ini berhubungan dengan deviant juga, deviant adalah perilaku menyimpang, perilaku yang tidak sesuai norma. Apa yang dianggap patologi dalam sosiologi adalah tergantung norma.
Dalam kacamata Marx deviant sendiri berarti orang-orang yang tidak menyoong kapitalisme. Deviant marx ini lebih kepada pertentangan kelas seperti yang diketahui bahwa marx memang kajiannya perihal kelas sosial. Jadi marx memposisikan deviant sebagai orang-orang yang tidak berguna bagi kapitalisme lain halnya dengan posisi borjuis sebagai the rulling class. Para borjuis bisa mengatur apapun karena kepemilikan modal mereka.
Populasi deviant terbagi menjadi 2. Yaitu social junk dan social dynamite. Social junk merupakan kelompok-kelompok yang dianggap tidak berbahaya oleh kapitalis. misalnya orang gila yang bukan merupakan ancaman bagi kapitalis. Sedangkan social dynamite adalah kalangan (biasanya) pemuda-pemudi yang mempunyai potensi untuk melakukan perlawananatau sebagainya. Namun, para kapitalis sudah mempunyai cara untuk mengontrol keduanya yakni dengan menggunakan agen-agen terapik bagi social junk. Sedangkan bagi social dynamite akan dikontrol dengan lembaga-lembaga formal.

CONTOH KASUS:
SNMPTN Bukan Untuk Difabel
LBH Jakarta Akan Somasi Mendikbud
Selasa, 11 Maret 2014
Jakarta, HanTer – Sebanyak 62 perguruan tinggi negeri (PTN) melarang para penyandang cacat fisik (difabel) untuk mendaftar sebagai calon mahasiswa baru untuk hampir semua jurusan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Febi Yonesta, menyatakan, segera melayangkan surat somasi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, MRPTNI, dan Panitia Pelaksana SNMPTN 2014.
Pasalnya, tiga lembaga tersebut yang harus bertanggung jawab atas perlakuan diskriminasi yang diterima para difabel. Mereka juga mendesak pemerintah menarik aturan tersebut.
Menurut Febi, bila merujuk pada ratifikasi yang dilakukan Indonesia mengenai Convention on the Right of Persons with Disabilities (CRPD) melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 pada Pasal 24 ayat (1) menyatakan, negara-negara pihak mengakui hak orang-orang difabel atas pendidikan.
Dalam rangka memenuhi hak ini tanpa diskriminasi dan berdasarkan kesempatan yang sama. Negara-negara pihak wajib menjamin sistem pendidikan yang bersifat inklusif pada setiap tingkatan dan pembelajaran jangka panjang.Sehingga, persyaratan SNMPTN itu dinilai menyalahi hukum yang menjadi pegangan dunia internasional.
“Kebijakan itu langkah mundur dan melanggar terhadap begitu banyak prinsip hukum yang telah disepakati, serta melanggar terhadap prinsip hak asasi manusia yang telah dijunjung tinggi dunia,” bebernya.
Namun, saat dikonfirmasi Ketua MRPTNI, Idrus Paturusi, mengaku belum mengetahui permasalahan tersebut. Menurutnya, para difabel dapat mengikuti seleksi masuk PTN pada tahun ini.
“Setahu saya tidak ada peraturan yang melarang difabel untuk ikut,” kata Idrus. (as)
Sumber : http://harianterbit.com/2014/03/11/lbh-jakarta-akan-somasi-mendikbud/                     
Diakses pada tanggal 19/03/2014 10:17.



Analisis
Dari data diatas terlihat jelas bahwa para difabel tereksklusi dari dunia pendidikan. Mereka mengalami deprivasi karena larangan masuk PTN. Jika dilihat dari kacamata durkheim larangan ini merupakan patologis. Hal ini menyimpang dari kewajaran dimana difabelitas diputus layanan pendidikannya padahal seharusnya mereka juga mendapatakan hak yang sama dengan orang yang tidak difabel.
Sedangkan jika dilihat dari kacamata marx aturan ini jelas adalah ulah para kapitalis atau borjuis. Mereka sebagai the rulling class membuat peraturan ini memanfaatkan modal yang mereka mliki. Sedangkan posisi dari para difabel merupakan deviant dengan kekurangan fisik mereka. Borjuis menganggap para difabel adalah orang yang tidak bisa menyokong atau bisa menghambat proses sistem kapitalisme mereka dan akhirnya dibuatlah peraturan ini agar sistem kapitalisme mereka berjalan dengan lancar. Karena lembaga pendidikan merupaka ajang untuk mengasah skill yang antinya akan berguna bagi kapitalis dengan dipekerjakan.

Para difabel bisa juga dianggap sebagai orang yang berbahaya yanga akan mengancam terhadap sistem kapitalisme borjuis. Karena mungkin borjuis menganggap bahwa kekurangan fisik mereka tidak mengurangi kecerdasan otak yang memungkinkan nanti menjadi hal yang berbahaya juga bagi para borjuis. Akhirnya tindakan yang diambil adalah mengeksklusikan difabelitas dengan peraturan larangan seperti di atas melalui lembaga formal.
Respon Paper 2
Memaknai tubuh dan identitas sosial
Tubuh adalah perjumpaan dengan dunia saat pertama kali. Tubuh merupakan yang pertama yang mengenal dunia. Misalnya saat kita lahir yang terjadi adalah nangis dan itu anggota tubuh yang mengalaminya. Selain itu tubuh juga menjadi identitas karena melalui tubuh masyarakat mencirikan diri kita baik secara fisik maupun non fisik. Seperti kulit hitam manis seseorang menjadikannya lebih bisa dikenali karenanya. Hal ini juga berarti tubuh menjadi konstruksi sosial. Tubuh juga merupakan sebuah tanda seperti laki-laki dengan perempuan. Ini alasannya kenapa tubuh menjadi wilayah penting dalam perjumpaannya dengan dunia.
Menurut tokoh penganut feminisme, judit butler, gendeer dan seks itu berbeda. Menurutnya, Gender merupakan konstruksi melupakan pengalaman individu karena gender adalah pengaalaman. Individulah yang sebenarnya mengkonstruksi gender dan gender itu juga yang mempengaruhi performa contohnya waria atau mungkin cowok yang berkelakuan cewek. Maka dari itu judit butler menegaskan bahwa tubuh adalah penentuan identitas. Sampai pada pendapatnya bahwa individu mempunyai makna terhadap tubuhnya sendiri dan individu itu yang memperformakan tubuhnya. Ini yang membedakannya dari tokoh feminisme lainnya. Artinya judit butler disini berpandangan bahwa pengklaiman itu murni dari individu bukan dari masyarakat. Masyarakat yang sering mengklaim seseorang adalah masyarakat yang jahat.
Mike oliver adalah seorang tokoh cebol juga berpendapat bahwa tubuh yangg berbeda menjadi objek. Artinya tubuh yang berbeda selalu menjadi perhatian ini disebabkan oleh lingkungan sekitar. Konstruksi lingkungan sekitar yang menjadikan tubuh yang berbeda menjadi perhatia orang banyak. Karena lingkungan juga menjadikan tubuh menjadi “dis” (tidak mampu). Misalnya seorang yang cacat namun bisa melakukan segalanya layaknya orang “normal”. Kata cacat disini sebenarnya ada karena diciptakan lingkungan yang tidak  sesuai dengan tubuh. Andai saja semua orang di lingkungan cacat dan yang “normal” menjadi minoritas maka keadaan akan berbalik.
Menurut Erving Goffman pandangan negatif ini disebut negatif. Stigma yang direproduksi di kehidupan sosial  ini akan menimbulkan stereotype yang nantinya akan menuju ke diskriminasi. Hal ini berhubungan erat dengan identitas sosial yang menurut Goffman identitas sosial diciptakan dan dibentuk oleh masyarakat. Goffman membagi identitas soial menjadi 2:
1.      Virtual Social Identity, yaitu asumsi yang muncul menghubungkan dengan realitas yang belum terbentuk sepenuhnya karakter cenderung menyalahkan. Atau dengan bahasa lain prasangka.
2.      Actual Social Identity merupakan kategori atau atribut yang realitasnya dapat terbukti.
Keduanya ini ada sebuah gap yang membatasi diantaranya. Stigma sendiri menurut Goffman meupakan yang menjembatani gap tersebut. Gap atau kesenjangan keduanya ini memunculkan pendeskritan (pemojokan) seseorang karena dianggap berbeda dari harapan masyarakat. Bisa mencirikan seseorang secara negatif  yang diberikan oleh masyarakat. Serta stigmatisasi.
Ada 3 tipe stigma yang terjadi di masyarakat.
1.      Stigma cacat fisik
2.      Stigma karakter individu yang buruk.
3.      Stigma kesukuan
 Respon Paper 3
Bermula dari A
Banyak nilai pelajaran yang bisa diambil dari film ini. Dapat dilihat bahwa nilai-nilai toleran dari film ini sangat kentara. Akbar, seorang laki-laki yang bisu belajar berbicara kepada sahabat perempuannya yang buta.
PRAVOTCATERI N.
115120100111026
RESPON PAPER 1
KESENJANGAN DAN EKSKLUSI SOSIAL

            Kesenjangan merupakan suatu kondisi dimana terjadi  perbedaan  yang sangat nampak jelas terlihat. Dalam lingkungan masyarakat kondisi seperti ini sering terjadi, misalnya terjadi kesenjangan di suatu perusahaan, para pekerja memiliki standar kerja dan porsi yang sama, namun dilain sisi muncul perbedaan pendapatan yang mencolok. Hal ini terjadi karena ada satu  pihak yang memiliki relasi dekat dengan atasan, sedangkan pihak yang lain dirugikan dan terpinggirkan, inilah kondisi yang menunjukkan  adanya kesenjangan. Dari contoh diatas dapat disimpulkan bahwa adanya kesenjangan dapat terjadi ketika suatu peminggiran atau ada pihak-pihak yang termarginalkan. Kesenjangan berarti perbedaan yang membuat suatu pembagian hak yang tidak merata. Kesenjangan juga dapat berdampak pada munculnya kecemburuan sosial bahkan dapat memicu konflik, akibat adanya marginalisasi.
            Jika kesenjangan berarti ada perbedaan, berbeda lagi dengan eksklusi sosial. Eksklusi sosial dimaknai sebagai suatu proses yang menghalangi atau menghambat satu pihak baik individu maupun kelompok untuk ikut berpartsipasi dalam kegiatan diberbagai bidang seperti sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Dalam hal ini, individu maupun kelompok dibatasi ruang geraknya dalam menyalurkan keikutsertaanya diberbagai bidang dalam masyarakat. Artinya, peluang untuk mengembangkan diri terputus karena adanya pembatasan itu. Eksklusi dapat  terjadi sebagai konsekuensi dari kemiskinan dan sumber daya ekonomi yang rendah, tidak  memiliki  relasi terhadap akses pekerjaan, tidak ada dukungan dan jaringan sosial, dampak dari lingkungan sekitar dan pemutusan layanan.
            Ada 3 diskursus dari eksklusi sosial yaitu, Redistribution Discourse (RED), Moral Underclass Discourse (MUD) dan Social Integration Discourse (SID). Redistribution Discourse (RED) terjadi karena adanya kemiskinan atau rendahnya sumber daya ekonomi. Dengan kondisi tersebut maka perlu ada solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut, melalui redistribusi pendapatan masyarakat yang diwujudkan dengan pungutan pajak. Sedangkan Underclass Discourse (MUD) berfokus pada individu atau kelompok yang melakukan tindakan penyimpangan baik sikap maupun moralitas. Para pelaku MUD tersebut posisinya sudah terputus dari lembaga sosial utama. Pada Social Integration Discourse (SID) difokuskan pada upaya penanggulangan eksklusi sosial melalui peningkatan integrasi dan kohesi sosialnya dalam pasar kerja, sebagai seorang pekerja yang dibayar.
            Dalam perspektif Durkheim, eksklusi dipandang sebagai suatu gejala yang dapat mengancam solidaritas sosial. Hal ini disebabkan oleh keberadaan kelompok-kelompok di dalam lingkungan masyarakat yang diabaikan dan termasuk dalam sasaran target dari kebijakan Pemerintah. Penyebab lainnya karena keberadaan kelompok-kelompok tersebut dikesampingkan dan memungkinkan terjadinya anomie. Ciri-ciri dari adanya anomie adalah aturan kultural kehilangan daya ikat, terjadi disorganisasi sosial, pemisahan dalam struktur sosial yang kemudian berkembang menjadi pola adaptasi diantara berbagai penyimpangan, selanjutnya tanpa adanya asosiasi, masyarakat tidak akan memiliki konsep yang jelas mengenai apa yang tepat dan tidak dari perilaku yang dapat diterima.
            Dalam konsep Normal dan Patologis, patologis sosial dapat dikatakan sebagai penyakit atau  produk yang gagal. Dikatakan sebagai produk gagal dikarenakan terjadi penyimpangan yang tidak wajar dari apa yang ditemukan dalam suatu masyarakat. Bahkan jika dibandingkan dengan tindakan kejahatan, tindakan kejahatan dikatakan  normal dari pada patologis, sebab adanya kejahatan sering ditemukan dalam masyarakat. Selain itu kejahatan juga menggambarkan adanya nurani kolektif para pelakunya. Bagi Durkheim, dalam patologi sosial terdapat kriteria umum masyarakat yang sehat. Artinya, konsep normal telah ditetapkan oleh masyarakat. Sehingga dapat dianalogikan bahwa, patologi merupakan penyakit, sedangkan kejahatan dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dan dapat dikategorikan dalam patologi. Dalam sosiologi, apa yang dianggap sebagai patologi bergantung pada norma yang ada.
            Dalam perspektif Marxis mengenai tindakan penyimpangan ( deviance ), penyimpangan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai patalogis. Berbeda dengan asumsi yang dinyatakan Durkheim, bahwa kejahatan adalah sesuatu yang normal dan bukan termasuk patologis. Bagi Marx, penyimpangan termasuk dalam patologis karena penyimpangan merupakan pelanggaran yang bertolak dari norma-norma yang ada di dalam masyarakat dan juga tindakan penyimpangan ditolak dalam masyarakat. Penyimpangan dianggap sebagai penyalahgunaan hak-hak karena dapat merugikan orang lain. Tindakan penyimpangan yang merupakan produk dari masyarakat.

Menurut Marx, kejahatan dalam bidang ekonomi sering dilakukan kapitalis dimana mereka berusaha memperjuangkan kepentingan pribadinya dengan cara mengabaikan kepentingan bersama, biasanya sasaran yang dilemahkan  adalah kaum  lapisan bawah yang termarjinal. Proses ini dapat merugikan pihak-pihak lain karena menyalahgunakan hak-hak orang untuk mencapai keuntungan  pribadi. Dalam pandangan Marxis, selalu berkaitan dengan aspek materi dan kapitalis dimana di dalamnya ada perjuangan kelas antara lapisan masyarakat atas dan lapisan bawah. Pada lapisan kelas atas selalu berusaha mencapai kepentingan pribadi dengan mengeksploitasi kelas pekerja, dengan kekuasaan yang dipegang.
PRAVOTCATERI N.
115120100111026
Respon Paper 2

Stigma dan Identitas Sosial
            Dalam kesenjangan dan eksklusi sosial ada beberapa bentuk tindakan seperti deviant, patologis, tindakan kriminal (crime) dan sebagainya. Stigma merupakan salah satu wujud dari kesenjangan dan eksklusi sosial. Stigma dilihat sebagai cara pandang yang negatif terhadap tanda atau ciri-ciri negatif yang diberikan oleh masyarakat. Sehingga ketika ada individu yang berbeda dengan masyarakat, memungkinkan adanya stigma dari masyarakat. Masyarakat memunculkan stigma dikarenakan adanya wacana dominan di masyarakat, misalnya suatu wilayah dihuni oleh kumpulan warga dengan kondisi keluarga yang harmonis, namun ada satu warga dengan keluarga yang broken home dan perceraian orang tua, yang dilihat masyarakat hanya sebagai minoritas, maka inilah yang memunculkan stigma di masyarakat terhadap minoritas tersebut.
            Stigmatisasi merupakan sikap merendah dan mengucilkan individu yang memiliki atribut tertentu sehingga memberikan pandangan buruk pada masyarakat. Atribut yang dimaksudkan adalah kategori yang di dalam masyarakat, artinya sesuatu yang melakat pada seseorang. Stigmatisasi berbeda dengan stigma, stigmatisasi merupakan proses dari stigma yaitu bagaimana sesorang menunjukkan sikap stigma kepada seseorang yang dipandang dengan atribut berbeda, sedangkan stigma adalah cara memandang seseorang tersebut.
            Teori stigma yang diberikan Erving Goffman melihat stigma sebagai proses dinamis yang mendeskridit atau memojokkan individu di mata individu lain. Stigma memiliki pengaruh besar terhadap individu yang dikucilkan. Individu menjadi tidak nyaman dengan prasangka dari orang lain, menjadi cemas dan cenderung antisipastif ketika berinteraksi dengan orang lain, ketika prasangka itu tidak benar mereka berusaha menunjukkan bahwa mereka normal seperti orang-orang pada umumnya. Namun tidak semua orang memberikan stigma terhadap orang lain yg dikucilkan. Terkadang orang-orang ini justru bersimpati, menerima minoritas yang dikucilkan dengan baik.
            Untuk membedakan bentuk-bentuk stigma, ada tiga tipe stigma yang dikategorikan yaitu cacat fisik, karakter yang buruk dan kesukuan (tribal, gagasan atau agama). Cacat fisik seperti tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan lain-lain. Karakter individu yang buruk adalah citra buruk yang melekat pada diri seseorang misalnya pecandu narkoba, homoseksual dan sebagainya. Sedangkan kesukuan, tribal, agama dan gagasan merupaka tipe dimana diturunkan ke generasi berikutnya.
            Stigma itu sendiri dapat mengarah pada labelling, dimana individu yang dipojokkan akan mendapat pemberian label negatif dari masyarakat, yang kemudian memperoleh diskriminasi pula dari masyarakat karena minoritas yang dianggap berbeda dan tidak dominan dengan masyarakat pada umumnya. Menurut mahzab strukturalis, setiap individu dalam masyarakat memiliki atribut dan  kategori yang melekat. Atribut ini sifatnya alamiah (natural) bukan dibentuk secara tiba-tiba. Namun berbeda dengan identitas sosial, identitas sosial adalah atribut yang melekat pada diri seseorang karena bentukan dari masyarakat. Inilah yang disebut dengan pelabelan (labelling), yaitu sebuah pemberian label oleh masyarakat terhadap individu yang berbeda dengan masyarakat.
            Teori labeling memaknai sebagai sebuah tindakan seseorang ditentukan bagaimana masyarakat secara sosial mendefinisikan tindakannya tersebut. Contohnya, sebuah masyarakat menilai salah satu orang warganya sebagai pencuri di perkampungan mereka, padahal orang tersebut sebenarnya tidak demikian, pada akhirnya pelabelan tersebut yang hanya prasangka menjadi sebuah kebenaran dari yang sebenarnya bukan pencuri menjadi pencuri sungguhan. Ini yang menyebabkan seseorang memberikan stigma diri, yakni meyakini stigma bahwa dirinya memang seperti apa yang diucapkan masyarakat. Ada dua jenis kategori identitas yaitu virtual social identity (prasangka) dan actual social identity. virtual social identity (prasangka) merupakan anggapan yang muncul karena realitas yang terjadi belum tentu benar terjadi sepenuhnya dan cenderung menyalahkan, contohnya seperti prasangka terhadap anak broken home yang dapat memberikan pengaruh buruk terhadap anak-anak mereka jika bergaul dengan anak tersebut. Sedangkan actual social identity adalah kondisi kategori yang melekat pada seseorang memang benar adanya (terbukti), seperti tindakan kriminal dapat merugikan dan mengganggu ketenangan masyarakat.
PRAVOTCATERI N.
115120100111026
Respon Paper 3

REVIEW FILM “BERMULA DARI A”
Film pendek yang berdurasi sekitar 15 menit ini, menceritakan tentang seorang gadis dan temannya yang sama-sama berkebutuhan  khusus. Dalam film, digambarkan bagaimana Akbar pemeran pria dengan kondisi tuna rungu serta seorang anak perempuan yang tuna netra berkomunikasi satu sama lain. Bagi penonton yang menyaksikan film ini mungkin berpikir dua kali ketika ketiadaan yang justru melengkapi mereka dalam berkomunikasi, seperti yang digambarkan dalam adegan Akbar menanyakan harga kacamata, namun tidak dimengerti oleh si penjual dan kemudian disampaikan ke teman perempuannya tersebut. Mungkin dalam benak si penjual kacamata bagaimana cara mereka berkomunikasi dengan kondisi keduanya yang mungkin tidak mudah untuk saling berkomunikasi.
Setiap adegan dalam film ini membawa pesan tersirat penting bahwa keterbatasan atau ketidaksempurnaan fisik individu tidak  dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal. Hal ini dibuktikan melalui upaya gadis ini mengajari Akbar agar bisa melafalkan kata “Akbar”,  mulai dari shalat berjamaah dengan gadis yang menjadi imam sampai pada akhirnya Akbar dapat melafalkan “Allahu Akbar” dengan jelas saat menjadi imam. Mereka sering dipandang sebagai sesuatu yang tidak normal karena adanya wacana dominan dalam masyarakat, masyarakat beranggapan demikian karena individu atau kelompok yang dianggap tidak normal ini hanya minoritas saja.
Menggunakan kacamata Foucault dalam konsepnya Regime of Truth, berbicara tentang wacana, berarti berbicara tentang aturan-aturan, praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan-pernyataan yang bermakna pada satu rentang historis tertentu.  Artinya rezim wacana dan  kekuasaan yang dimaksudkan oleh Foucault adalah sebagai penentuan benar atau salah, normal atau tidak dan sebagainya. Seperti dalam film ini, sebuah anggapan normal atau tidak ditentukan dari lingkungan masyarakat sebagai wacana dominan. Hal ini ditunjukkan dalam  adegan bagaimana  upaya Akbar dan temannya saat berkomunikasi untuk menyampaikan berapa harga kacamata tersebut kepada sang pelayan toko. Adegan tersebut sekaligus membantah wacana dominan dalam masyarakat bahwa sebenarnya mereka juga dalam kategori normal bahkan komunikasi yang merekan tunjukkan juga lancar dan bukan menjadi masalah besar untuk dibeda-bedakan.
Pertaruhan kebenaran menggunakan sarananya politik tubuh, artinya bahwa sasaran kekuasaan adalah tubuh. Berdasarkan wacana dan kekuasaan yang diungkapkan Foucault menunjukkan bahwa tubuh menjadi objek, dalam film Bermula dari A tubuh digambarkan sebagai sasaran atau objek dalam kekuasaan. Kuasa yang dibentuk melalui kepatuhan dari tubuh melalui produktifitasnya, misalnya dalam ini ditunjukkan dengan bagaimana Akbar berupaya keras agar dapat melafalkan “Allahu Akbar” dengan jelas, Akbar memiliki kuasa akan tubuhnya agar mengikuti apa yang ingin dilakukannya.













DAFTAR PUSTAKA

Donny Gahral Adian, “Menabur Kuasa Menuai Wacana” dalam BASIS nomor 01-02, Tahun
ke-51,Januari-Februari 2002.

http://salihara.org/media/documents/2010/06/30/h/a/haryatmoko-seks-foucault.pdf  ( Diakses       Minggu, 23 Maret 2014 Pukul. 22.06 ).
NAMA           : ULFATUT DAWILAH
NIM                : 115120101111027
KLS                : A.SOS.6      

TUGAS KE-1 (WORKING PAPER MATERI TENTANG DEVIAN)
KESENJANGAN DAN EKSLUSI SOSIOAL

Masyarakat pada dunia ketiga mengalami apa yang di namakan dengan kesenjangan sosial, kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat ini di akibatkan oleh modernitas. Kesenjangan sendiri adalah garis pemisah yang ada di masyarakat antara mereka yang kaya dan yang miskin. Sedang golongan yang miskin ini kemudian mengalami ekslusi sosial, yaitu suatu proses termajinalkan atau terpinggirkan dari masyarakat. Mereka yang masuk dalam golongan termajinalkan ini kemudian di terjemahkan oleh Amartya Sen sebagai golongan yang akan mengalami deprivasi (kehilangan akses). Pada mereka yang miskin dan termajinalkan mengalami proses dimana mereka tidak dapat memiliki akses dalam bidang sosial di dalam masyarakatnya. Seperti orang yang tergolong miskin maka mereka secara otomotis mengalami deprivasi atau kehilangan akses d bidang pendidikan dan kesehatan karena keterbatasan penghasilan atau ekonomi.
Selain Amartya Sen, Emile Durkheim juga membahas bagaimana ekslusi sosial dapat mengancam sebuah solidaritas yang ada dalam masyarakat. Adanya ekslusi sosial bagi Durkheim dapat menimbulkan atau menyebabakan seorang individu melakukan hal-hal diluar yang seharusnya. Ketika seseorang mengalami keterbatasan sosial sedang di sisi yang lain dia juga harus bertahan hidup maka yang sering terjadi adalah mereka akan melakukan apapun untuk tetap hidup. Sehingga kita kemudian mengenal apa itu kejahatan (crime), kejahatan yang di lakukan tersebut akan berdampak bagi masyarakat di sekitarnya. Dan dia akan dianggap sebagia orang yang telah menyimpang (devian) dari norma dan aturan. Devian dari perspektif Durkheim lebih menekankan pada nilai dan norma yang ada dalam masyarakat, dimana ketika seseorang berperilaku di luar nilai dan  norma yang berlaku dalam masyarakat maka dia akan di anggap sebagai orang yang memiliki perilaku menyimpang atau Devian. 
Sedang lain lagi dengan Karl Mark jika berbicara tentang Devian maka hal itu tidak akan pernah jauh dari pemikirannya selama ini tentang meteri. Pemikiran Mark mengenai meterialisme historis tetap tak boleh di pisahkan dari konsep devian seorang Mark. Dia melihat masyarakat sebagai struktur sosial yang selalu akan di pengaruhi oleh ide tentang materi, bagaimana materi seseorang sangat menentukan peran seseorang dalam masyarakat. Dalam masyarakat Mark membagi masyarakat menjadi dua yaitu kaum borjuis dan kaum proletar, kaum borjuis ialah mereka yang memiliki modal sedang kaum proletar adalah mereka yang tidak memiliki modal. Apa yang dimaksud sebagai menguasi dan di kuasai selalu ada dalam masyarakat tergantung pada modal yang dimiliki oleh setiap individu. Devian dalam perspektif Mark adalah mereka yang tidak dapat menyokong kapitalis, karena devian di tentukan oleh yang di sebut dengan rulling class.
Rulling class sendiri adalah mereka yang berada pada golongan borjuis, sebab golongan borjuis adalah golongan yang memilki modal. Dalam konsep ini jelas terlihat bagaimana materi menguasai struktur dalam masyarakat sedemian rupa sehingga mereka yang tergolong dalam kaum pemiliki modal (borjuis) dapat menentukan apa saja dalam masyarakat baik aturan, nilai dan norma, dan perilaku seseorang. Devian tidaknya seseorang dalam masyarakat menurut Mark ditentukan oleh mereka yang termasuk dalam golongan borjuis atau rulling class. Devian sendiri di bagi menjadi dua, yaitu devian junk (sampah) dan devian dynamic, devian junk atau sampah adalah mereka yang tidak dapat menyokong kapitalis namun di anggap tidak berbahaya bagi kaum rulling class seperti orang gila yang kemudian di kontrol dengan adanya rumah sakit jiwa, psikolog, dan terapis. Namun berbeda dengan devian dynamite, mereka yan termasuk dalam golongon devian ini di anggap berbahaya oleh kaun rulling class karena di rasa memiliki potensi untuk melakukan revolusi sehingga di lakukan kontrol melalui lembaga-lembaga formal, seperti para buruh yang masih muda dan memiliki semangat juang biasanya di anggap membahayakan para kaum borjuis atau rulling class sehingga mereka harus di redam atau di cegah dengan adanya lembaga formal seperti serikat buruh yang di dalamnya dapat di lakukan negosiasi dan tawar menawar dalam menentukan upah bagi para buruh sehingga para kaum borjuis atau golongan rulling class tidak merasa di rugikan.



REVIEW FILM “BERAWAL DARI A”

Jika kita melihat film berawal dari A, kita dapat menganalisisnya dengan teori dari Judit Butler mengenai gender. Dimana gender adalah konstruksi melupakan pengalaman individu, dalam film ini kita dapat melihat tentang pemahaman masyarakat tentang imam dalam sholat adalah laki-laki sedangkan dalam film ibadah sholat di imami oleh perempuan. Ibu dari seorang perempuan tadi mengatakan bahwa anaknya harus mencari imam untuk sholatnya dan bukannya menjadi imam untuk seorang laki-laki. Pemikiran ibu tersebut terlihat sangat terpengaruh oleh konsepsi gender yang ada selama ini bahwa yang mengimami sholat adalah seorang laki-laki. Tanpa melihat kondisi yang seharusnya menjadi perhatian mereka, karena sosok laki-laki yang di tampilkan dalam film memiliki keterbatasan sehingga belum bisa mengimami sholat. Selain itu Butler juga berbicara tentang performa, bahwa seseorang itu di lihat dari perfoma dirinya. Masyarakat selama ini melihat laki-laki dan perempuan berdasarkan perfoma sehingga laki-laki di pandang lebih di banding perempuan, tapi yang di tampilkan di film tersebut justru yang mengajari sholat adalah perempuan sehingga perempuan dalam film ini terlihat berusaha untuk meghilangkan konstruk gender pada masyarakat yang terlihat sakral selama ini bahwa perempun adalah makmum. Sehingga dapat di pahami tentang Butler bahwa individu itu dapat mengkontruksi gender.
Selain itu kita juga dapat menganalisis film tersebut dengan pemikiran Mike Oliver tentang tubuh yang berbeda menjadi object. Dalam film ini kita dapat melihat bahwa orang yang memiliki ketidaksempurnaan menjadi object penilain orang lain yang merasa dirinya sempurna. Di film di perlihatkan tokoh laki-lakinya seorang tuna wicara (orang tidak dapat berbicara) sedang tokoh yang perempuan seorang tuna netra (orang tidak dapat melihat), yang mereka berdua menjadi object penilaian dan perhatian tersendiri olae ibu si perempuan yang melihat bahwa laki-laki yang mendekati anak gadisnya adalah orang yang secara fisik tidak sempurna dan tidak pula bisa mengimami anaknya sholat.
 NAMA           : ULFATUT DAWILAH
NIM                : 115120101111027
KESENJANGAN DAN EKSLUSI SOSIAL

RESPON PAPER II
TEORI (JUDIT BUTLER, MIKE OLIVER, DAN FOUCAULT)
STIGMA (ERVING GOFFMAN)

·         Ketika berbicara megenai tubuh, kita akan memahami bahwa sebenarnya yang selama ini di nilai oleh masyarakat ketika berinteraksi dengan masyarakat adalah tubuh kita. Tubuh adalah unsur konkrit yang digunakan saat berjumpa dengan dunia sosial contoh : ketika bertemu dengan guru kita akan secara spontan menunduk atau mencium tangannya sebagai tanda penghormatan, tapi yang sebenarnya terlihat dan dinilai masyarakat adalah budi pekerti kita melalui gerak tubuh menunduk dan menyalami tangan guru kita. Selain itu konstruk yang ada dalam masyarakat banyak melalui tubuh, yang artinya bahwa secara umum tubuh itu dinilai oleh masyarakat contoh :  kecantikan atas seorang perempuan akan sangat terkonstruk melalui tubuh mereka, masyarakat sekarang menilai orang yang cantik adalah orang memiliki tubuh langsing, tinggi, kulit yang putih, rambut yang hitam dan lurus (semua dinilai dari tubuh dan di konstruk melalui tubuh).
·         Untuk menganalisa lebih mendalam tentang tubuh yang terkonsruk sosial ada tiga tokoh yang berbicara mengenai ha tersebut, Judit Butler, Mike Oliver, dan Foucault.
1.      Judit Butler berbicara mengenai bagaimana manusia memaknai tubuhnya, Judit melihat aspek gender yang terbangun dalam masyarakat, gender adalah kontruksi melupakan pengalaman individu (kita dapat memahami bahwa sebenarnya konsrtuksi gender yang ada dalam masyarakat selama ini tidak melihat aspek pengalaman yang dimiliki oleh individu itu sendiri). Sebagai contoh kita dapat melihat di bali dalam sebuah keluarga yang diagungkan adalah pihak laki-laki, namun di saat sang perempuan memiliki pengetahuan lebih dari laki-laki, konrtuksi tentang keagungan seorang laki-laki tidak berubah dan cenderung tidak memperhatikan pengalaman sang perempuan yang memiliki aspek nilai lebih tinggi dibanding si laki-laki dari sisi pengetahuan. Judit juga melihat sisi performa yang dapaat difahami bahwa selama ini masyarakat melihat performa seorang individu coontoh : laki-laki selalu di anggap berani dan gagah, sedangkan perempuan selalu di anggap lemah dan lembut karena performa yang mereka. Namun aspek performa ini kemudian dapat melampaui konstruksi masyarakat, yang dapat kita lihat bahwa permpuan sekarang banyak yang memiliki performa yang tangguh. Dan aspek terakhir yang dilihat oleh Judit adalah individu itu juga dapat mengkonstruksi gender, yang dapat difahami bahwa gender dalam sebuah masyarakat terdapat dominasi makna, yang hal itu berhubungan dengan dominasi yang dimiliki oleh setiap individu atau kelompok tertentu contoh : bagaimana orang berfaham feminis ingin merubah konstruksi sosial atas kedudukan dan peran antara laki-laki dan perempuan.
2.      Mike Oliver berbicara mengenai bahwa sebenarnya cacat itu tidak ada, yang ada adalah masyarakatlah yang membuat seseorang cacat. Mike melihat bahwa selama ini tubuh yang berbeda itu menjadi object, artinya masyarakat selama ini selalu menjadikan object penilaian mereka terhadap mereka yang dilihat cacat secara fisik (tuna netra, tuna runggu, tuna daksa, dll). Kemudian unsur lingkungan, dimana lingkungan menentukan tubuh seseorang (cacat tidaknya seseorang lingkunganlah yang menentujan hal itu contoh : jika ada seorang tuna netra dapat melakukan hal-hal layaknya orang yang memiliki penglihatan normal mereka tetap akan dianggap buta karena lingkungan menentukan buta tidaknya seseorang). Selama ini sebenarnya lingkunganlah yang justru meng “DIS” kan seseorang, bukan mereka yang cacat kemudian merasa berbeda dan tidak sempurna tapi lingkungan merekalah yang membuat mereka difabel yang berbeda dengan yang mereka anggap normal.
3.      Michel Foucault, tokoh ini lebih melihat pada aspek kekuasaan atas tubuh itu sendiri. Pertama mengenai regime of truth, yang dapat dipahami bahwa dalam sebuah rezim terdapat kebenaran-kebenaran yang di bentuk lewat wacana. Kedua mengenai govrmentality, yang dapat difahami bahwa pemerintah memiliki peran atas apa yang ada dalam regime of truth. Kita dapat mengambil contoh bahwa difabel itu tidak dapat belajar bersama dengan orang-orang yang normal, kemudian hadirlah wacana-wacana tentang pembenaran akan hal itu bawa orang difabel tidak dapat berdampingan dengan orang normal dalam hal belajar, mereka akan mengalami kesulitan dan sebagainya, yang kemudian terlegalkan dengan peran pemerintah melalui adanya legalitas atas sekolah luar biasa untuk mereka yang difabel dan sekolah itu untuk mereka yang cacat saja karena tidak bisa bersekolah di sekolah biasa.

·         Stigma, jika kita berbicara mengenai stigma maka yang terbersit pada pikiran kita adalah segala hal yang berbau negatif lalu tidak adakah hal positif ?. Goffman membahas stigma dan identitas sosial. Goffman membedakan identitas sosial menjadi dua, yaitu a) virtual social identity, yang dapat di fahami bahwa asumsi di hubungkan dengan realitas yang belum terbentuk sepenuhnya dan cenderung menyalahkan contoh : prasangka akan sesuatu. b) actual social identity, yang dapat di fahami sebagai realitas sosial yang dapat terbukti. Dari identitas sosial yang dijabarkan, stigma kemudian muncul dari kesenjangan yang terjadi antara virtual social identity dan actual social identity. Stigma kemudian diartikan sebagai tanda atau ciri yang negatif pada siri seseorang, biasanya stigma ini diberikan oleh masyarakat pada sekelompok orang tertentu. kita dapat mengambil contoh bagaimana masyarakat memberikan stigma jelek pada kelompok punk. Selain itu ada tiga tipe stigma yang ada dalam masyarakat:
1.      Stigma cacat fisik
mereka yang tidak memiliki tubuh normal atau difabel. contoh : tuna netra.
2.      Stigma karakter individu yang buruk
mereka yang memiliki karakter individu yang di anggap buruk oleh masyarakat contoh : homoseksual, lesbian, waria, pecandu narkoba dan minuman keras.
3.      Stigma kesukuan atau tribal atau gagasan atau agama yang dapat di transmisikan melalui generasi berikutnya. contoh : suku madura dengan agama yang fanatik, jadi tiap bertemu orang madura mulai dari dulu sampai sekarang maka penilaian mereka akan tetap sama bahwa orang madura selain berwatak keras juga memiliki kefanatikan terhadap agama.

 Nama  : Reza Dulisanti
NIM    : 115120101111007


Pertemuan ke-2 :
Dalam membahas suatu kesenjangan dan eksklusi sosial, Adam Smith lebih fokus pada kedaulatan atas diri sendiri atau pada hak individu tersebut.  Individu seharusnya bebas mengekspresikan dirinya selagi tidak keluar dari jalur hukum tanpa harus dibatasi oleh aturan-aturan lain yang sangat mematikan hak-hak pada diri individu tersebut.

Bentuk diskriminasi yang sering terjadi dan sangat umum yaitu segala sesuatu terlalu fokus terhadap hal-hal yang sifatnya selalu diperuntukkan untuk kaum mayoritas, sehingga hak-hak dari kaum minoritas sering diabaikan. Misalnya saja, Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, sehingga setiap fasilitas umum selalu menyediakan musholla atau masjid, tapi belum tentu ada tempat ibadah untuk agama lain.  Ada juga dalam hal sepele pun, disekitar kita bahwa dalam menerima anak kost saja banyak yang mengkhususkan untuk hanya menerima yang muslim. Selain itu, sejumlah fasilitas umum serta gedung-gedung perkantoran di Indonesia juga masih belum semua yang memberikan fasilitas akses kemudahan bagi kaum difabel, dari sini bisa kita lihat bahwa banyak sesuatu yang dibuat hanya diperuntukkan untuk yang mayoritas, mereka entah lupa atau melupakan keberadaan yang minoritas, tentu saja hal ini tetap merupakan suatu bentuk diskriminasi.

Eksklusi sosial dibagi menjadi 2 yaitu :
1.      Social exclution active ( eksklusi sosial aktif)
Mereka yang merupakan orang-orang yang tereksklusi, namun mereka masih ada suatu keterlibatan serta andil di dalam masyarakat sehingga posisi mereka masih diperhitungkan di lingkungannya.
Contohnya adalah perempuan serta difable.
2.      Social exclution passive ( Eksklusi sosial pasif)
Mereka yang mungkin belum mampu atau tidak mampu atau tidak mau mengembangkan diri mereka dalam kaitannya dengan suatu kegiatan yang terlibat di masyarakat yang mungkin dikarenakan tidak memiliki kemampuan untuk hal itu, sehingga adanya suatu eksklusi sosial justru membuat mereka tidak memiliki tawar di mata masyarakat .

Ahmad Sassein membagi beberapa kategori yang menurutnya masuk dalam kategori eksklusi sosial, diantaranya adalah orang yang tidak memiliki pengeluaran, orang yang tidak memiliki kemampuan, orang yang tidak memiliki kebebasan, dari segi kejahatan, kesehatan, motivasi dan masadepan, gender dan ras, serta orang-orang yang lemah nilai sosialnya. Dari sini kita bisa melihat betapa banyak orang yang dikotak-kotakkan berdasarkan beberapa kategori untuk hal yang dianggap berbeda dari yang pada umumnya mayoritas ada. Eksklusi sosial sendiri menurut saya sesuatu yang dibuat oleh manusia, tetapi juga mengeksklusi manusia itu sendiri. Tanpa disadari sesuatu yang “beda” kemudian justru dijadikan sebagai pembeda sehingga semakin kuat munculnya eksklusi sosial ini.

Pertemuan ke-3 :
Eksklusi sosial sangat menyebabkan seorang  individu terhambat dalam melakukan aktivitas sosial yang seharusnya mereka ingin lakukan . Eksklusi sosial juga berakibat pada individu untuk melakukan bunuh diri, karena mungkin individu akan merasa dibedakan sehingga akan sulit baginya untuk menjadi biasa ketika berada di lingkungannya. Beberapa komponen yang menyebabkan seseorang tereksklusi sosial adalah :
Ø  Kemiskinan atau pendapatan yang rendah
Ø  Akses terhadap pekerjaan
Ø  Tidak memiliki jaringan
Ø  Efek daerah setempat
Ø  Lack of service
Dari beberapa komponen tersebut kita bisa melihat bahwa keterbatasan modal ekonomi dan sosial yang dimiliki oleh individu akhirnya menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses serta fasilitas seperti yang lainnya sehingga mereka menjadi salah satu dari beberapa orang yang tereksklusi.

Diskursus eksklusi sosial menurut Parson :
1. RED (reelistribisionis dicourse) : eksklusi sosial yang terjadi akibat kemiskinan pada individu dan kelompok, sehingga seharusnya ada pemerataan distribusi pendapatan masyarakat melalui pajak. Kemiskinan dalam hal ini sangat mempengaruhi individu dalam mendapatkan perlakuan, kemiskinan yang terjadi akibat keterbatasan ekonomi menjadikan individu tereksklusi hingga akhirnya harus ada pemerataan pendapatan agar kesenjangan antara orang kaya dengan orang miskin tidakn terlalu jauh. 

2. MUD ( Moral Underclass discourse) : individu yang melalukan penyimpangan yang terdegradasi, hal ini disebabkan moral yang dimiliki oleh individu mulai melemah, sehingga individu akan lebih berpeluang untuk melakukan suatu penyimpangan.

3. SID ( Social Integration Discourse) : masyarakat tereksklusi masih tetap terkoneksi, sehingga tidak ada jarak yang terlalu jauh antara masyarakat yang tereksklusi dan yang dianggap sebagai masyarakat biasa. Untuk menyelesaikan ini harus ada upaya-upaya untuk mereduksi suatu eksklusi sosial sehingga sesuatu yang dianggap beda tidak terlalu dijadikan sebagai patokan untuk membeda-bedakan individu dengan kategori-kategori tertentu
Menurut Durkheim, selain dengan akibat-akibat yang telah terjadi seperti yang telah disebutkan di atas, eksklusi sosial juga dapat menjadi suatu ancaman bagi solidaritas sosial yang ada di dalam masyarakat, karena dengan perbedaan yang individu miliki menjadikan ia kesulitan untuk masuk di dalam suatu sistem sehingga dia dikesampingkan. Eksklusi sosial juga mampu menyebabkan adanya anomi, yaitu suatu keadaan masyarakat ketika benar-benar tidak ada norma, serta atruran yang mampu mengikat masyarakat sehingga masyarakat akan pecah dan terjadilah suatu disorganisasi sosial, sehingga semakin rentan terjadi suatu penyimpangan sosial. Durkheim juga menyatakan bahwa masyarakat sehat adalah masyarakat yang ditemukan pada kondisi yang sama dan tetap yang serupa serta diakui oleh masyarakat luas, berarti hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat yang mungkin dalam berbagai aspek memiliki perbedaan atau termasuk dalam komponen masyarakat yang tereksklusi merupakan masyarakat yang tidak diakui oleh masyarakat luas.
Dalam kaitannya dengan eksklusi sosial, ada juga suatu istilah yaitu Devian. Devian diartikan sebagai suatu perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang ada di masyarakat, sehingga devian ini dianggap sebagai individu yang melakukan perilaku menyimpang, hal ini pastinya juga akan menyebabkan suatu eksklusi sosial di lingkungan amsyarakat tersebut. intinya, eksklusi sosial akan terus terjadi ketika adanya sesuatu yang dianggap “beda” atau tidak wajar serta tidak sesuai dengan apa yang ada di masyarakat secara umum dan hal tersebut dikotak-kotakkan, sehingga jarak antara masyarakat yang dianggap ‘umum” serta dianggap “beda” itu akan semakin terlihat.
 Nama : Reza Dulisanti
NIM    : 115120101111007

Respon paper pertemuan 5-6:

Tubuh Sebagai Analisa (Pertemuan 5)
1.      Menurut Judith Butler
Tubuh merupakan hal yang sangat penting, Gender merupakan konstruksi melupakan pengalaman individu, performa, dan individu juga mengkonstruksi gender.
Konstruksi yang mengarah harus sesuai dengan bentuk tubuh, menyebabkan adanya eksklusi sosial. Sehingga ketika ada seseorang yang fisiknya laki-laki, dan kemudian dia menggunakan atribut perempuan, yang terajdi adalah dia akan tereksklusi. Inilah yang disebut Judith Butler bahwa konstruksi selalu harus sesuai dengan bentuk tubuh.
2.      Menurut Mike Oliver
a.       Tubuh berbeda menjadi obyek
b.      Lingkungan menentukan tubuh
c.       Lingkungan yang menjadikan “dis”
d.      Kapitalisme dan materialisme
Bentuk tubuh yang berbeda dianggap aneh dan kemudian akhirnya menjadi pusat perhatian. Selain itu, lingkungan yang diisi mayoritas oleh orang normal menjadikan difable adalah orang yang berbeda sehingga sebenarnya adanya difable tersebut karena lingkungan yang ada mayoritas orang normal. Lingkungan yang diisi oleh kebanyakan orang normal tersebut kemudian juga menciptakan berbagai akses yang mungkin hanya diperuntukkan untuk orang normal, sehingga yang membuat orang difable sulit untuk menggunakan fasilitas yang sama, mungkin jika akses yang diciptakan juga diperuntukkan untuk orang difable, akan sama halnya orang difable tersebut dengan orang normal yang mampu melakukan aktivitasnya sendiri.  Akses yang diciptakan untuk kebanyakan orang normal tersebut pastinya tidak lepas dari para kapitalis yang memang tujuannya hanya untuk keuntungan, tanpa memikirkan fungsi lain yang diperuntukkan untuk orang difabel.
3.      Menurut Foucault
Foucault menjelaskan tentang “Rezim of Truth” dimana manusia diatur dari tubuhnya dan ditata sesuai dengan tubuhnya oleh legimitasi dokter dan psikologi, sehingga hal ini mengikuti alur kekuasaan.
Jadi , bentuk tubuh manusia dikotak-kotakkan berdasarkan apa yang disbeutkan dokter, dan itu sudah terbentuk sehingga kita sebagai masyarakat biasa hanya mengikutinya. Misalnya bayi yang normal adalah bayi yang sehat lahir dan lengkap alat inderanya. Pernyataan seperti itu dari dokter kemudian terkonstruk di masyarakat hingga sekarang.

Stigma dan Identitas Sosial oleh Erving Goffman (Pertemuan 6)
1)      Mahzab Strukturalis
·         Masyarakat dianggap sebagai sekumpulan individu yang memiliki atribut yang “natural” dan juga sebagai rutinitas hubungan sosial untuk mengantisipasi atribut di luar yang “natural”. Kehadiran ynag “lain” dari masyarakat pada dasarnya adalah wujud dari kategori dan atribut yang melekat pada individu yang disebut identitas sosial.
Jadi masyarakat memiliki sebuah atribut yang natural (bertindak secara normatif), yang kemudian akan bersikap antisipatif jika ada yang di luar “natural” yang dalam hal ini bisa berupa orang yang mungkin bertindak menyimpang atau tidak sesuai dengan norma yanga da di lingkungan tersebut.
2)      Social Identity menurut Goffman :
Virtual dan actual social identity, virtual sifatnya masih berbentuk prasangka sedangkan actual sudah berebtnuk realitas yang dapat terbukti. Adanya perbedaan dari virtual dan actual akan membentuk suatu stigma diantaranya, sehingga jarak ayng terjadi antara virtual dan actual tersebut kemudian menciptakan suatu stigma.
Stigma sendiri merupakan tanda negatif yang diberikan oleh masyarakat pada sekelompok orang tertentu. dalam prosesnya, akan terjadi sesuatu yang sifatnya “merendahkan” kepada sekelompok orang tertentu tersebut, hal ini disebut sebagai stigmatisasi.

Tipe Stigma :
a.       Stigma cacat fisik, dalam hal ini orang –orang yang fisiknya dianggap berbeda dengan orang normal akan mendapatkan stigma karena dianggap tidak sama dengan suatu yang dianggap “normal”.
b.      Stigma terhadap karakter yang buruk (alkoholism,homo,dll)
Orang yang memiliki kebiasaan buruk yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan, juga akan mendapatkan sebuah setigma. Mereka dianggap menyimpang dari norma yang ada sehingga mereka dianggap buruk dan pantas untuk mendapatkan stigma dari masyarakat.
c.   Stigma terhadap kesukuan /tribal/gagasan/agama.
     Hal ini dianggap buruk oleh masyarakat karena hal ini merupakan hal yang dianggap bisa dilanjutkan oleh generasi berikutnya, sehingga ketika mereka dianggap berbeda dari  lingkungannya, masyarakat menghawatirkan hal tersebut akan bisa berlangsung terus menerus karena bisa dilanjutkan oleh generasi-generasinya.
            Stigma bisa tercipta dari seseorang/masyarakat kepada sekelompok orang yang memiliki ciri yang dianggap berbeda dari mereka, misalnya cacat fisik, karakter yang buruk,agama, dan lainnya. Sebenarnya stigma itu sendiri kalau menurut saya merupakan hal yang tidak ada gunanya karena apa yang kita fikirkan belum tentu sama dengan kebenaran (antara virtual dan actual). Namun hal ini sudah menjadi hal yang pasti terjadi ketika memang ada sekelompok orang yang dianggap berbeda dari yang umumnya ada.

Teori Stigma (Goffman)
·         Stigma adalah relasi bahasa
·         Stigma adalah processor untuk mengkonfirmasi ketidakbiasaan orang lain. Di sini kita bisa melihat bahwa stigma hanya akan menjadi sebuah pompa untuk mendorong kita semakin mendeskritkan orang yang kita anggap berbeda dari kita.
·         Stigma memunculkan inferioritas . untuk orang yang berbeda dan kemudian dia mendapat stigma dari orang lain, hal itu kemudian akan membuatnya merasa rendah diri akibat adanya stigma tersebut.
·         Stigma menyalahkan atribut yang melekat pada pada individu atas ketidaksempurnaan. Pada dasarnya manusia diciptakan berbeda-beda,ketika ada yang tidak sesuai dengan yang umumnya, sehingga yang terjadi justru setigma.
·         Stigma memunculkan diskriminasi. Adanya stigma terhadap individu yang dianggap beda kemudian memunculkan perlakuan yang ebrbeda juga kepada individu tersebut, hal ini bisa dikatakan sebagai bentuk diskriminasi
·         Stigma mengecilkan kesempatan orang lain. Adanya stigma dari masyarakat terhadap individu yang berbeda, itu berarti kita telah mengurangi kesempatannya untuk menjadi orang yang keluar dari stigma yang telah terbentuk.
Teori labelling
Tindakan manusia dilakukan oleh bagaimana orang lain mendefinisikan.  Jadi pada dasarnya apa yang dilakukan oleh seseorang merupakan suatu konstruk yang terbentuk akibat labelling dari orang lain. Misalnya saja ketika anak kecil oleh orang tuanya disebut sebagai anak nakal, justru selanjutnya anak tersebut akan memerankan apa yang telah disebutkan padanya bahwa dia nakal, sehingga sebenarnya kejahatan banyak terjadi karena bentuk labelling yang dibuat oleh lingkungannya terhadap seseorang tersebut sehingga orang tersebut melakukan apa yang di “cap” kan untuk dia.

Nama  :Reza Dulisanti
NIM    :115120101111007

Analisis film “Bermula dari A”

Film pendek yang berjudul “Bermula dari A” menggambarkan sebuah hubungan antara pria dan wanita yang saling melengkapi di dalam kekurangan mereka masing-masing. Si wanita yang tunanetra serta si laki-laki yang tuna rungu mencoba menunjukkan betapa mampunya mereka untuk saling melengkapi di dalam keterbatasan yang mereka miliki.
Dalam analisisnya mengenai tubuh, Judith Butler membagi perspektifnya dalam tiga bagian, yang pertama bahwa gender merupakan konstruksi untuk melupakan pengalaman individu, dalam film yang berjudul “Bermula dari A” ini menunjukkan betapa kehidupan di lingkungan di dalam setting film tersebut menunjukkan bahwa masyarakat telah mengkonstruksi dari segi agama maupun sosial, bahwa laki-laki adalah imam bagi perempuan di dalam suatu hubungan keluarga, sehingga ibu dari peran wanita yang di film tersebut merasa kurang setuju ketika anak perempuannya mengimami teman laki-lakinya ketika melakukan shalat. Padahal hal ini dilakukan karena keterbatasan si laki-laki yang belum mampu mengucapkan kata “akbar” sehingga tidak mampu menjadi imam pada saat itu.
Kedua, Butler menganalisis mengenai performa,performa dapat diartikan sebagai aksi, atau sesuatu yang dilakukan.  Gender merupakan sesuatu yang terbentuk melalui performa itu sendiri. Jadi sebuah konstruksi yang menganggap bahwa laki-laki harus menjadi imam bagi perempuannya, dapat terlihat bahwa dalam segi agama , ketika melakukan shalat laki-laki harus menjadi imam dari si perempuan. Hasil dari konstruksi yang telah dibangun ini bahwa pria memiliki keharusan untuk mengimami perempuan,dan akan menjadi “aneh” ketika seorang perempuan dalam hal beribadah ini menjadi imam atas pria tersebut.
Ketiga, individu itu sendiri yang mengkonstruksi gender. Di film ini dapat kita lihat bahwa perempuan tersebut berusaha mengajarkan teman laki-lakinya untuk mengucapkan kata “akbar” agar nantinya pria tersebut mampu mengimami perempuan tersebut ketika beribadah. Adanya konstruksi yang mengharuskan bahwa sesuatu yang dilakukan harus sesuai dengan keadaan biologisnya (misalnya jika pria, harus menjadi imam) menyebabkan adanya eksklusi sosial ketika konstruksi tersebut tidak berjalan sesuai dengan apa yang telah terkonstruksi. Sehingga, sebenarnya eksklusi sosial atau diskriminasi akan terus terjadi selama terjadi sesuatu yang berlawanan dengan konstruksi yang ada. Dan konstruksi yang telah ada akan bisa berubah ketika muncul konstruksi sosial baru di masyarakat itu sendiri.
 Nama   : Saifan Rafdi Akbar
NIM    : 115120102111003
            Karl Marx
            Deviance atau yang biasa disebut dengan perilaku menyimapang ialah suatu perbuatan yang tidak sesuai dari norma – norma yang berlaku di dalam masyrakat. Namun berbeda dengan Karl Marx ketika melihat seorang yang deviance di pengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun faktor tersebut erat kaitannya dengan para kaum kapitalis dimana seorang deviace dianggap tidak bisa membantu para kaum kapitalis untuk memproduksi suatu barang. Sebagai contoh seseorang penjahat berperilaku criminal dalam suatu masyarakat maka dia tidak bisa membantu proses produksi yang ingin di ciptakan oleh kaum kapitalis.
            Peranan hukum di Indonesia ini juga sangat mencerminkan beberapa kepentingan kelas yang berkuasa, dan bahwasannya sistem peradilan pidana mencerminkan nilai dan kepentingan mereka. Oleh sebab itu orang yang dianggap melakukan tindak pidana dan yang terkena hukuman biasanya lebih banyak terdapat dikalangan orang miskin. Hal ini membuktikan marx berpandangan bahwasannya kejahat dan perilaku menimpang hanya dilakukan kaum plorelatariat sedangkan kaum borjouis dianggap tidak berperilaku deviance. Sedangkan para kaum borjuis yang melakukan tidakan korupsi dianggap wajar. Hal ini membuat sebagaian masyarakat menjadi adanya kesenjangan dan tereklusi antara kaum borjouis dan kaum ploletar.
Emile Durkheim
            Berbeda dengan karl marx bahwasannya Durkheim melihat deviance terjadi dikarenakan adanya crime atau kejahatan dan juga patologi sosial. Jadi, jika seseorang melakukan sesuatu tindakan kehatan maka ia diang telah berperilaku menyimpang. Sebagai contoh sesorang melakukan tindakan pemerkosaan maka ia sebenarnya telah melakukan tindakan berperilaku menyimpang. Maka dari itu Durkheim melihat perilaku menyimpang ini dari individu saja. Berbeda hal nya dengan karl marx yang melihat perilaku menyimpang dari masyarakatnya.
            Patologi sosial juga terbentuk dikarenakan terdapat kriteria masyarakat yang sehat. Konsepsi kata – kata normal juga sudah di ciptakan di dalam masyarakat maka jika seseorang berperilaku tidak normal yang sudah diciptakan masyrakat tersebut dianggap telah berperilaku menyimpang. Lalu Durkheim ,mgartikan crime terjadi di dalam masyrakat dianggap sesuatu hal yang wajar terjadi di dalam masyarakat.
Nama   : Saifan Rfadi Akbar
NIM    : 115120102111003
            Stigma Erving Goffman
Stigma ialah sebuah pandangan yang dibuat suatu individu untuk melihat seseorang dalam suatu keadaan yang rendah. Biasanya stigma ini menghasilkan sebuah pandangan yang negatif dan terjadi pada suatu kelompok tertentu. Hal ini terjadi dikarenakan oleh lingkungan sekitar yang membangun bahwasanya seorang yang mempunyai kaki satu dianggap tidak normal sedangkan seseorang yang mempunyai  kaki dua dianggap normal. Maka goofman membagi kategori stigma menjadi tiga kategori yaitu, pertama, stigma yang berkaitan kecacatan  tubuh seseorang atau cacat fisik. Kedua, stigma yang berkaitan dengan karakter individu yang buruk misalnya homoseksual. Ketiga, stigma yang berkaitan dengan ras, bangsa, dan agama.
Pada akhirnya seseorang yang terkena stigma dari masyrakat akan mengalami suatu tindakan yang diskriminasi dari lingkungan sekitarnya. Dimana keberlangusan hidup seorang terstigma tidak dianggap keberadaanya. Sebagai contoh seorang odha yang terkena HIV/AIDS akan mengalami stigma dalam masyrakat. karena bahwasannya masyrakat mempunyai pandangan seorang terkena HIV ditularkan melalui hubungan seks. Padahalan penularan virus tidak hanya dalam berhubungan seks. Penyakit tersebut bisa saja menular melalui  jarum suntik yang tertular di dalamnya. Hal inilah yang menyebabkan seseorang menjadi terdiskriminasikan keberadaanya karena kekurangan pengetahuan. Maka pada akhirnya hal ini lah yang membuat seseorang menjadi terdiskriminasikan. Stigma juga tidak bisa dihilangkan dalam waktu yang singkat dan cepat. Harus dibutuhkannya proses legalisasi untuk menghapus proses diskriminasi tersebut.
Labeling
            Teori ini muncul dikarenakan adanya stigma yang muncul dalam masyrakat dan juga adanya perilaku menyimpang dalam masyrakat. Ditutupnya peran dalam masyarakat juga sangat berpengaruh  bagi seseorang yang mendapatkan pemberian stigma dan label, menyebabkan seseorang akan melakukan penyimpangan, khususnya dalam mempertahankan diri dari pemberian label. Pada awalnya muncul teori Labeling ini digunkan para kriminolog untuk mengungkap sebuah kejahatan dan pelaku kejahatan. Konsep teori labeling ini  juga menyebabkan seseorang menjadi kriminal. Pada akhirnya dengan adanya teori labeling ini seorang yang sudah melakukan tindak criminal akan menjadi rendah diri dengan adanya dampak pelabelan tersebut itu. Dimana dampak pelabelan ini juga sangat mempengaruhi struktur tatanan yang ada di masyarakat. Sebagai contoh seseorang yang sudah melakukan tindak kriminal tidak akan mendapatkan surat keterangan baik dri kepolisian sehingga ini jelas memberi dampak yang konkret melalui proses pelabelan tersebut.
            Judith butler & mike oliver
            Judith butler mempunyai perspektif bahwasannya seorang difabel dianggap biasa keberadaanya di dalam masyrakat. Maka dari itu beberapa dari kita seharusnya tidak berpandangan negative dengan adanya seorang yang difabel itu. Dalam kenyataan masih banyak seorang yang difabel masih mengalami ekslusi sosial di dalam masyarakat. Hal ini terbukti pada saat difabel di tengah – tengah masyrakat malah di sebut orang tidak normal atau bisa di sebut juga dengan kata “cacat” sedangkan menurut oliver  faktor lingkungan  juga sangat pengaruh dalam masrakat. Dimana lingkungan seolah- olah hanya diciptakan untuk seorang yang normal. Sedangkan seorang difabel tidak mendapatkan akses yang sama dalam masyarakat.  
Nama   : Saifan Rafdi Akbar
NIM    : 115120102111003
            Kesempatan menulis kali ini saya akan merespon film yang di putar pada saat perkuliahan minggu kemarin. Dari sini saya akan mebahas film itu dari perpektif seorang tokoh yaitu Judith butler. Dimana bila kita kaitkan dengan teori dari beliau bahwasannya seorang difabel dianggap biasa keberadaanya di dalam masyrakat. Maka dari itu beberapa dari kita seharusnya tidak berpandangan negative dengan adanya seorang yang difabel itu. Dalam kenyataan masih banyak seorang yang difabel masih mengalami ekslusi sosial di dalam masyarakat. Hal ini terbukti pada saat difabel di tengah – tengah masyrakat malah di sebut orang tidak normal atau bisa di sebut juga dengan kata “cacat”
            Melihat fenomena yang seperti ini maka seorang yang difabel seharusnya mengikuti  makna tubuh itu sendiri daripada harus mengikuti makna yang di konstruksikan di dalam masyrakat itu sendiri. Dalam film tersebut juga menjelaskan menganai peran gender yang sangat jelas. Dimana seorang laki – laki harus menjadi seorang imam di dalam keluarga maka dari itu lelaki tersebut rela belajar mengucapkan kata “akbar” untuk bisa menjadi seorang imam di dalam keluarga.
            Faktor lingkungan menurut mike oliver juga sangat pengaruh dalam masrakat. Dimana lingkungan seolah- olah hanya diciptakan untuk seorang yang normal. Sedangkan seorang difabel tidak mendapatkan akses yang sama dalam masyarakat.   
Nama               : Arinal Haq
NIM                : 115120107111011
MATKUL       : Kesenjangan dan Eksklusi Sosial
RESUME PERTEMUAN I-III
Pertemuan I
Menurut Amartya Sen (2000) ekslusi sosial terdiri dari dua yakni aktif dan pasif (Sen, 2000:15). Ekslusi pasif bisa didefinisikan sebagai proses eksklusi yang ketika seseorang tidak bisa menghidarinya. Sedangkan eksklusi aktif merupakan proses peminggiran yang berada di tengah-tengah masyarakat. Lebih lanjut Yasen membagi eksklusi sosial aktif dibagi menjadi 8, yaitu:
a.       Lost Of Current Output: bisa saya artikan disini ialah individu yang tidak produktif. Produktif yang dimaksud ialah dalam bentuk materi.
b.      Lost Of Skill: yakni individu yang tidak mempunyai ketrampilan. Artinya ketika ia tidak mempunyai ketrampilan tertentu, otomatis ia merasa tidak berguna di masyarakat.
c.       Lost Of freedom: yakni tidak adanya kebebasan dan mengalami tekanan dalam suatu golongan di tengah-tengah masyarakat, yang dalam ini golongan tersebut merupakan golongan minoritas. Masyarakat sekitar tidak mampu menerimanya karena dianggap berbeda dengan yang lain. Bisa saya contoh kan disini yaitu Ahmadiyah. Salah satu aliran agama islam di Indonesia ini merupakan golongan minoritas. Aliran ini sangat ditentang oleh masyarakat luas. mungkin kita sudah mengetahui di berbagai media bahwa ketika masyarakat mengetahui ada individu yang menganut ahmadiyah maka akan diusir secara paksa dan bahkan diperlakukan lebih dari itu seperti rumahnya dibakar dll.  
d.      Psychological harm & mistery: yakni ekslusi yang disebabkan oleh individu yang mengalam tekanan psikologis akibat masyarakat disekitarnya tidak menerima keberadaannya. Contohnya yaitu waria. Waria tidak diterima dimasyarakat bahkan masyarakat sering merendahkan derajat waria, masyarakat menganggap bahwa waria harus dijauhi, karena telah menentang kodrat  yang sudah diberi oleh tuhan.
e.       Health & Mental: yakni eksklusi yang dialami individu akibat stereotype(pelabelan negative) dari masyarakat. Contoh: individu yang mengidap HIV. Banyak orang yang menganggap bahwa individu yang mengidap HIV harus dihindari karena dapat menular, padahal tidak demikian.
f.       Motivation Lost & Future Works: ekslusi yang disebabkan akibat dari adanya perang. Dari perang tersebut individu mengalami kecacatan fisik yang dapat meyebabkan individu tersebut tidak bisa bekerja seperti individu pada umumnya.
g.      Gender dan Rasial: yakni eksklusi yang disebabkan ketika pada suatu wilayah mementingkan golongan ras tertentu dan gender.
h.      Weakening of Social Value: yakni eksklusi yang disebabkan karena melemahnya nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat.

Pertemuan II
Ø  Durkheim meilhat bahwa deviance (perilaku menyimpang) yang dilakukan oleh individu karena diakibatkan oleh pengaruh hilangnya nilai-nilai sosial pada masyarakat. Sehingga hasil dari hilang dan runtuhnya nilai-nilai dari masyarakat mengakibatkan individu dalam kondisi yang disebut anomie. Perilaku anomie sampai yang paling ekstrim yakni bunuh diri.
Ø  Erat kaitannya dengan hilang dan lunturnnya nilai-nilai/ norma-norma yang ada di masyarakat bagi Durkheim dapat menimbulkan apa yang disebutnya yakni patologi sosial.  Patologis merupakan keadaan pada masyarakat yang berprilaku  menyimpang dari keadaan yang pada umumnya. Artinya disini masyarakat berprilaku tidak wajar seperti yang ada disekitarnya, bisa dikatakan masyarakat patologis merupakan masyarakat yang tidak sehat/ sakit. Contoh: pernikahan sesama jenis.

Pertemuan III
Ø  Sama dengan Durkheim, Marx menganalisis deviance dalam tataran struktur, bukan dalam tataran individu. Artinya ketika Deviance (perilaku menyimpang) yang dilihat dari keseluruhan masyarakat.
Ø  Marx menilai bahwa deviance ketika bahwa suatu kelompok masyarakat yang menentang/ tidak masuk dalam bagian struktur kapitalis. Artinya disini ketika sekelompok dalam masyarakat tidak ikut menopang kapitalis dikatakan sebagai perilaku yang menyimpang. Karena bagi kalangan Marxis
Ø  Relative Surplus Population
Populasi dilihat oleh marx dari 2 sisi, yakni: yakni berguna dalam arti ikut masuk dalam arus kapitalis yang artinya produktif dan populasi yang mengancam akumulasi modal.
Ø  2 jenis Deviance menurut Marx
a.       Social Junk: didiskreditkan/dipinggirkan karena kegagalan dalam melakukan peran masyarakat kapitalis
b.      Social Dynamite: kelompok ini lebih bergejolak dibandingkan social junk, golongan ini biasanya adalah mereka yang lebih muda. Keberadaan dari social dynamite ini perlu dikontrol melalui legal system.


Referensi         :
Ø  Sen, Amartya. 2000, Social Exclusion: Concept, Aplication and Scrutiny. Di unduh melalui situs http://housingforall.org/Social_exclusion.pdf.
Ø  Catatan kuliah kesenjangan dan eksklusi sosial tahun 2014.
Nama   : Arinal Haq
NIM    : 115120107111011

Analisis Film Bermula Dari A
Sebagaian besar orang pada umumnya menganggap bahwa difabel, seperti tuna ntera, dan tuna rungu dianggap sebagai individu yang tidak “berguna”, karena tidak memiliki fisik yang sempurna. Kondisi tersebut tergambar dalam film “Bermula Dari A”. Dalam film tersebut diceritakan orang tua perempuan menganggap bahwa teman laki-laki dekatnya yang menyandang tuna rungu dan tuna wicara dianggap tidak pantas dan tidak  bisa menjadi pemimpin bagi anaknya kelak.
Menurut Mike Oliver, cacat yang dilekatkan pada diri manusia sebenarnya tidak ada. Karna menurut Mike Oliver kata cacat yang dilekatkan pada diri manusia merupakan konstruksi sosial dari orang-orang yang “normal”. Konstruksi tersebut terbentuk karena orang yang “normal” lebih banyak daripada orang yang difabel.
Dari perspektif Mike Oliver diatas dapat dimengerti bahwa anggapan yang menyebutkan bahwa difabel merupakan orang yang cacat dan tidak berguna adalah anggapan yang keliru. Sedangkan difabel sebenarnya bisa melakukan aktivitas seperti orang “normal” pada umumnya. Hanya saja memerlukan kebutuhan khusus serta perlu dukungan dari lingkungan disekitarnya berupa sarana untuk bisa beraktivitas seperti pada orang “normal” pada umumnya. Dan cara dalam beraktivitasnya yang berbeda dari mayoritas orang pada umumnya.
 Nama   : Arinal Haq
NIM    : 115120107111011
Review Pertemuan IV-V
Judith Butler
Judith Butler adalah seorang filsuf yang melengkapi pandangan kaum Feminisme yang beranggapan bahwa gender merupakan bentukan sosial dan seks adalah kodrat. Menurut Butler gender dan seksualitas merupakan sebuah hasil pertunjukan, artinya gender tidak hanya konstruksi sosial, melainkan juga berdasarkan pengalaman yang membentuk. Untuk memahami pemikiran dari Judith Butler kita harus memahami konsepnya yakni performativitas. Menurut Alimi (2011) Performativitas adalah apa yang sebenarnya kita lakukan atau katakan bersifat konstitutif (Alimi, 2011:5).
Yang saya pahami dari pengertian tersebut adalah individu juga dapat mengonstruksi gender. Ketika saya laki-laki namun lebih menyukai untuk memakai rok maka saya bisa dikatakan mengonstruksi gender. Oleh karena itu, menurut Butler gender bukanlah seseorang, tapi adalah sesuatu yang diilakukan orang (Alimi, 2011:6). Namun makna-makna yang dikonstruksikan oleh individu tidaklah bebas sepenuhnya melainkan makna-makna atas gender direnggut oleh konstruksi sosial. Seperti: bahwa yang berkumis dan memiliki jakun harusnya laki-laki, perempuan harus mempunyai buah dada dll. Jadi seseorang dianggap menyimpang ketika dalam perilakunya tidak menunjukkan seperti sebagaimana yang telah orang tunjukkan.
Mike Oliver
Menurut Mike Oliver, kelompok tubuh yang berbeda dari mayoritas orang pada umumnya menjadi “objek”, karna akan menjadi pusat perhatian bagi orang yang berada disekitarnya, sebab mempunyai fisik yang berbeda. Definisi “cacat” yang dilekatkan pada diri manusia menurut mike oliver sebenarnya tidak ada. Karna “cacat” yang dilekatkan pada diri manusia tidak lain merupakan konstruksi dari orang-orang yang “normal”. Contoh yang dapat menggambarkan dari pemikiran Oliver yakni difabel. Terdapat anggapan yang melekat pada difabel, bahwa difabel individu yang tidak berguna, karena keterbatasan fisiknya maka tidak dapat melakukan aktivitas yang biasa dilakukan oleh orang pada umumnya (normal). Anggapan semacam itu merupakan sebuah konstruksi dari masyarakat yang memiliki fisik yang sempurna (normal).
 Juga menurut Mike Oliver, cacat yang dilekatkan pada individu “ada” jika lingkungan sekitarnya tidak mendukungnya. Dan sebaliknya ketika lingkungan sekitarnya mendukung, maka dia tidak cacat. Dari penjelasan Oliver diatas dapat dimengerti bahwa difabel sebenarnya tidak cacat, hanya saja memerlukan kebutuhan tersendiri dan berbeda dari individu pada umumnya dalam melakukan aktivitasnya. Sehingga bisa diartikan bahwa fasilitas/teknologi yang mendukung bagi para difabel lah yang membuat difabel tidak cacat.  Seperti: individu pada umumnya yang membutuhkan lampu untuk membaca,  bagi difabel yang tuna netra, mereka tetap masih bisa membaca namun memerlukan huruf braile untuk dapat membaca. Hal itu menunjukkan bahwa difabel juga bisa melakukan aktivitas seperti individu pada umumnya.
Michel Foucault
            Inti dari pemikiran Foucault yakni bahwa pengetahuan tidak bersifat top down, bahwa pengetahuan bagi Foucault  tersebar dimana-mana/ berada ditengah-tengah masyarakat.  Jika pemikiran dari Foucalut dikaitkan denga proses eksklusi, yakni bahwa dalam suatu masyarakat terdapat pengetahuan/ wacana dominan yang beredar. Sehingga wacana dominan tersebut dianggap sebagai sebuah kebenaran bagi masyarakat tersebut (Regime of truth). Pengetahuan atau wacana tersebut seperti hanya di taken for granted oleh masyarakat tanpa mempertanyakannya. Oleh karena itu, tidak jarang wacana/pengetahuan yang berada di tengah-tengah masyarakat seringkali dapat menyebabkan diskriminasi dan eksklusi bagi individu/ kelompok tertentu. Misalnya: bahwa pengetahuan yang ada di tengah-tengah masyarakat seringkali menganggap bahwa individu yang mengidap penyakit HIV harus dijauhi tidak boleh untuk melakukan interaksi, karena dapat menular. Padahal kenyataannya anggapan tersebut sangatlah keliru.

Stigma & Identitias Sosial Erving Goffman
            Menurut Erving Goffman identitas Sosial ada 2, yaitu:
1.      Virtual Social Identity
Adalah asumsi yang menghubungkan dengan realitas namun belum terbukti kebenarannya.
2.      Actual Social Identity
Asumsi tersebut dapat dibuktikan kebenarannya secara medis.
Konsep stigma Goffman muncul berasal dari adanya gap/jarak antara asumsi awal dengan realitas sesungguhnya (kesenjangan antara virtual social identity dengan actual social identity).
            Tipe-tipe stigma yang rentan terjadi di masyarakat:
1.      Stigma cacat fisik, individu yang tidak memiliki tubuh yang sempurna; difabel.
2.      Stigma karakter individu yang buruk; peminum, pengangguran, preman.
3.      Stigma kesukuan/gagasan/agama; syiah yang mendapat perlakuan diskriminasi di sampang.
Jadi stigma merupakan tanda/prasangka negatif yang dilekatkan pada diri seseorang, yang label tersebut diberikan masyrakat pada sekelompok orang tertentu. Stigma selalu dilekatkan dengan adanya alasan pendukung (stereotype) sehingga memunculkan perbedaan perlakuan/diskriminasi oleh masyarakat.
Individu yang menerima stigma akan merasa tidak nyaman terhadap prasangka yang dibuat oleh masyarakat. Oleh karena itu akan menjadikan individu berprilaku se-“normal” mungkin untuk menghindari agar stigma tersebut tidak melekat pada dirinya. Misalnya: ketika individu mengidap penyakit HIV akan berusaha menutup-nutupi penyakit tersebut dan berprilaku seperti individu pada umumnya, yang bertujuan agar tidak mendapatkan perlakuan diskriminasi oleh masyarakat disekitarnya.

Referensi:
Ø  Alimi, Moh Yasir. (2011). Judith Butler: Gender/seks ssebagai “pertunjukkan” dan
Tawa Medusa. Komunitas Salihara. Diakses melalui salihara.org/media/documents/2011/04/13/p/e/pemikiran_butler_moh_yasir_alimi.pdf pada jam 15.00, 31 maret 2014.
Ø  Catatan kuliah kesenjangan dan eksklusi sosial T.A 2014.
Ligar Abdillah
115120113111005
Respone Paper I
Kesenjangan Sosial
            Pada peretemuan tiga minggu terakhir, secara umum telah melakukan pembahasan menegenai definisi dari kesenjangan sosial. Dalam pertemuan tersebut disebutkan bahwa kesenjangan hanya memprioritaskan kaum mayoritas dan secara langsung maupun tidak langsung seakan-akan meminggirkan kaum minoritas. Dengan demikian dapat kita telusuri bahwa kemunculan kesenjangan sosial seiring dengan perkembangan modernitas, yang selama ini sangat mengedepankan aspek positivsme. Di dalam kompleksitas kehidupan masyarakat modern, pada dasarnya telah tercipta standar kenormalan yang harus diikuti oleh semua orang. Tanpa kita sadari dari sinilah mulai muncul kesenjangan sosial akibat kaum-kaum tertentu tidak dapat mengikuti standar kenormalan yang telah diciptakan. Jadi semakin sulit kaum-kaum yang tidak mampu mengikuti standar, maka semakin jauh pula mereka disingkirkan oleh kehidupan modern.
            Adapun pernyataan tokoh yang dihadirkan dalam perkuliahan beberapa waktu lalu, seperti Pierson yang mengatakan bahwa kesenjangan sosisal merupakan sebuah proses menghalangi atau menghambat seseorang maupun kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan untuk kelangsungan dalam kegiatan sosial, ekonomi, budaya, politik dan lain sebgainya. Berdasarkan pemikiran Pierson, dengan adanya kesenjangan sosial tersebut seakan-akan memutuskan seseorang maupun kelompok yang tereksklusi dari layanan dan jaringan sosial. Secara garis besar terdapat komponen dari eksklusi sosial antara lain kemiskinan/pendapatan yang rendah, akses terhadap pekerjaan, tidak punya dukungan dan jaringan sosial. Salah satu contoh dari poin di atas adalah seseorang yang tidak dapat mengakses SKCK sehingga sangat sulit untuk memperoleh pekerjaan di sektor pemerintah.
            Emile Durkheim juga berkontribusi dalam menelaah kesenjangan sosial pada masyarakat modern dengan merevleksikan terhadap nilai dan norma. Seperti yang kita ketahui Durkheim merupakan seseorang yang sangat morlis, sehingga menurutnya masyarakat yang normal adalah masyarakat sehat yang sesuai dengan masyarakat pada umumnya. Sedangkan masyarakat yang mnyimpang merupakan masyarakat yang melakukan penyimpangan dari kewajaran pada umumnya.
            Durkheim juga menyinggung permaslahan devian yang selama kita kenal dengan perilaku menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku. Kondisi yang demikikan dapat mengindikasikan sebuah penyakit sosial atau pathologi. Sesorang atau kelompok dapat dikatakan sebagai penyakit sosial jika terdapat kriteria universal masyarakat sehat dan terdapat konsep normal yang telah ditetapkan. Salah satu contoh yang dapat kita ambil adalah sebuah larangan untuk mencuri yang telah ditetapkan oleh negara, sehingga dengan demikian pencurian merupakan sebuah tindakan kriminal yang dapat dikategorikan sebagai penyakit sosial. Akan tetapi Durkheim memiliki pandangan lain terhadap tindakan kriminal atau kejahatan, menurutnya tindakan tersebut merupakan suatu tindakan yang wajar karena sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
             Sedangkan Karl Marx mendevinisikan sebuah penyimpangan atau devian adalah seseorang atau kelompok yang tidak memiliki potensi untuk melakukan akumulasi modal bagi kaum pemilik modal. Seperti yang kita ketahui, Karl Marx memiliki pemikiran yang didasari oleh aspek materi, sehingga penentuan devian juga dipengaruhi oleh aspek materi. Jadi dapat disimpulkan bahwa kaum yang berhak menentukan devian atau bukan adalah kaum yang memiliki modal.
            Adapun konsep dasar yang dibahas oleh Karl Marx mengenai posisi infrastruktur dengan superstruktur. Berdasarkan sudut pandang materialisme, infrastruktur dikatakan sebagai hal yang penting dan mampu mempengaruhi superstruktur. Infrastruktur terdiri dari aspek yang berbau materi, sedangkan superstruktur merupakan aspek di luar materi seperti aspek sosial, politik, dan budaya. Karl Marx membagi populasi menjadi dua golongan yaitu social junk dan social dynamite. Social junk dapat diartikan sebagai kelompok-kelompok yang dianggap tidak berbahaya dan tidak memiliki potensi yang mengancam bagi kaum pemilik modal. Populasi ini dapat dikontrol dengan lembaga seperti rumah sakit jiwa, karena populasi tersebut identik dengan orang gila. Social dynamite diartikan sebagai kelompok yang berbahaya dan memiliki potensi ancaman bagi kaum pemilik modal yang mampu malakukan revolusi, sehingga hanya Negara yang dapat mengendalikannya.
Review Film
            Berdasarkan film yang diputar pada peretemuan lalu, memunculkan sebuah gejala sosial yang patut kita analisis berdasarkan sudut pandang ekslusi sosial. Seperti yang dikatakan oleh Mike Oliver bahwa “tubuh berbeda menjadi obyek”, sehingga pada dasarnya tubuh (fisik) yang ada pada film tersebut seakan-akan telah menjadi obyek (kelainan) dan terkontruksi pada masyarakat pada umumnya. Padahal seperti yang kita saksikan bersama, kedua orang tersebut mampu beraktivitas seperti orang lain, hanya saja menggunakan cara yang berbeda. Nah hal demikianlah yang menurut saya perlu kita perhatikan, sehingga tidak lagi menganggap bahwa orang yang saya maksud di atas bukanlah suatu hal yang aneh, karena pada dasarnya mereka juga mampu beraktivitas seperti manusia pada umumnya. Menurut Mike Oliver, sebetulnya mereka mampu melakukan apa saja seperti manusia pada umumnya, hanya saja lingkunganlah yang menjadikan mereka tidak mampu.
            Mike Oliver juga menyinggung gagasan Foucault tentang “Regime of Truth” dan merelevansikan dengan kesanjangan sosial. Dalam rezim ini muncul standar kenormalan, sehingga apabila tidak mampu memenuhi standar tersebut dianggap tidak sah. Agama merupakan salah satu aspek yang mengusung nilai-nilai kebenaran yang sulit untuk diruntuhkan. Salah satu contoh dalam film tersebut adalah ketika sholat yang jadi imam harus laki-laki, padahal laki-laki dalam film tersebut adalah orang bisu. Karena berkenaan dengan nilai agama, mau tidak mau laki-laki dalam film tersebut terus berusaha agar mampu menjadi imam sholat, alhasil di berhasil. Jadi kondisi yang demikian membuktikan bahwa mereka mampu untuk malakukan apa saja, bahkan mampu memenuhi standar kebenaran yang diusung oleh ajaran agama.
            Govermentality menurut Mike Oliver juga merupakan aspek yang sangat berpengaruh dalam proses kesenjangan sosial, dimana stakeholder atau pemerintah menempatkan masyarakat berdasarkan standar kenormalan. Hal yang dapat saya contohkan adalah perbedaan antara sekolah favorit dengan sekolah luar biasa, dimana dalam sekolah favorit hanya boleh diakses oleh siswa-siswi yang mampu memenuhi standar kenormalan, lalu bagaimana dengan siswa-siswi seperti dalam fil tersebut?. Tidak menutup kemungkinan orang-orang dalam film tersebut jauh lebih mampu da ri orang-orang sekolah favorit.

      Ligar Abdillah
115120113111005
Stigma dan Identitas Sosial
            Sebelum merujuk pada pembahasan mengenai stigma, perlu kita ingat bahwa terdapat beberapa tokoh yang memiliki kontribusi terhadap kajian kesenjangan sosial. Seperti yang kita bahas dalam pertemuan dua minggu yang lalu, Judit Butler menyinggung persoalan tentang gender, ia menganggap bahwa gender merupakan kontruksi melupakan pengalaman individu dan sangat berkenaan dengan performa. Begitu juga dengan Mike Oliver yang memiliki pandangan bahwa tubuh berbeda akan menjadi obyek, artinya ketika terdapat bentuk tubuh individu yang kurang dari sempurna maka akan dianggap sebuah obyek yang aneh. Lingkungan memiliki peran yang sangat signifikan dalam menentukan tubuh individu, dengan kata lain lingkunganlah yang menentukan tubuh sesorang tersebut sempurna atau tidak, disamping itu lingkungan juga yang menentukan dan mengannggap individu menjadi “dis” atau tidak mampu melakukan hal seperti masyarakat pada umumnya. Dari gagasan kedua tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa standar kenormalan dalam kehidupan merupakan ciptaan dari lingkungan, sehingga memicu proses peminggiran terhadap kaum-kaum yang dianggap tidak mampu memenuhi standar kenormalan.
            Sependek pengetahuan saya, stigma merupakan pandangan buruk atau negatif yang dimiliki masyarakat terhadap kaum-kaum tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa stigma bersifat merendahkan atau membedakan kaum-kaum yang tidak mampu memenuhi standar kenormalan. Hal diatas sangat berkenaan dengan identitas individu maupun kelompok, karena pada dasarnya masyarakatlah yang menentukan identitas individu atau kelompok tertentu. Pemebentukan identitas kaum tertentu tersebut berdasarkan isu-isu yang beredar di masyarakat yang diterima begitu saja dan pada akhirnya terkontruksi di benak masyarakat.
            Pada pertemuan lalu terdapat kontribusi gagasan dari Erving Goffman mengenai stigma dan identitas sosial. Mahzab strukturalis memandang masyarakat sebagai kumpulan individu yang memiliki atribut “natural”. Masyarakat juga dianggap sebagai rutinitas hubungan sosial yang mampu mengantisipasi atribut di luar “natural”. Kehadiran suatu hal “lain/the other” dalam masyarakat merupakan wujud dari kategori dan atribut yang melekat pada individu yang disebut sebagai identitas sosial.  Jika saya boleh berasumsi, atribut natural yang dimaksud dalam konteks ini merupakan suatu yang normal, dan atribut yang berada di luar natural merupakan hal yang dianggap tidak normal. Sehingga dapat saya simpulkan bahwa dengan adanya atribut natural tersebut, maka secara langsung maupun tidak langsung telah memunculkan proses kesenjangan sosial, karena pada dasarnya atribut natural merupakan batas kenormalan yang sengaja diciptakan oleh manusia.
            Social identity menurut Goffman dibagi menjadi dua yaitu, virtual social identity dan actual social identity. Virtual social identity merupakan sebuah asumsi yang beredar di benak masyarakat yang sama sekali belum dihubungkan dengan realitas sosia, sehingga asumsi tersebut masih dpertanyakan kebenaraanya dan hanya sebatas prasangka. Sedangkan actual social identity merupakan kategori atau atribut yang realitasnya dapat dibuktikan.
            Goffman menganggap stigma sebagai tanda atau ciri negatif pada seseorang atau kelompok yang diberikan oleh masyarakat. Menurut Goffman terdapat tiga tipe stigma, stigma cirri fisik, stigma terhadap karakter individu yang buruk, stigma terhadap kesukuan yang dapat ditarnsmisikan pada generasi berikutnya.
            Goffman juga memiliki teori mengenai stigma, yaitu stigma dianggap sebagai relasi bahasa. Saya
sangat setuju dengan anggapan tersebut, karena pandangan buruk masyarakat terhadap kaum-kaum
tertentu terjadi karena perseberan asumsi atau isu melalui interaksi sosial yang menggunakan bahasa.
Disamping itu menurut Goffman, stigma merupakan processor untuk mengkonfirmasi ketidakbiasaan
seseorang. Stigma juga dapat memunculkan inferioritas atau rendah diri akibat stigma. Stigma secara
langsung maupun tidak telah menyalahkan atribut yang melekat pada sesorang atau kelompok atas
ketidaksempurnaan sehingga memunculkan diskriminasi. 

  














1 komentar:

  1. setuju mbak ulfa, tapi berbicara tentang stigma goffman terkadang juga menjadi sangat dilematis ketika berbicara konteks mikro atau individual, karena semua individu memiliki anggapan sendiri-sendiri, salah satunya juga anggapan yang negatif. mungkin saya lebih mempermasalahkan ketika stigma tersebut merdampak kepada adanya diskriminasi atau perbedaan perlakuan terhadap yang diberikan stigma, itu yang perlu dirubah,hehe

    BalasHapus