Rabu, 25 Juni 2014

STIGMATISASI ETNIS TIONGHOA (Kelompok 2)



STIGMATISASI ETNIS TIONGHOA
(Analisis Diskriminasi yang dialami oleh Etnis Tionghoa di Indonesia)

Disusun Oleh
Achmad Riza.W (105120100111004), Andry Dwi Ramdani (115120107111018), Peni Eko Ningtias (115120100111016), Ramdani (115120100111036), Rizky Dwi Safitri (115120101111020), Solehhuddin (115120107111043)

A.Pendahuluan
Masyarakat etnis Cina/Tionghoa sebenarnya sudah hadir berabad-abad lalu. Mereka melebur manjadi 'warga setempat' yang memiliki pasang-surut sejarah panjang, meski tak selalu mulus. Sebab, adalah suatu fakta sejarah yang tak terbantah, bahwa warga etnis Cina adalah pendatang (terlepas dari kenyataan bahwa kedatangannya terjadi berabad-abad lampau, sehingga keberadaannya bukan lagi hal baru). Fakta sejarah ini tak bisa dihapus dan harus diterima sebagai bagian integral kehidupan orang Cina di Indonesia. Yang perlu dipersoalkan adalah apakah pendatang tak punya hak di tempat ia tinggal sekarang, terlebih jika telah hidup bergenerasi ratusan tahun di situ? Hak untuk hidup di tempat tinggalnya sekarang secara legal sudah dilindungi undang-undang, terutama karena warga Cina telah memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), lengkap dengan segala hak dan kewajiban yang melekat padanya. Jadi secara sosiologis, posisi warga etnis Tionghoa telah berubah dari pendatang menjadi penduduk dan warga negara.
Ada yang mengatakan bahwa jumlah populasi komunitas etnis Cina di Indonesia adalah nomor tiga terbesar setelah komunitas Jawa dan Sunda. Tapi dari hasil sensus penduduk tahun 2000 dimana pertama kali mencatat latar-belakang etnis seseorang, sesungguhnya komunitas Cina hanyalah nomor 15 dari 101 kelompok etnis yang tercatat di sana. Jumlahnya pun dikatakan hanya sebesar 1.738.936 orang atau 0,86% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia sebanyak 201.092.238 orang (https://karimuncity.wordpress.com). Namun, paling tidak hasil sensus menunjukkan bahwa di 11 propinsi Indonesia, jumlah warga etnis Tionghoa cukup signifikan untuk diperhitungkan sebagai bagian dari masyarakat setempat. Dinyatakan bahwa 26,45% dari jumlah seluruh warga etnis Tionghoa di Indonesia, tinggal di Jakarta yaitu 460.002 orang (5.53% dari seluruh penduduk Jakarta). Begitu juga di Kalimantan Barat, ada 20,30% dari seluruh warga Tionghoa Indonesia (9.46 % dari seluruh penduduk Kalimantan Barat, nomor 3 terbesar setelah etnis Sambas, dan lainnya). Di Bangka-Belitung, warga etnis Tionghoa adalah 11,54% dari seluruh penduduk kepulauan itu, nomor 2 setelah etnis Melayu (http://masadmasrur.blog.co.uk).
Di era Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tercatat dua peristiwa yang dirasakan sebagai pukulan yang menyakitkan bagi masyarakat Cina, yaitu peristiwa G30S PKI tahun 1965 dan kerusuhan Mei 1998. Pilihan dengan identitas Indonesia telah difasilitasi pemerintah Orde Baru yang memberlakukan asimilasi inkorporasi (total) bagi orang Cina untuk menghilangkan identitas Cina-nya dan menjadi Indonesia. Namun demikian motivasi pemberlakuan asimilasi inkorporasi nampaknya lebih bernuansa ‘hukuman’ karena sangkaan keterlibatan orang Cina dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Pada kenyataannya kebijakan tersebut justru memberikan kontribusi terhadap berbagai kerawanan dan gejolak sosial yang memprihatinkan seperti prasangka, kerusuhan-kekerasan massa dengan sasaran etnis Cina. Kebijakan tersebut juga menyisakan trauma bagi golongan minoritas ini , selain akibat berbagai tindakan kekerasan yang dialaminya, juga akibat perlakuan diskriminatif yang membelenggu gerak hidup masyarakat Cina ini. Asimilasi inkorporasi (total) itu sendiri pada kenyaannya telah gagal, sebagaimana asimilasi melting-pot yang pernah diberlakukan di Amerika. Pada kenyataannya tidaklah mungkin untuk meniadakan akar budaya suatu golongan masyarakat begitu saja. Memilih mempertahankan identitas sebagai orang Cina juga bukan persoalan yang mudah, karena ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan.

B. Kerangka Teori
Erving Goffman (Stigma)
Erving Goffman merupakan salah satu tokoh sosiologi aliran Chicago atau disebut sebagai aliran Interaksionisme Simbolik. Salah satu konsep Goffman adalah tentang Stigma dan Identitas Sosial. Stigma bagi Goffman adalah atribut negative yang dikaitkan dengan orang – orang yang dianggap menyimpang oleh orang “normal” (Goffman,1969:1). Hal itu mengidentifikasi bahwa pelabelan tentang sesorang diakibatkan oleh adanya ketidaksamaannya dengan orang – orang yang dianggap sebagai orang normal. Stigma yang diberikan seseorang kepada orang lain seringkali menimbulkan proses pembentukan identitas bagi orang yang dianggap menyimpang atau tidak normal. Namun identitas mereka dibentuk oleh stigma yang diberikan kepada orang lain terhadap dirinya.
Atribut – atribut kenormalan yang terus diproduksi oleh masyarakat seeringkali dibedakan berdasarkan pekerjaan, kondisi fisik ataupun yang lainnya. Adanya stigmatisasi dan pembentukan identastas memberikan implikasi terhadap harapan – harapan normative yang menjadi tuntunan.  Tuntutan terrsebut adalah Identitas Sosial Virtual dan Identitas Sosial Aktual.
Identitas Sosial Virtual bagi Goffman merujuk pada harus seperti apa orang tersebut. Identitas ini didasarkan pada streotipe yang dilekatkan kepada orang tersebut. Sedangkan Identitas Sosial Aktual merujuk pada seperti apa seseorang secara actual. Identitas Sosial Actual didasarkan pada atribut yang telah menempel pada diri orang terssebut (Ritzer,2012: 644)
Goffman juga menjelaskan bahwa dalam kasus stigma ada dua bentuk stigma yaitu discredit stigma dan discreditable stigma. Discredit stigma merupakan perbedaan antara aktor (orang yang dianggap menyimpang) yang dapat diketahui, misalnya: orang – orang dengan cacat fisik seperti orang – orang yang kehilangan anggota badan, lumpuh dan sebagainya. Sedangkan discreditable stigma merupakan perbedaan antara aktor yang ditak bisa ketetahui secara langsung. Misalnya: orang – orang homoseksual, Lesbian dan lain – lain (Ritzer dan Douglas,2003:303-304).
Masalah descreditabel stigma sangat berkaitan erat dengan dramaturgi. Dramaturgi merupakan seperti teatrikal atau permainan drama dalam panggung. Teori ini menjelaskan bahwa manusia mamainkan sandiwara yang berbeda seperti bermain drama. Dengan bermain sandiwara diharapkan dapat mengendalikan “penonton” dan menarik peneonton sesuai dengan yang mereka inginkan. Hal ini diimplementasikan untuk menghindari terjadinya kekacauan.
Analogi teatrikal yang dicoba dibangun oleh Goffman dibedakan menjadi dua yaitu panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Front Stage adalah bagian dari sandiwara yang bersifat kaku dan umum untuk mendefinisikan situasi bagi orang – orang yang mengamati atau dengan kata lain dalam konteks ini sang aktor mencoba memainkan peran yang dianggap ideal (Ritzer, 2012:603). Sedangkan  Back Stage merupakan tempat istirahat para aktor untuk mempersiapkan diri bagi pertunjukkan mereka. Pada area ini aktor atai pemain dapat meninggalkan peran mereka dan menjadi dirinya sendiri (Ritzer, 2012:370)
Dramaturgis sangat berkaitan dengan discreditable stigma, keterkaitan tersebut adalah berupa informasi sedemikian rupa sehingga masalahnya tidak diketahui oleh orang lain. Misalnya saja seorang homoseksual, homoseksual merupakan salah satu contoh discreditable stigma, “ketidaknormalan” seseorang tidak dapat diketahui secara langsung. Jadi apabila homosek tersebut tidak ingin mendapat stigma dari masyarakat tentang kondisinya maka ia bisa bermain dramaturgis. Fungsi dramaturgis adalah untuk menghindari terjadinya kekacauan.
Stigma dibangun berdasarkan tiga aspek, diantaranya:
1)      Aspek fisik, merupakan aspek yang dapat secara langsung dilihat oleh orang lain. Aspek ini berhubungan dengan cacat tubuh yang dialami seseorang.
2)      Aspek karakter penderita yaitu sifat yang dianggap negative karakter individu yang umum diketahui seperti bekas narapidana atau bekas pasien rumah sakit.
3)      Aspek tribal seperti: suku bangsa dan agama (factor keturunan dan karena factor keluarga). (Arubben, 2012:7).
Stigmatisasi atau pandangan negative terhadap orang lain terdiri dari beberapa kompenen diantaranya:
1.      Labelling, merupakan pembedaan dan pemberian label kepada orang lain berdasarkan perbedaan yang dia miliki.
2.      Stereotyping, pelabelan negative terhadap orang lain didasarkan pada kbudayaan dominan.
3.      Separation, pemisahan antara “kita” dan mereka (orang yang terstikma), sehingga pelabelan yang diberikan oleh “kita” kepada “mereka” menjadi pembenaran.
4.      Deskriminasi, kerugian yang didapatkan oleh orang yang mendapat stigma, diantaranya adalah kehilangan status atau mengalami penurunan status. Adanya stigma yang yang melekat terhadap “mereka” menyebabkan terrjadinya perlakuan yang tidak adil bagi individu tersebut dan terbatasnya akses atau kesempatan karena stigma itu sudah melekat pada diri individu yang dikuatkan oleh adanya pelabelan yang terus diproduksi dan budaya dominan.
                                                                                                                                               
C. Kasus
            Etnis Tionghowa merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Indonesia. Keberadaan mereka tidak bisa dipungkiri menjadi bagian yang intergral dalam ssejarah NKRI. Fakta ini memang tidak bisa dihapuskan karena sekarang keberadaan mereka di Indonesia telah dilindungi oleh undang – undang, terutama karena mereka memilih menjadi Warga Negara Indonesia. Sehingga latar mereka yang dahulunya pendatang menjadi penduduk dan warga Negara Indonesia.
            Sejak tahun 1960 masyarakat Cina yang berada di Indonesia telah mengalami bayak peristiwa yang berdampak pada proses pendiskriminasian terhadap orang Cina peranakan atau Tionghoa di Indonesia. Peristiwa yang dialami adalah peristiwa G30S PKI dan kerusuhan tahun 1998. Pada masa orde baru ini bayak kebijakan yang diterapkan untuk menghilangkan identitas Cinanya dan menjadi warga Negara Indonesia. Hal ini terbukti ketika masa pemberantasan PKI di Indonesia, orang – orang Cina harus mengganti namanya menjadi nama Jawa. Kebijakannya ini diambil oleh pemerintah karena pemerintah berprasangka bahwa ada keterlibatan orang Cina dalam pemberontakan TKI 1968. Namun pada keyataannya kebijakan tersebut justru menimbulkan trauma, dan memberikan keterbatasan atau diskriminatif yang membelunggu bagi masyarakat cina untuk mengakses pelayanan public.
            Hal ini menyebabkan Masyarakat Cina dihadapkan dalam dua pilihan pertama mereka harus mengganti kewarganegaraan dan identitasnya menjadi warga Indonesia. Kedua mereka tetap mempertahankan identitasnya, namun akan menyebabkan proses stigma kepada masyarakat cina. Kondisi ini disebabkan oleh citra orang Cina yang kurang baik pada birokrasi.
            Walaupun mereka sudah menjadi warga Negara dengan legitimasi KTP Indonesia dan menetap di Indonesia mereka tetap dijadikan sebagai kelompok minoritas dan peduli terhadap golongannya saja. Tuduhan ini berupa tuduhan yang menyatakan bahwa orang cina berusaha menggunakan kekuasaannya untuk menumpuk materi untuk dirinya sendiri dan kelompoknya. Bahkan ada yang menyatakan bahwa kelompok cina membuat pemiskinan bagi masyarakat pribumi. tuduhan yang diberikan kepada orang cina dilandaskan pada beberpa factor seperti adanya kesenjangan social, masyarakat cina jarang menjalin komunikasi dengan masyarakat pribumi, mempunyai tingkat materi yang lebih baik disbanding masyarakat pribumi. Selain itu masyarakat cina juga cenderung apatis karena kurang ikut berpartisipasi.
            Namun hal lain yang mendasari adalah karena etnis tionghoa merupakan etnis yang terkenal dengan cara berdagang yang pandai dibandingkan dengan entitas yang lain. Hal ini disebabkan pada zaman kolonialisme orang cina berfungsi sebagai perantara natara Masyarakat Eropa dan pribumi.
            Adanya pembatasan akses terhadap masyarakat tionghoa yang diterapkan dalam bidang politik secara tidak langsung berdampak pada pembedaan strata. Pada zaman kolonialisme stata yang dibentuk ada 3 yaitu (http://masadmasrur.blog.co.uk/):
 1. Stata pertama : golongan bangsa eropa termasuk orang belanda
(menduduki system pemerintahan dan memimpin rakyat pribumi)
2. Stata kedua : golongan orang – orang pendatang dari Asia (mayoritas adalah kaum tionghoa yang mencari penghasilan dengan berdagang).
3. Golongan ketiga : golongan kaum pribumi (merupakan budak, karena pada zaman kolonialisme orang Indonesia merupakan orang yang dijajah).
            Pada zaman orba kehidupan orang Tionghoa dipisahkan dengan orang pribumi yang berupa pemisahan tempat tinggal. orang Cina mempunyai tempat tinggal yang jauh dari orang pribumi sehingga sering kita kenal dengan kampong pecinaan. Penggantian nama cina ke Indonesia juga kerap dilakukan oleh orang Cina agar merreka dapat terintegrasi dengan masyarakat Indonesia, Misalnya penggantian nama Cio Hoa ke Nanang Kurniawan.
            Secara fisik orang Tionghowa mempunyai bentuk fisik yang berbeda engan orang Indonesia. Berbedaan itu dapat dilihat dari bentuk mata yang sipit, kulit yang putih dan rambut lurus. Hal ini disebabkan karena orang Tionghoa atau etnis cina termasuk Ras Mongoloid. Sedangkan orang pribumi mempunyai ciri fisik dengan kulit sawo matang, rambut keriting, dan mata yang bulat. Ciri orang pribumi ini didasi pada ras Malayan Mongoloid. Adanya perbedaan bentuk tubuh menyebabkan orang pribumi memberikan julukan kepada orang Cina dengan julukan sipit, sinyo, koko dan sebagainya.

D. Analisis
            Etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis yang hidup di zaman kolonialisme. Keberadaannya pada zaman itu mempunyai fungsi sebagai perantara antara orang eropa dengan orang pribumi. Keberadaan orang Tionghoa di Indonesia telah mengalami beberapa kejadian diantaranya kejadian yang terjadi pada tahun 1960 an yaitu masalah G30S PKI. Kejadian tersebut berpengaruh terhadap keberadaan orang – orang Tionghoa di Indonesia. Diantara orang – orang Tionghoa dan keturunan Cina perenakan harus mengubah identitasnya menjadi identitas bangsa Indonesia. Cara yang dilakukan adalah orang cina harus mengubah nama cinanya dengan nama jawa, selain itu orang cina juga harus mempunyai KTP Indonesia. Kejadian pada masa kolonialisme yang terjadi pada masyarakat Cina berpengaruh hinga sekarang. Pasalnya pada masa Orba orang cina juga mempunyai tempat tinggal yang harus terpisah dengan perumahan orang pribumi.
            Kondisi orang Cina pada masa orba sangat berpengaruh terhadap kondisi social atau kehidupan orang Cina sehingga stigma – stigma serig terjadi pada masyarakat Tionghoa atau Cina peranakan. Bagi goffman stigma yang terbentuk terhadap orang Tionghoa merupakan  aspek karakter penderitaan. Stigma orang tionghoa yang merupakan Aspek karakter karena hal disebutkan oleh adanya sesuatu yang umum diketahui. Kondisi ini disebabkan karena orang tionghoa merupakan stigma yang terbentuk dari konteks sejarah orang tionghoa di Indonesia.
            Selain itu stigma yang terbentuk kepada orang Tionghoa merupakan orang apatis yang tidak mempunyai partisipasi dalam bidang politik. Mereka juga dianggap sebagai penguasa di perdagangan. Stigma bagi Goffman sendiri merupakan pandangan negative terhadap seseorang karena adanya perbedaan bentuk fisik yang hal itu dianggap orang normal dianggap sebagai orang yang menyimpang.
            Stigma yang diberikan kepada mereka dialamatkan kepada mereka karena memiliki bentuk fisik yang berbeda dengan orang pribumi yaitu bentuk mata dan kulit yang berbeda. Orang – orang cina atau Tionghoa mempunyai bentuk mata yang sipit dan kulit yang lebih putih dibandingkan dengan orang pribumi. Jadi selain aspek karakter penderita, stigma yang terbentuk pada orang tionghoa juga disebabkan oleh karakter fisik (Arubben, 2012:7)
   Adanya proses stigmatisasi yang dilekatkan pada orang Cina seperti “Cina Gosong” memberikan pengaruh terhadap kondisi psikologis dan social pada diri aktor. Stigma pada orang Cina pada masa orba juga memberikan implikasi terhadap keterbatas akses orang Tionghoa dalam memperoleh pelayanan public. Sehingga kondisi ini juga mengakibatkan terjadinya proses diskriminasi terhadap orang Tionghoa itu sendiri. Stigma bagi Goffman sendiri juga terbentuk karena ditengarai oleh konteks kenormalan karena konstruk yang dibuat oleh masyarakat.
            Diskriminasi yang terjadi pada orang Tionghoa juga tidak hanya terjadi pada masa orba tetapi juga terjadi pada masa sekarang. Misalnya saja orang Tionghoa yang menikah dengan orang pribumi dengan keturunan yang mendapatkan kulit hitam dan mata sipit maka dia akan dijuluki sebagai cino gosong. Deskriminasi ini dapat digambarkan dengan:

Stigma yang dilekatkan kepada orang Tionghoa lama kelamaan juga akan membentuk identitas pada masyarakat tionghoa tadiKarena pada dasarnya pembentukan identitas juga disebabkan oleh konstruksi social masyarakat
Namun jika dibenturkan dengan kondisi sekarang, dimana etnis Cina atau Tionghoa mulai terintergral dengan masyarakat pribumi yaitu dengan maraknya pernikahan antara orang cina dan orang pribumi. Bagi Goffman stigma yang muncul pada orang cino ini dapat diminimalisir dengan melakukan Dramaturgis. Dramaturgis yang merupakan permainan sandiwara dengan terdiri dari dua aspek yaitu front stage dan back stage. Front Stage merupakan panggung depan dimana orang – orang bermain sandiwara dengan tidak menjadi dirinya sendiri. sedangkan back stage  panggung belakang, dimana orang tersebut dapat melepaskan perannya dan bermain sebagai dirinya sendiri (Ritzer, 2012: 603).

E. Daftar Pustaka
Anonimous. 2008. Orang Cina. Available at: https://karimuncity.wordpress.com/category/apa-nak-jadi/. Diakses pada 22 juni 2014
Anonimous. 2008. Pengakuan Terhadap Keberadaan Etnis Cina. Available at: http://masadmasrur.blog.co.uk/2008/05/31/pengakuan-terhadap-keberadaan-etnis-cina-4249874/. Diakses pada 22 juni 2014
Ritzer, George. 1980. Sosiologi Ilmu Pengetahuan dan Berparadigma Ganda. Jakarta: CV. Rajawali.
Ritzer, George & Goodman, Douglas. 2011. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
 









4 komentar:

  1. yang menarik adalah, "menangnya" wacana ras Tionghoa yang telah menggeser kata-kata Cina yang dianggapnya kasar, rasis, melanggar HAM dst.....,
    bagaimana pendapat kaliaaaan?

    BalasHapus
  2. yang menarik juga soal lagi-lagi sepertinya aspek kapitalisme dengan kekuatan 'magisnya' memutar fenomena bahwa sekarang yang merasa tereksklusi justru orang-orang pribumi... tapi ini masih pandangan yang sempit hanya berdasarkan pengalaman

    BalasHapus
  3. Cina lo dominan di sektor perdagangan Indonesia

    BalasHapus
  4. etnis tionghoa menguasai sektor perdagangan karena pada masa orde baru di larang untuk berkontribusi di bidang politik oleh Soeharto. karena di larang untuk berkontribusi di bidang politik maka mereka memfokuskan di bidang perdagangan. Maka dari itu etnis tersebut bisa sukses menguasai sektor perdagangan di Indonesia. Namun sekarang faktanya diskriminasi terhadap etnis tionghoa sudah sedikit berkurang. hal ini di buktikan bahwa ada etnis tionghoa yang menjadi menteri negara seperti Marie Elka Pangestu, Kwik kian Gie, ada yang menjadi wakil gubernur seperti Basuki TJahaya Purnama.

    BalasHapus