STIGMATISASI
ETNIS TIONGHOA
(Analisis Diskriminasi yang dialami
oleh Etnis Tionghoa di Indonesia)
Disusun Oleh
Achmad
Riza.W (105120100111004), Andry Dwi Ramdani (115120107111018), Peni Eko Ningtias
(115120100111016), Ramdani (115120100111036), Rizky Dwi Safitri
(115120101111020), Solehhuddin (115120107111043)
A.Pendahuluan
Masyarakat etnis
Cina/Tionghoa sebenarnya sudah hadir berabad-abad lalu. Mereka melebur manjadi
'warga setempat' yang memiliki pasang-surut sejarah panjang, meski tak selalu
mulus. Sebab, adalah suatu fakta sejarah yang tak terbantah, bahwa warga etnis
Cina adalah pendatang (terlepas dari kenyataan bahwa kedatangannya terjadi
berabad-abad lampau, sehingga keberadaannya bukan lagi hal baru). Fakta sejarah
ini tak bisa dihapus dan harus diterima sebagai bagian integral kehidupan orang
Cina di Indonesia. Yang perlu dipersoalkan adalah apakah pendatang tak punya
hak di tempat ia tinggal sekarang, terlebih jika telah hidup bergenerasi
ratusan tahun di situ? Hak untuk hidup di tempat tinggalnya sekarang secara
legal sudah dilindungi undang-undang, terutama karena warga Cina telah memilih
menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), lengkap dengan segala hak dan kewajiban
yang melekat padanya. Jadi secara sosiologis, posisi warga etnis Tionghoa telah
berubah dari pendatang menjadi penduduk dan warga negara.
Ada yang mengatakan
bahwa jumlah populasi komunitas etnis Cina di Indonesia adalah nomor tiga
terbesar setelah komunitas Jawa dan Sunda. Tapi
dari hasil sensus penduduk tahun 2000 dimana pertama kali mencatat
latar-belakang etnis seseorang, sesungguhnya komunitas Cina hanyalah nomor 15
dari 101 kelompok etnis yang tercatat di sana. Jumlahnya pun dikatakan hanya
sebesar 1.738.936 orang atau 0,86% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia
sebanyak 201.092.238 orang (https://karimuncity.wordpress.com).
Namun, paling tidak hasil sensus menunjukkan bahwa di 11 propinsi Indonesia,
jumlah warga etnis Tionghoa cukup signifikan untuk diperhitungkan sebagai
bagian dari masyarakat setempat. Dinyatakan bahwa 26,45% dari jumlah seluruh
warga etnis Tionghoa di Indonesia, tinggal di Jakarta yaitu 460.002 orang
(5.53% dari seluruh penduduk Jakarta). Begitu juga di Kalimantan Barat, ada
20,30% dari seluruh warga Tionghoa Indonesia (9.46 % dari seluruh penduduk
Kalimantan Barat, nomor 3 terbesar setelah etnis Sambas, dan lainnya). Di
Bangka-Belitung, warga etnis Tionghoa adalah 11,54% dari seluruh penduduk
kepulauan itu, nomor 2 setelah etnis Melayu (http://masadmasrur.blog.co.uk).
Di era Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tercatat dua peristiwa yang
dirasakan sebagai pukulan yang menyakitkan bagi masyarakat Cina, yaitu
peristiwa G30S PKI tahun 1965 dan kerusuhan Mei 1998. Pilihan dengan identitas
Indonesia telah difasilitasi pemerintah Orde Baru yang memberlakukan asimilasi
inkorporasi (total) bagi orang Cina untuk menghilangkan identitas Cina-nya dan
menjadi Indonesia. Namun demikian motivasi pemberlakuan asimilasi inkorporasi
nampaknya lebih bernuansa ‘hukuman’ karena sangkaan keterlibatan orang Cina
dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Pada kenyataannya kebijakan tersebut justru
memberikan kontribusi terhadap berbagai kerawanan dan gejolak sosial yang
memprihatinkan seperti prasangka, kerusuhan-kekerasan massa dengan sasaran
etnis Cina. Kebijakan tersebut juga menyisakan trauma bagi golongan minoritas
ini , selain akibat berbagai tindakan kekerasan yang dialaminya, juga akibat
perlakuan diskriminatif yang membelenggu gerak hidup masyarakat Cina ini.
Asimilasi inkorporasi (total) itu sendiri pada kenyaannya telah gagal,
sebagaimana asimilasi melting-pot yang pernah diberlakukan di Amerika. Pada
kenyataannya tidaklah mungkin untuk meniadakan akar budaya suatu golongan
masyarakat begitu saja. Memilih mempertahankan identitas sebagai orang Cina
juga bukan persoalan yang mudah, karena ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra
yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi
pemerintahan.
B.
Kerangka Teori
Erving Goffman (Stigma)
Erving
Goffman merupakan salah satu tokoh sosiologi aliran Chicago
atau disebut sebagai aliran Interaksionisme Simbolik.
Salah satu konsep Goffman adalah tentang Stigma dan Identitas Sosial. Stigma
bagi Goffman adalah atribut negative yang dikaitkan dengan orang – orang yang
dianggap menyimpang oleh orang “normal” (Goffman,1969:1).
Hal itu mengidentifikasi bahwa pelabelan tentang
sesorang diakibatkan oleh adanya ketidaksamaannya dengan orang – orang yang
dianggap sebagai orang normal. Stigma yang diberikan seseorang kepada orang
lain seringkali menimbulkan proses pembentukan identitas bagi orang yang
dianggap menyimpang atau tidak normal. Namun identitas mereka dibentuk oleh stigma
yang diberikan kepada orang lain terhadap dirinya.
Atribut –
atribut kenormalan yang terus diproduksi oleh masyarakat seeringkali dibedakan
berdasarkan pekerjaan, kondisi fisik ataupun yang lainnya. Adanya stigmatisasi
dan pembentukan identastas memberikan implikasi terhadap harapan – harapan normative yang
menjadi tuntunan. Tuntutan terrsebut
adalah Identitas Sosial Virtual dan Identitas Sosial Aktual.
Identitas Sosial Virtual bagi Goffman merujuk pada harus seperti apa orang
tersebut. Identitas ini didasarkan pada streotipe yang dilekatkan kepada orang
tersebut. Sedangkan Identitas Sosial
Aktual merujuk pada seperti apa seseorang secara actual. Identitas Sosial Actual didasarkan pada
atribut yang telah menempel pada diri orang terssebut (Ritzer,2012: 644)
Goffman
juga menjelaskan bahwa dalam kasus stigma ada dua bentuk stigma yaitu discredit stigma dan discreditable stigma. Discredit stigma merupakan perbedaan
antara aktor (orang yang dianggap menyimpang) yang dapat diketahui, misalnya:
orang – orang dengan cacat fisik seperti orang – orang yang kehilangan anggota
badan, lumpuh dan sebagainya. Sedangkan discreditable
stigma merupakan perbedaan antara aktor yang ditak bisa ketetahui secara
langsung. Misalnya: orang – orang homoseksual, Lesbian dan lain – lain (Ritzer
dan Douglas,2003:303-304).
Masalah descreditabel
stigma sangat berkaitan erat dengan dramaturgi. Dramaturgi merupakan seperti
teatrikal atau permainan drama dalam panggung. Teori ini menjelaskan bahwa
manusia mamainkan sandiwara yang berbeda seperti bermain drama. Dengan bermain
sandiwara diharapkan dapat mengendalikan “penonton” dan menarik peneonton
sesuai dengan yang mereka inginkan. Hal ini diimplementasikan untuk menghindari
terjadinya kekacauan.
Analogi teatrikal yang dicoba dibangun oleh Goffman
dibedakan menjadi dua yaitu panggung depan (front
stage) dan panggung belakang (back
stage). Front Stage adalah bagian
dari sandiwara yang bersifat kaku dan umum untuk mendefinisikan situasi bagi
orang – orang yang mengamati atau dengan kata lain dalam konteks ini sang aktor
mencoba memainkan peran yang dianggap ideal (Ritzer, 2012:603). Sedangkan Back
Stage merupakan tempat istirahat para aktor untuk mempersiapkan diri bagi
pertunjukkan mereka. Pada area ini aktor atai pemain dapat meninggalkan peran
mereka dan menjadi dirinya sendiri (Ritzer, 2012:370)
Dramaturgis sangat berkaitan dengan discreditable stigma, keterkaitan tersebut adalah berupa informasi sedemikian rupa
sehingga masalahnya tidak diketahui oleh orang lain. Misalnya saja seorang
homoseksual, homoseksual merupakan salah satu contoh discreditable stigma, “ketidaknormalan” seseorang tidak dapat
diketahui secara langsung. Jadi apabila homosek tersebut tidak ingin mendapat
stigma dari masyarakat tentang kondisinya maka ia bisa bermain dramaturgis.
Fungsi dramaturgis adalah untuk menghindari terjadinya kekacauan.
Stigma dibangun berdasarkan tiga aspek, diantaranya:
1)
Aspek fisik, merupakan aspek yang dapat secara
langsung dilihat oleh orang lain. Aspek ini berhubungan dengan cacat tubuh yang
dialami seseorang.
2)
Aspek karakter penderita yaitu sifat yang dianggap
negative karakter individu yang umum diketahui seperti bekas narapidana atau
bekas pasien rumah sakit.
3)
Aspek tribal seperti: suku bangsa dan agama (factor
keturunan dan karena factor keluarga). (Arubben, 2012:7).
Stigmatisasi atau pandangan negative terhadap orang lain terdiri dari
beberapa kompenen diantaranya:
1. Labelling, merupakan pembedaan dan pemberian
label kepada orang lain berdasarkan perbedaan yang dia miliki.
2. Stereotyping, pelabelan negative terhadap orang
lain didasarkan pada kbudayaan dominan.
3. Separation, pemisahan antara “kita” dan mereka
(orang yang terstikma), sehingga pelabelan yang diberikan oleh “kita” kepada
“mereka” menjadi pembenaran.
4. Deskriminasi, kerugian yang didapatkan oleh
orang yang mendapat stigma, diantaranya adalah kehilangan status atau mengalami
penurunan status. Adanya stigma yang yang melekat terhadap “mereka” menyebabkan
terrjadinya perlakuan yang tidak adil bagi individu tersebut dan terbatasnya
akses atau kesempatan karena stigma itu sudah melekat pada diri individu yang
dikuatkan oleh adanya pelabelan yang terus diproduksi dan budaya dominan.
C.
Kasus
Etnis
Tionghowa merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Indonesia.
Keberadaan mereka tidak bisa dipungkiri menjadi bagian yang intergral dalam
ssejarah NKRI. Fakta ini memang tidak bisa dihapuskan karena sekarang
keberadaan mereka di Indonesia telah dilindungi oleh undang – undang, terutama
karena mereka memilih menjadi Warga Negara Indonesia. Sehingga latar mereka
yang dahulunya pendatang menjadi penduduk dan warga Negara Indonesia.
Sejak
tahun 1960 masyarakat Cina yang berada di Indonesia telah mengalami bayak
peristiwa yang berdampak pada proses pendiskriminasian terhadap orang Cina
peranakan atau Tionghoa di Indonesia. Peristiwa yang dialami adalah peristiwa
G30S PKI dan kerusuhan tahun 1998. Pada masa orde baru ini bayak kebijakan yang
diterapkan untuk menghilangkan identitas Cinanya dan menjadi warga Negara
Indonesia. Hal ini terbukti ketika masa pemberantasan PKI di Indonesia, orang –
orang Cina harus mengganti namanya menjadi nama Jawa. Kebijakannya ini diambil
oleh pemerintah karena pemerintah berprasangka bahwa ada keterlibatan orang
Cina dalam pemberontakan TKI 1968. Namun pada keyataannya kebijakan tersebut
justru menimbulkan trauma, dan memberikan keterbatasan atau diskriminatif yang
membelunggu bagi masyarakat cina untuk mengakses pelayanan public.
Hal
ini menyebabkan Masyarakat Cina dihadapkan dalam dua pilihan pertama mereka
harus mengganti kewarganegaraan dan identitasnya menjadi warga Indonesia. Kedua
mereka tetap mempertahankan identitasnya, namun akan menyebabkan proses stigma
kepada masyarakat cina. Kondisi ini disebabkan oleh citra orang Cina yang
kurang baik pada birokrasi.
Walaupun
mereka sudah menjadi warga Negara dengan legitimasi KTP Indonesia dan menetap
di Indonesia mereka tetap dijadikan sebagai kelompok minoritas dan peduli
terhadap golongannya saja. Tuduhan ini berupa tuduhan yang menyatakan bahwa
orang cina berusaha menggunakan kekuasaannya untuk menumpuk materi untuk
dirinya sendiri dan kelompoknya. Bahkan ada yang menyatakan bahwa kelompok cina
membuat pemiskinan bagi masyarakat pribumi. tuduhan yang diberikan kepada orang
cina dilandaskan pada beberpa factor seperti adanya kesenjangan social,
masyarakat cina jarang menjalin komunikasi dengan masyarakat pribumi, mempunyai
tingkat materi yang lebih baik disbanding masyarakat pribumi. Selain itu
masyarakat cina juga cenderung apatis karena kurang ikut berpartisipasi.
Namun
hal lain yang mendasari adalah karena etnis tionghoa merupakan etnis yang
terkenal dengan cara berdagang yang pandai dibandingkan dengan entitas yang
lain. Hal ini disebabkan pada zaman kolonialisme orang cina berfungsi sebagai
perantara natara Masyarakat Eropa dan pribumi.
Adanya
pembatasan akses terhadap masyarakat tionghoa yang diterapkan dalam bidang politik
secara tidak langsung berdampak pada pembedaan strata. Pada zaman kolonialisme stata
yang dibentuk ada 3 yaitu (http://masadmasrur.blog.co.uk/):
1. Stata
pertama : golongan bangsa eropa termasuk orang belanda
(menduduki
system pemerintahan dan memimpin rakyat pribumi)
2.
Stata kedua : golongan orang – orang pendatang dari Asia (mayoritas adalah kaum
tionghoa yang mencari penghasilan dengan berdagang).
3.
Golongan ketiga : golongan kaum pribumi (merupakan budak, karena pada zaman
kolonialisme orang Indonesia merupakan orang yang dijajah).
Pada
zaman orba kehidupan orang Tionghoa dipisahkan dengan orang pribumi yang berupa
pemisahan tempat tinggal. orang Cina mempunyai tempat tinggal yang jauh dari
orang pribumi sehingga sering kita kenal dengan kampong pecinaan. Penggantian
nama cina ke Indonesia juga kerap dilakukan oleh orang Cina agar merreka dapat
terintegrasi dengan masyarakat Indonesia, Misalnya penggantian nama Cio Hoa ke
Nanang Kurniawan.
Secara
fisik orang Tionghowa mempunyai bentuk fisik yang berbeda engan orang
Indonesia. Berbedaan itu dapat dilihat dari bentuk mata yang sipit, kulit yang
putih dan rambut lurus. Hal ini disebabkan karena orang Tionghoa atau etnis
cina termasuk Ras Mongoloid. Sedangkan orang pribumi mempunyai ciri fisik dengan
kulit sawo matang, rambut keriting, dan mata yang bulat. Ciri orang pribumi ini
didasi pada ras Malayan Mongoloid. Adanya perbedaan bentuk tubuh menyebabkan
orang pribumi memberikan julukan kepada orang Cina dengan julukan sipit, sinyo,
koko dan sebagainya.
D.
Analisis
Etnis Tionghoa
merupakan salah satu etnis yang hidup di zaman kolonialisme. Keberadaannya pada
zaman itu mempunyai fungsi sebagai perantara antara orang eropa dengan orang
pribumi. Keberadaan orang Tionghoa di Indonesia telah mengalami beberapa
kejadian diantaranya kejadian yang terjadi pada tahun 1960 an yaitu masalah
G30S PKI. Kejadian tersebut berpengaruh terhadap keberadaan orang – orang
Tionghoa di Indonesia. Diantara orang – orang Tionghoa dan keturunan Cina
perenakan harus mengubah identitasnya menjadi identitas bangsa Indonesia. Cara
yang dilakukan adalah orang cina harus mengubah nama cinanya dengan nama jawa,
selain itu orang cina juga harus mempunyai KTP Indonesia. Kejadian pada masa
kolonialisme yang terjadi pada masyarakat Cina berpengaruh hinga sekarang.
Pasalnya pada masa Orba orang cina juga mempunyai tempat tinggal yang harus
terpisah dengan perumahan orang pribumi.
Kondisi
orang Cina pada masa orba sangat berpengaruh terhadap kondisi social atau
kehidupan orang Cina sehingga stigma – stigma serig terjadi pada masyarakat
Tionghoa atau Cina peranakan. Bagi goffman stigma yang terbentuk terhadap orang
Tionghoa merupakan aspek karakter
penderitaan. Stigma orang tionghoa yang merupakan Aspek karakter karena hal
disebutkan oleh adanya sesuatu yang umum diketahui. Kondisi ini disebabkan
karena orang tionghoa merupakan stigma yang terbentuk dari konteks sejarah
orang tionghoa di Indonesia.
Selain
itu stigma yang terbentuk kepada orang Tionghoa merupakan orang apatis yang tidak
mempunyai partisipasi dalam bidang politik. Mereka juga dianggap sebagai
penguasa di perdagangan. Stigma bagi Goffman sendiri merupakan pandangan
negative terhadap seseorang karena adanya perbedaan bentuk fisik yang hal itu
dianggap orang normal dianggap sebagai orang yang menyimpang.
Stigma
yang diberikan kepada mereka dialamatkan kepada mereka karena memiliki bentuk
fisik yang berbeda dengan orang pribumi yaitu bentuk mata dan kulit yang
berbeda. Orang – orang cina atau Tionghoa mempunyai bentuk mata yang sipit dan
kulit yang lebih putih dibandingkan dengan orang pribumi. Jadi selain aspek
karakter penderita, stigma yang terbentuk pada orang tionghoa juga disebabkan
oleh karakter fisik (Arubben, 2012:7)
Adanya
proses stigmatisasi yang dilekatkan pada orang Cina seperti “Cina Gosong”
memberikan pengaruh terhadap kondisi psikologis dan social pada diri aktor.
Stigma pada orang Cina pada masa orba juga memberikan implikasi terhadap
keterbatas akses orang Tionghoa dalam memperoleh pelayanan public. Sehingga
kondisi ini juga mengakibatkan terjadinya proses diskriminasi terhadap orang
Tionghoa itu sendiri. Stigma bagi Goffman sendiri juga terbentuk karena
ditengarai oleh konteks kenormalan karena konstruk yang dibuat oleh masyarakat.
Diskriminasi
yang terjadi pada orang Tionghoa juga tidak hanya terjadi pada masa orba tetapi
juga terjadi pada masa sekarang. Misalnya saja orang Tionghoa yang menikah
dengan orang pribumi dengan keturunan yang mendapatkan kulit hitam dan mata
sipit maka dia akan dijuluki sebagai cino gosong. Deskriminasi ini dapat
digambarkan dengan:
Stigma yang dilekatkan kepada orang
Tionghoa lama kelamaan juga akan membentuk identitas pada masyarakat tionghoa
tadiKarena pada dasarnya pembentukan identitas juga disebabkan oleh konstruksi
social masyarakat
Namun jika dibenturkan
dengan kondisi sekarang, dimana etnis Cina atau Tionghoa mulai terintergral
dengan masyarakat pribumi yaitu dengan maraknya pernikahan antara orang cina
dan orang pribumi. Bagi Goffman stigma yang muncul pada orang cino ini dapat
diminimalisir dengan melakukan Dramaturgis. Dramaturgis yang merupakan
permainan sandiwara dengan terdiri dari dua aspek yaitu front stage dan back
stage. Front Stage merupakan panggung depan dimana orang – orang bermain
sandiwara dengan tidak menjadi dirinya sendiri. sedangkan back stage panggung belakang, dimana orang tersebut
dapat melepaskan perannya dan bermain sebagai dirinya sendiri (Ritzer, 2012:
603).
E.
Daftar Pustaka
Anonimous. 2008. Orang
Cina. Available at: https://karimuncity.wordpress.com/category/apa-nak-jadi/. Diakses pada 22 juni 2014
Anonimous. 2008. Pengakuan
Terhadap Keberadaan Etnis Cina.
Available at: http://masadmasrur.blog.co.uk/2008/05/31/pengakuan-terhadap-keberadaan-etnis-cina-4249874/.
Diakses pada 22 juni 2014
Ritzer, George. 1980. Sosiologi Ilmu Pengetahuan
dan Berparadigma Ganda. Jakarta: CV. Rajawali.
Ritzer, George & Goodman, Douglas.
2011. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Kencana
yang menarik adalah, "menangnya" wacana ras Tionghoa yang telah menggeser kata-kata Cina yang dianggapnya kasar, rasis, melanggar HAM dst.....,
BalasHapusbagaimana pendapat kaliaaaan?
yang menarik juga soal lagi-lagi sepertinya aspek kapitalisme dengan kekuatan 'magisnya' memutar fenomena bahwa sekarang yang merasa tereksklusi justru orang-orang pribumi... tapi ini masih pandangan yang sempit hanya berdasarkan pengalaman
BalasHapusCina lo dominan di sektor perdagangan Indonesia
BalasHapusetnis tionghoa menguasai sektor perdagangan karena pada masa orde baru di larang untuk berkontribusi di bidang politik oleh Soeharto. karena di larang untuk berkontribusi di bidang politik maka mereka memfokuskan di bidang perdagangan. Maka dari itu etnis tersebut bisa sukses menguasai sektor perdagangan di Indonesia. Namun sekarang faktanya diskriminasi terhadap etnis tionghoa sudah sedikit berkurang. hal ini di buktikan bahwa ada etnis tionghoa yang menjadi menteri negara seperti Marie Elka Pangestu, Kwik kian Gie, ada yang menjadi wakil gubernur seperti Basuki TJahaya Purnama.
BalasHapus