Rabu, 25 Juni 2014

Respon Paper Individu ( Evan Okta Hendrawan Kelompok 6 )

Evan Okta Harendrawan 
105120100111010

Respon Paper Kesenjangan dan Ekslusi Sosial

    Eksklusi sosial pertama kali muncul di Perancis, banyak definisi tentang apa itu eksklusi sosial dan bila menurut sepengetahuan dan sepemahan saya tentang eksklusi sosial merupakan suatu peminggiran dan pengucilan masyarakat terhadap apa yang dinilai masyarakat berbeda atau “aneh”, abnormal atau yang biasa disebut dengan Pathologis. Eksklusi sosial merupakan suatu proses yang menghalangi individu atau kelompk untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi dan plotik didalam masyarakat secara utuh.
    Suatu hal yang dinggap tidak sama dengan kebanyakan orang yang didaam masyarakat baik itu secara individu dan secara komunal (kelompok). Menurut saya eksklusi sosial hampir sama dengan konsep marjinalitas yang menganggap individu atau kelompok yang dianggap berkelas rendah dan berbeda dengan kebanyakan orang dan dipinggirkan. Marjinalisasi juga biasa diartikan sebagai suatu proses peminggiran akibat kemiskinan, perbedaaan, perbedaan jenis kelamin, gender dan lain-lain.
    Banyak indikator-indikator yang dijadikan sebagai acuan dari eksklusi sosial tersebut seperti :
Kemiskinan
Tidak memiliki dukungan (daya dukung)
Tidak memiliki jaringan sosial
Akses terhadap elayanan
Efek dari lingkungan sosiak atau lingkungan setempat
Gender
Keterbatasan fisik, mental dll.
Keterbatasan pengetahuan dan pendidikan
Keterbatasan kemampuan
Hal- hal yang dianggap tidak memenuhi standar yang berlaku dalam masyarakat dan lain-lain.

Menurut Amartya Sen eksklusi sosial secara konseptual memiliki keterkaitan dengan kemiskinan dan deprivasi karakteristik dari kemiskinan adalah keterbatasan penghasilan. Bila menurut Durkheim eksklusi sosial akan dapat mengancam solidaritas sosial karena akan membeda-bedakan golongan atau kelompok dalam masyarakat sehingga akan dapat menimbulkan konflik sosial yang dapat menghambat integrasi sosial dan solodaritas sosial tersebut.

Dalam eksklusi sosial ada suatu yang dianggap berbeda dan dianggap luar kewajaran yang dibuat sebagai standart masyarakat yang membedakan antara suatu hal yang normal dengan hal yang abnormal (pathologis). Hal-hal yang dianggap mainstream atau yang dilakukan dalam masyarakat merupakan hal yang normal menurut masyarakat. Sedangkan ha-hal yang bersifat anti-mainstream seperti hal-hal yang dianggap aneh atau tidak dilakukan sebagian besar masyarakat disebut dengan pathologis.

Saya ambil contoh tentang warga pendatang asal Madura yang seringkali saya temui lebih banyak bergerak di sektor perdagangan. Biasanya bila pembeli berasal dari daerah yang sama akan diperlakukan secara berbeda dengan yang tidak berasal dari daerah yang sama meskipun itu adalah orang asli daerah tersebut. Bila kegiatan perdagangan yang dilakukan dari sama-sama daerah akan lebih mudah dan malah biasanya akan mendapat potongan-potongan harga atas dasar persamaan daerah asal tersebut. Berbeda bila ada pembeli yang bukan dari daerah yang sama ingin membeli akan sedikit lebih ribet atau sedikit dipersulit dan berbeda harga dengan pembeli dari daerah yang sama dengan penjualnya. Jadi menurut saya eksklusi sosial bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Juga tidak lepas dari akan persamaan dan perbedaan menurut masyarakat yang dijadikan standar masing-masing. Jadi sesuatu hal yang dianggap tidak sama dengan standarnya secara perlahan akan terpinggirkan dan mengalami eksklusi sosial. Benar kata Emile Durkheim yang menyebutkan bahwan eksklusi sosial akan mengancam solidaritas sosial, intergrasi sosial.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Review Film “Bermula dari A”

Dalam film yang berjudul “Bermula dari A” ada banyak bagian-bagian atau scene-scene yang terdapat suatu fenomena social dan gejala social yang patut kita bahas dan analisis. Hal yang paling banyak ditonjolkan dalam film ini adalah tentang keterbatasan secara fisik/ disabilitas antara pasangan muda-mudi yang memperjuangkan kelangsungan hubungan mereka. Dalam konsep yang dikatakan oleh Mike Oliver yaitu tubuh yang berdeda akan menjadi obyek dalam kehidupan masyarakat sehingga keterbatasan atau ketidaksamaan tubuh dalam film tersebut menjadi suatu obyek yang dinilai masyarakat menjadi suatu kelainan dan keterbatasan yang terkonstruksi dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
    Masyarakat menganggap mereka sebagai individu yang tidak sama dengan yang lain dan menstigma mereka tidak bias melakukan hal-hal yang biasa dilakukan manusia pada umumnya dalam kehidupan masyarakat.Padahal dalam kenyataannya mereka dapat melakukan kegiatan dan memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari tapi dengan cara yang berbeda dengan kebanyakan orang Oliver juga mengatakan bahwa mereka bias/mampu melakukan kegiatan/aktivitas mereka sehari-hari, namun lingkungan dan masyarakat yang membuat mereka tidak bias melakukan itu semua.
    Bila menurut Foucaltt tentang regime of truth dalam kasus ini adalah munculnya suatu tolak ukur atau standarisasi dari masyarakat tentang sesuatu yang dianggap normal dan abnormal (pathologis). Dengan adanya standarisasi dan tolak ukur tersebut hanya akan membatasi gerak social mereka karena mereka dianggap tidak bias memenuhi criteria tersebut sehingga tidak bisa menjadi diri mereka sendiri karena tergerus oleh standarisasi yang dibuat masyarakat tersebut, misalnya dalam masalah kepercayaan (agama) dan gender yang dapat membatasinya. Dalam ajaran agama selalu ditanamkan dogma-dogma, doktrin dan pelajaran tentang apa itu baik dan apa itu yang buruk begitu juga dengan apa yang benar dan tidak benar untuk dilakukan. Misalnya untuk menjadi seorang imam harus bisa melafalkan bacaan sholat dengan lantang dan harus seorang laki-laki, padahal dalam kasus ini seorang laki-lakinya adalah seorang tuna wicara dan tuna rungu sehingga tidak bisa menjadi seorang imam karena terbentur oleh tolak ukur/standarisasi tersebut. Apabila seorang wanita juga tidak bisa menjadi seorang imam walaupun mempunyai kapasitas yang sama dengan laki-laki dalam hal agama juga akan menghambat atau bahkan menurut saya dapat menjadi suatu stigmasisasi sehingga merasa dideskriditkan oleh masyarakat. Tapi pada akhirnya laki-laki tersebut dapat menjadi imam ketika sudah bisa melafalkan bacaan sholat tersebut yang menjadikan laki-laki itu harus memenuhi dan mengikuti apa yang dijadikan tolak ukur dan standarisasi yang ada dalam masyarakat.












yani fathur rohman



Nama: yani fathur rohman
NIM: 115120100111034

Review 1
Dalam prespektif durkheim ekslusi sosial di klaim dapat mengancam solidaritas sebab terdapat individu/kelompok di dalam masyarakat yang tidak di anggap keber’’ada’’annya bahkan di cap sebagai penyakit sosial. Dalam artian orang-orang yang di anggap beda baik karena keterbatasan ataupun sengaja bertindak sebagai bentuk perlawanan terhadap keteraturan yang ada di masyarakat yang di anggap mengekang dirinya. tindakan anomi dalam prespektif durkheim sangat erat kaitannya dengan ekslusi sosial karena setiap tindakan yang aneh dan tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada maka tindakan tersebut dikatagorikan sebagai tindakan anomi atau dalam istilah lain disebut ‘’Deviant’’. Sehingga individu/kelompok tersebut harus menerima konsekuensi/sanksi sosial dari masyarakat baik berupa pengasingan maupun sanksi sosial yang lain. kaitannya dengan kondisi masyarakat, durkheim juga melihat dari sisi normal dan pathologis dimana masyarakat yang sehat dapat dikenali karena akan menemukan kondisi serupa dalam masyarakat-masyarakat lain pada tahap-tahap yang serupa pula. Artinya, kondisi masyarakat yang sehat dapat diketahui melalui homogenitas keteraturan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Sehingga kontruksi bahwa masyarakat yang normal harus seperti ini, seperti itu dan sebagainya secara tidak langsung tertanam pada kelompok masyarakat.
            Meski dmikian bukan berarti konsep durkheim tanpa cela dalam melihat eklusi sosial, karena menurut saya pribadi orang-orang yang tereklusi dalam kelompok sosial bisa jadi mereka memiliki rasa kesamaan nasib dan membuat kelompok tandingan. Artinya, memang benar eklusi dapat mengancam solidaritas secara makro namun dengan munculnya kelompok baru atas dasar sama-sama terekslusinya justru solidaritas yang lebih tinggi akan timbul pada kelompok kecil tersebut jika dilihat secara mikro apalagi yang tereklusi dalam suatu masyarakat bejumlah besar. Misalnya, di amerika serikat berdasarkan berita vivanews  beberapa wanita melakukan aksi agar bebas telanjang dada di depan umum layaknya kaum pria. Hal seperti ini mungkin dalam kelompok masyarakat tempat tinggalnya di anggap tindakan anomie, namun karena mereka menemukan orang-orang yang memiliki peimikran yang sama pada akhirnya mereka semakin solid dan berani melakukan aksi di depan umum dengan telanjang dada.
Berikunya, Marx melihat ekslusi sosial dari sisi strukturnya dalam artian ia mencoba mengungkap terjadinya eklusi sosial dari struktur masyarakat bukan dari individu. hal ini tidak jauh dari gagasan besar marx mengenai struktur materi dimana pada hakikatnya semua permasakahan yang ada di masyarakat termasuk devian tidak lain dipengaruhi oleh struktur materi. Devian dilihat memiliki keterkaitan dengan pertentangan kelas karena setiap tindakan yang di lakukan oleh individu/kelompok merupakan suatu bentuk perjuangan kelas akibat kesenjangan struktur materi mereka. Kaum borjuis di sini di anggap yang menetukan siapa yang disebut ‘’devian’’ sebab mereka yang memiliki kepentingan untuk menyokong besarnya keuntungan perusahaan yang mereka miliki. Artinya kaum devian di sandangkan pada mereka yang tidak bisa atau tidak mau membantu kapitalis dalam hal pemaksimalan laba perusahaan. dalam hal ini ia membagi 2 kelompok yakni social junk dan social dynamite. Social junk merupakan kelompok yang gagal menyokong kehidupan kapitalis tapi mereka tidak membahayakan, sedangkan social dynamite merupakan kelompok yang bergejolak sehingga mereka perlu dikontrol lewat legal sistem. Namun perlu diketahui bahwa secara historis kapitalis selalu berhasil menangani hal ini sehingga tidak ada pemberontakan/revolusi hebat seperti yang diharapkan marx.
Sehingga bisa dikatakan misi besar marx dalam pemikirannya sendiri  yang mengaharapkan kesetaraan kelas hanyalah utopis belaka. Namun yang menjadi penting bukanlah melihat misi merx berhasil atau tidak tapi lebih melihat bagaimana suatu kerangka berfikir kritis dan konseptual juga dapat memetakan masalah yang ada dalam hal ini adalah kontrol terhadap ekslusi sosial. Karena masyarakat tidak mau di anggap devian oleh kaum borjuis yang memiliki dominasi besar dalam masyarakat maka mereka secara tidak langsung mentaati standar hidup yang di kontruksi oleh para kapitalis. Dalam konsepnya, marx juga berbicara mengenai infrastrukture dan suprastrukture dimana dalam melihat ekslusi sosial infrastrukture inilah yang mempengaruhi suprastrukture yang ada dalam masyrakat artinya peran kapitalis sangat besar dalam menentukan suprastrukture yang ada. Namun karena misi kapitalis adalah mencari keuntungan yang besar jadi tidak heran jika dalam hal suprastrukture juga dimodifikasi sedemikian rupa untuk mempermudah mereka dalam setiap pengambilan kebijakan.
Namun menurut saya ada satu hal yang membingungkan atau lebih mungkin, mereka yang didefinisikan devian menurut kapitalis adalah semu. mereka yang sebenarnya devian, itu menurut saya sebenarnya mau menjadi penyokong kehidupan kapitalis namun kapasitas lapangan kerja yang minim dan berbagai persyaratan yang mengaharuskan pekerja membuat mereka tidak mendapat tempat dalam hal ini, dan saya yakin sebenarnya setiap individu itu menginginkan pejerjaan meskipun buruh dalam tanda kutip jika hanya mendefinisikan ‘’devian’’ sebagai kaum yang tidak mampu menyokong kehidupan kaiptalis. Karena pada hakikatnya setiap individu dalam masyarakat kalau tidak mau bekerja pada borjuis ya mempekerjakan/mejadi borjuis sendiri. sehingga mohon ma’af karl marx, kesimpulan saya dalam melihat ekslusi sosial adalah marx belum mampu mendefinisikan siapa sosok devian secara lebih jelas dan konkrit

Nama: Yani fathur rohman
NIM: 115120100111034


Review 2
Dalam madzab strukturalis, individu memiliki atribut yang di anggapnya sebagai hal yang natural atau alamiah. Kehadiran ‘’yang lain’’ dari masyarakat merupakan wujud dari katagori juga atribut yang melekat pada individu yang di sebut sebagai identitas sosial. Wujud dari kehadiran ‘’yang lain’’ inilah pada akhirnya memunculkan stigma masyarakat pada individu atau masyarakat tertentu. Stigma  sendiri merupakan sebuah pandangan masyarakat terhadap individu/kelompok yang biasanya diikuti dengan pelabelan dan berdampak pada deskriminasi. Ketika bicara tentang stigma, maka pandangan kita akan selalu mengacu pada hal-hal negatif mengenai individu atau kelompok tertentu. namun yang perlu diketahui bahwa stigma adalah sebuah bentuk kontruksi dalam artian istilah ini sering digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu dan memang sengaja untuk menjatuhkan individu/kelompok. Dalam pandangan saya, stigma ini bisa menjadi satu strategi para elit masyarakat, orang-orang dominan ketika ia merasa terancam sehingga ia di stigmakan jelek agar orang tersebut tidak dipercaya masyarakat. Tidak berhenti sampai disitu, karena jika stigma tersebut memiliki power yang kuat maka akan berlanjut pada tahap berikutnya yang berupa tindakan deskriminasi.
            Terdapat tiga tipe stigma yakni yang pertama cacat fisik, stigma karakter individu yang buruk, dan stigma kesukuan atau agama dan lain sebagainya. stigma cacat fisik merupakan pemberian label pada individu/kelompok yang memiliki keterbatasan fisik sehingga dengan keterbatasan fisiknya tersebut ia di anggap tidak mampu untuk melakukakan hal-hal yang orang normal lakukan, pada akhirnya ia tidak mendapatkan fasilitas  dan kesempatan seperti yang orang normal dapatkan. Yang kedua stigma karakter individu yang buruk. Sebenarnya saya sendiri kurang setuju ketika ada tambahan ‘’ yang buruk’’, menurut saya lebih tepatnya stigma karakter individu. karena karakter individu sendiri merupakan sebuah pembeda antara individu satu dengan yang lain dan itu bersifat personal, namun        ‘’ yang buruk’’ ini merupakan sebuah kontruksi entah berupa moral ataupun etika yang seringkali memiliki batasan berbada antara satu dengan yang lain. misalnya batak dengan jawa tengah, kalau orang batak gaya bicaranya keras dan seakan-akan terkesan memarahi bagi orang jawa tengah karena masyarakat jawa tengah mengkontruksi bahwa sopan itu harus bersuara pelan, santun, senyum dsb.
Namun jika berbicara mengenai stigma karakter, maka menjadi suatu yang jelas dimana kita sudah tidak melihat baik buruk namun bicara bagaimana kita melebelkan individi/kelompok denag menjelek-jelekkan karakternya di depan orang lain tanpa menyebut kejelekannya tapi karakternya istilahnya melakukan oposisi biner. Dan yang terakhir stigma kesukuan/agama. Stigma atas dasar kesukuan/agama nampaknya sudah begitu jelas dimana kita menstigma individu/kelompok berdasarkan perbedaan suku atau agama. Sekali lagi ketika berbicara stigma, hal ini berhubungan erat dengan bagaimana power kita untuk mewacanakan ‘’yang lain’’ dalam konteks ini perbedaan suku/agama sebagai sesuatu yang seakan-akan salah dan harus di tiadakan hingga ‘’yang lain menjadi seperti kita’’ atau istilahnya ada istilah unsur homogenisasi. Sehingga tidak salah kalau stigma selalu tertuju pada hal-hal yang negatif dan cendrung berujung pada diskriminasi sehingga Stigma bagi saya merupakan bentuk dari keegoisan diri baik individu/kelompok dominan.
Begitu juga teori stigma menurut Goffman yang tercantum dalam poin-poin berikut: 1).stigma merupakan relasi bahasa 2) stigma adalah processor untuk mengkonfirmasi ketidakbiasaan orang lain 3) stigma memunculkan inferioritas 4) stigma menyalahkan atribut yang melekat (identitas) 5) berujung pada deskriminasi. Artinya adanya stigma pada masyarakat tertentu menandakan minimnya rasa toleransi yang dimiliki. Menurut saya bukanlah orang yang mendapat stigma yang harus ‘’berubah’’, namun mainset/pola pikir masyarakat yang harus ‘’di rubah”  sebab hal tersebut mencakup identitas diri dan itu sebagai suatu tanda kebebasan individu. artinya, ketika berbicara stigma kita harus mengetahui terlebih dahulu siapa yang men’stigma dan apa motif di balik stigma tersebut.
Untuk pembicaraan mengenai tubuh yang di ungkap oleh judith butler, mike oliver dan foucault bagi saya sudah cukup jelas dimana ketiganya memperbincangkan mengenai bagaimana tubuh menjadi alasan individu/kelompok terekslusi juga  hal tersebut tidak terlepas dari kontruksi masyarakat mengenai tubuh. Jika judith butler mengatasnamakan performa sebagai suatu hal yang penting dan individu dengan perfomanyalah yang mengkontruksi gender, maka faucault menggagas apa yang di sebutnya ‘’rezim of truth’’ sebagai rezim yang mengkontruksi masyarakat yang seakan-akan berhak menentukan segala kebenaran tentang tubuh yang pada akirnya menciptakan sebuah govermentality dimana sebuah pembedaan antara yang sehat dan yang sakit atau normal dan ab-nomal, yang pada akhirnya seperti yang diungkapkan mike oliver dimana perbedaan tubuh menjadi objek utama,  sehingga lingkungan yang di bentuk membuat individu/kelompok menjadi ‘’Dis’’. 


Nama: yani fathur rohman
NIM: 115120100111034

Review 3 film
Jika dilihat dari sudut pandang agama, maka dapat dilihat bahwa kontruksi agama mengenai imam sholat harusnya suami yang menjadi imam. Namun karena keterbatasan sang suami yang merupakan tuna wicara sehingga tidak bisa melafalkan allahuakbar secara lantun maka istrinya yang menjadi imam karena ia tunanetra dan masih bisa berbicara normal. Dari film tersebut, dapat dilihat betapa kuat kontruksi agama di lingkungan mereka sehingga orangtuanya sempat mempermasalahkan kondisi tersebut yang pada akhirnya sang istri terus mengajarkan lafadh allahu akbar kepada suaminya agar bisa menjadi imam sholat. Tidak hanya demikian, ketika berbicara kontruksi nampaknya ada kaum-kaum yang dirugikan terutama perempuan. Sehingga orang tuanya juga protes karena harusnya ia mendapatkan suami yang bisa menjadi imam ketika sholat, dan imam dalam keluarga termasuk  mampu menafkahi istrinya yang tidak bekerja.
Yang menarik adalah ketika mereka menikahi sama-sama penyandang difable. Hal tersebut menurut saya bukannya tanpa sebab, tapi karena mereka terekslusi secara sosial dimana masyarakat menganggapnya sebagai objek yang berbeda sehingga kita bisa melihat mereka berdua tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan terpaksa saling menikahi berdasarkan asas ‘’kesamaan’’ sama-sama penyandang difable sebab ia juga akan beranggapan bahwa orang lain tidak akan bisa menerima ia sebagai suami/istri dikarenakan kontruksi dari regime of truth. Jika dilihat dari prespektif marxis mereka ini di sebut devian karena tidak mampu menyokong kehidupan para kapitalis, dalam artian mereka memiliki keterbatasan sehingga prusahaan milik kapitalis ogah untuk mempekerjakan kaum difable karena di anggap tidak mampu, padahal mampu hanya saja mungkin di bidang yang lain.
Seringkali masyarakat menilai seseorang dari tubuh yang menjadikannya sebagai objek perhatian untuk membedakan. Sehingga, dari sosok suami-istri tersebut seakan-akan mereka yang salah atas keterbatasan tubuhnya tanpa berlogika balik bahwa hal tersebut bisa terjadi karena justru masyarakat yang tidak mampu mendukung/tidak bisa beradaptasi dengan orang-orang seperti ini yang menjadikannya mereka sebagai objek yang beda dengan yang lain. Dengan istilah lain ‘’mereka menertawakan saya karena saya beda, saya pun bisa menertawakan mereka karena mereka sama’’. Namun karena adanya regime of truth mereka semakin di skat-skat untuk memperlancar misi orang-orang yang berkuasa atas sirkulasi kapitalis. Pada akhirnya mereka tetap menjadi orang-orang yang terekslusi karena tidak di imbangi dengan fasilitas yang layak untuk mereka, seperti pendidikan dan sebagainya. jika tidak maka kaum seperti difable akan semakin terekslusi.

respon paper individu (Ranni Synditha Kusuma Putri kelompok 4)


Ranni Synditha Kusuma Putri 11512010011103
Kesenjangan dan Eksklusi Sosial
Dalam film ini benar menunjukan adanya bahwa konstruksi yang pertama kali dilihat oleh individu lain adalah tubuh dan bagaimana tubuh itu dapat merefleksikan kepada orang lain. Akbar seorang tunawicara belajar mengeja namanya sendiri yang diajarkan oleh teman wanita yang juga seorang tunanetra. Pemaknaan yang dicari oleh seorang disabilitas adalah menyamakan nilai dan norma yang berlaku di tatanan di masyarakat. Kedua penyandang disabilitas ini saling membantu membagi ruang agar dapat diterima di lingkungan yang ‘normal’. Jika dikaitkan dengan pemahaman Judit butler, Akbar melatih agar bisa berbicara karena dirinya sendiri yang akan menentukan makna dari tubuh nya sendiri. maksudnya ketika dia berbicara menyebutkan namanya maka akan memberi pemaknaan pada dirinya mengenai identitas nya yang ternyata selama ini ia memiliki nama ‘Akbar’.
Selain memberikan identitas dalam dirinya, dalam latihannya agar bisa menyebut namanya disini terlihat adanya unsur pemaksaaan agar bisa diterima di masyarakat, agar merasa diterima di masyarakat karena temannya yang wanita juga terus membantu nya disamping dia juga mendapat tekanan dari ibu nya mengapa mengimami Akbar. Itu berarti jelas bahwa individu mengkontruksi gender, masih adanya anggapan bahwa imam itu harus laki-laki.

Ranni Synditha K. Putri 115120100111031
Respon Paper I Kesenjangan dan Ekslusi Sosial
1.      Social Eksklusi Amartya Sen
Sosial ekslusi pada saat itu terpandang pada hal yang mencakup pada bidang baik sosial maupun ekonomi. Siapa saja mereka yang termasuk ke dalam golongan eksklusi itu yaitu orang orang yang dianggap tidak bisa menyesuaikan diri di dalam lingkungannya misalnya: orang cacat. Dan apa saja yang dianggap termasuk sebagai tolak ukur untuk ekslusi sosial salah satunya adalah pekerjaan, dasar hukum, pendidikan dan juga pendapatan. Kemiskinan dianggap menjadi bagian eksklusi sosial karena anggapan tidak mampu mencukupi biaya kehidupan sehari-hari. perlu diperjelas yang tolak ukur seperti apa yang diukur bahwa seseorang itu dianggap miskin. Adanya eksklusi sosial ini menguhubungkan kepada kemampuan dan lingkungan sosial. bisa diambil contohnya adalah kemiskinan akan berdampak kepada kasus perampasan dan kelaparan. Karena terdesak akan kebutuhan pangan tak kuat menahan rasa lapar maka akan melakukan perampasan. Perampasan berasal dari penekanan diri agar memiliki makanan. Penekanan timbul dari rasa tidak puas dan tidak terima dan tidak merasa adil karena mendapati kondisi yang seperti itu (kemiskinan) inilah yang disebut dengan deprivasi.
2.      Durkheim, Norma dan juga Patologis
Durkheim adalah seseorang yang melihat kekacauan sosial ini dari perubahan sosial yang terjadi saat Revolusi Prancis hingga menyokong perubahan sosial yang lain nya. Hingga ia melihat adanya Patologis, menurutnya itu adalah masyarakat yang memiliki pola yang baik serta dalam kondisi yang sehat dimana kondisi sehat yang dimaksud adalah tidak melakukan perbuatan yang meyimpang, jika melakukan perbuaytan menyimpang maka akan dianggap wajar Patologis berbeda dengan deviance karena deviance adalah fenomena yang lebih mengutamakan keutamaan penyokongan bagi kaum kapitalis. Patologi terbagi ke dalam patologi sosial. ada beberapa patokan sehingga bisa menyebtuknya sebagai patologi sosial. di dalam patologi sosial itu terdapat. Patologi ini berasal dari pembagian kerja yang ada di masyarakat modern, karena pembagian kerja di masyarakat modern sangat kompleks, artinya banyak ketidakseragaman. Selain memberikan criteria pada masyarakat yang baik, dalam patologi sosial juga harus memiliki sebuah konsep yang adanya anggapan diterima di masyarakat. Jadi harus berperilaku normal di dalam tatanan masyarakat. Karena di dalam patologi sosial mengandalkan akan adanya keberlakuan sebuah norma. Sedangkan menurut Durkheim crime adalah sebuah tindakan yang wajar yang merupakan hasil dari refleksi nurani kolektif dari setiap individu.
Berbeda dengan Durkheim yang menganggap criem adalah sbeuah tindakan yang wajar, Marx berbicara mengenai Deviance.  Eviance adalah fenomena yang tidak terkontrol ketika hal terkontrol itu mempunyai hubungannya dengan kelas yang ada di masyarakat. Individu tidka dipandang dalam deviance meliankan strukturnya yang dipandang. Kelompok-kelompok deviance ini muncul karena mereka dianggap tak mampu memberikan penyokongan kepada kaum kapitalis, mereka dianggap tidak berguna bagi kaum kapitalis. Terkecuali jika kondisi tidak terkontrol itu terjadi di kaum kapitalis maka mereka menganggapnya sebgai hal yang  wajar.

Misalnya dianggap deviance ialah ketika seorang itu sebagai penjahat atau kaum punk atau kaum gay tetapi ketika kaum kapitalis melakukan korupsi maka dianggapa wajar oleh kaum kapitalis tersbeut karena dinggap mengangkat struktur mereka. Tetapi jika masyarakat melihatnya maka dianggap deviance karena dianggap tidak mampu berada di kalangan kaum kapitalis.




kesenjangan dan eksklusi sosial



Respon Paper Individu
(Hallanita Prabawati - 115120101111025 Kelompok 3) 
Masyarakat pada dasarnya adalah wujud dari kategori dan atribut yang sering melekat pada tiap-tiap individu yaitu identitas sosial. Yang dikatakan atribut oleh masyarakat merupakan secara natural atau alami, setiap rutinitas yang mempunyai hubungan dengan sosial selalu cenderung untuk mengatisipasi sebuah atribut itu sendiri. Stigma dapat memunculkan diskriminasi sehingga memicu streotep atau label, pelabelan ini bisa dikatakan yang ditujukan cenderung ke orang-orang yang mempunyai gangguan mental, penyakit ODHA atau yang lainnya. Dengan itu mereka diberikan pembedaan pada masyarakat atau diberi label yang berbeda dimata masyarakat. Identitas sosial itu tidak didefinisikan tetapi atribut yang dipakai oleh tiap individu juga diutarakan.
Bagi erving goffman identitas sosial itu dibagi menjadi dua yaitu: virtual sosial identity yang artinya realitas yang belum terbentuk dan cenderung menyalahkan atau menebak-menebak tidak ada buktinya sedangkan dengan actual social identity merupakan kategori atau atribut yang realitasnya terbukti/nyata. Dalam virtual dan actual ini mereka saling mempunyai kesenjangan atau stigma yang berlaku didalamnya dan saling berkaitan. Stigma itu sendiri merupakan sebuah proses yang dapat menimbulkan mendeskritditkan seseorang yang mereka anggap berbeda dengan masyarakat yang lain.
Menurut Goffman stigma itu sendiri merupakan relasi bahasa, wacana yang dapat memberikan kebenaran namun stigma itu sendiri dapat berbalik arah yang dalam stigma akan mengkonfirmasikan ketidakbiasaan orang lain. Stigma ini cenderung menyalahkan atribut yang sudah melekat didalam individu yang di anggap ketidaksempurnaan hingga memunculkan sikap rendah diri. Stigma yang dianggap oleh masyarakat antara lain yang mempunyai cacat fisik, karakter individu yang buruk, kesukuan/tribal/agama. Dari ketiga stigma tersebut orang-orang yang memiliki satu diantaranya akan muncul sikap rendah diri dan cenderung menyalahkan kondisinya karena mereka merasa terpojokan di masyarakat sekitar atau lingkungan sekitar.
Di dalam stigma ada label yang artinya label mereka mempunyai karakter individu yang cenderung diidentifikasikan dengan orang lain seperti halnya preman, ia sudah mendapat pelabelan preman maka bagi orang lain preman jahat dan lain sebagainya, diskriminasi merupakan perlakuan orang secara berbeda atas dasar alasan-alasan yang tidak relevan seperti guru berkulit putih dan murid yang berkulit putih sama kulit hitam namun guru tersebut lebih condong ke murid yang kulit putih karena mereka menganggap dia satu suku, prasangka ialah orang yang menilai kepada orang lain tanpa ada bukti yang nyata dan kekuatan yang tidak seimbang.
Setiap individu yang mempunyai stigma selalu ada sikap ketidaknyamanan, berusaha keluar dari identitas karena mereka merasa tidak nyaman dengan identitas itu sendiri atau dengan atribut yang melekat dalam dirinya, interaksi cemas atau bimbang, melakukan respon pertahanan yaitu dengan ekspresi langsung agar dianggap normal. Namun orang lain yang normal dalam melihat orang berstigma akan memunculkan rasa simpati, identifikasi diri dan berusaha menolak,patologi interaksi makna yang tidak sama atau dibedakan.