Nama:
yani fathur rohman
NIM:
115120100111034
Review 1
Dalam
prespektif durkheim ekslusi sosial di klaim dapat mengancam solidaritas sebab
terdapat individu/kelompok di dalam masyarakat yang tidak di anggap
keber’’ada’’annya bahkan di cap sebagai penyakit sosial. Dalam artian
orang-orang yang di anggap beda baik karena keterbatasan ataupun sengaja
bertindak sebagai bentuk perlawanan terhadap keteraturan yang ada di masyarakat
yang di anggap mengekang dirinya. tindakan anomi dalam prespektif durkheim
sangat erat kaitannya dengan ekslusi sosial karena setiap tindakan yang aneh
dan tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada maka tindakan tersebut
dikatagorikan sebagai tindakan anomi atau dalam istilah lain disebut
‘’Deviant’’. Sehingga individu/kelompok tersebut harus menerima
konsekuensi/sanksi sosial dari masyarakat baik berupa pengasingan maupun sanksi
sosial yang lain. kaitannya dengan kondisi masyarakat, durkheim juga melihat
dari sisi normal dan pathologis dimana masyarakat yang sehat dapat dikenali
karena akan menemukan kondisi serupa dalam masyarakat-masyarakat lain pada
tahap-tahap yang serupa pula. Artinya, kondisi masyarakat yang sehat dapat
diketahui melalui homogenitas keteraturan antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain. Sehingga kontruksi bahwa masyarakat yang normal harus
seperti ini, seperti itu dan sebagainya secara tidak langsung tertanam pada
kelompok masyarakat.
Meski dmikian bukan berarti konsep
durkheim tanpa cela dalam melihat eklusi sosial, karena menurut saya pribadi
orang-orang yang tereklusi dalam kelompok sosial bisa jadi mereka memiliki rasa
kesamaan nasib dan membuat kelompok tandingan. Artinya, memang benar eklusi
dapat mengancam solidaritas secara makro namun dengan munculnya kelompok baru
atas dasar sama-sama terekslusinya justru solidaritas yang lebih tinggi akan
timbul pada kelompok kecil tersebut jika dilihat secara mikro apalagi yang
tereklusi dalam suatu masyarakat bejumlah besar. Misalnya, di amerika serikat
berdasarkan berita vivanews beberapa
wanita melakukan aksi agar bebas telanjang dada di depan umum layaknya kaum
pria. Hal seperti ini mungkin dalam kelompok masyarakat tempat tinggalnya di
anggap tindakan anomie, namun karena mereka menemukan orang-orang yang memiliki
peimikran yang sama pada akhirnya mereka semakin solid dan berani melakukan
aksi di depan umum dengan telanjang dada.
Berikunya,
Marx melihat ekslusi sosial dari sisi strukturnya dalam artian ia mencoba
mengungkap terjadinya eklusi sosial dari struktur masyarakat bukan dari
individu. hal ini tidak jauh dari gagasan besar marx mengenai struktur materi
dimana pada hakikatnya semua permasakahan yang ada di masyarakat termasuk
devian tidak lain dipengaruhi oleh struktur materi. Devian dilihat memiliki
keterkaitan dengan pertentangan kelas karena setiap tindakan yang di lakukan
oleh individu/kelompok merupakan suatu bentuk perjuangan kelas akibat
kesenjangan struktur materi mereka. Kaum borjuis di sini di anggap yang
menetukan siapa yang disebut ‘’devian’’ sebab mereka yang memiliki kepentingan
untuk menyokong besarnya keuntungan perusahaan yang mereka miliki. Artinya kaum
devian di sandangkan pada mereka yang tidak bisa atau tidak mau membantu
kapitalis dalam hal pemaksimalan laba perusahaan. dalam hal ini ia membagi 2
kelompok yakni social junk dan social dynamite. Social junk merupakan kelompok
yang gagal menyokong kehidupan kapitalis tapi mereka tidak membahayakan,
sedangkan social dynamite merupakan kelompok yang bergejolak sehingga mereka
perlu dikontrol lewat legal sistem. Namun perlu diketahui bahwa secara historis
kapitalis selalu berhasil menangani hal ini sehingga tidak ada
pemberontakan/revolusi hebat seperti yang diharapkan marx.
Sehingga
bisa dikatakan misi besar marx dalam pemikirannya sendiri yang mengaharapkan kesetaraan kelas hanyalah
utopis belaka. Namun yang menjadi penting bukanlah melihat misi merx berhasil
atau tidak tapi lebih melihat bagaimana suatu kerangka berfikir kritis dan
konseptual juga dapat memetakan masalah yang ada dalam hal ini adalah kontrol
terhadap ekslusi sosial. Karena masyarakat tidak mau di anggap devian oleh kaum
borjuis yang memiliki dominasi besar dalam masyarakat maka mereka secara tidak
langsung mentaati standar hidup yang di kontruksi oleh para kapitalis. Dalam
konsepnya, marx juga berbicara mengenai infrastrukture dan suprastrukture
dimana dalam melihat ekslusi sosial infrastrukture inilah yang mempengaruhi
suprastrukture yang ada dalam masyrakat artinya peran kapitalis sangat besar
dalam menentukan suprastrukture yang ada. Namun karena misi kapitalis adalah
mencari keuntungan yang besar jadi tidak heran jika dalam hal suprastrukture
juga dimodifikasi sedemikian rupa untuk mempermudah mereka dalam setiap
pengambilan kebijakan.
Namun
menurut saya ada satu hal yang membingungkan atau lebih mungkin, mereka yang
didefinisikan devian menurut kapitalis adalah semu. mereka yang sebenarnya
devian, itu menurut saya sebenarnya mau menjadi penyokong kehidupan kapitalis
namun kapasitas lapangan kerja yang minim dan berbagai persyaratan yang
mengaharuskan pekerja membuat mereka tidak mendapat tempat dalam hal ini, dan
saya yakin sebenarnya setiap individu itu menginginkan pejerjaan meskipun buruh
dalam tanda kutip jika hanya mendefinisikan ‘’devian’’ sebagai kaum yang tidak
mampu menyokong kehidupan kaiptalis. Karena pada hakikatnya setiap individu
dalam masyarakat kalau tidak mau bekerja pada borjuis ya mempekerjakan/mejadi
borjuis sendiri. sehingga mohon ma’af karl marx, kesimpulan saya dalam melihat
ekslusi sosial adalah marx belum mampu mendefinisikan siapa sosok devian secara
lebih jelas dan konkrit
Nama:
Yani fathur rohman
NIM:
115120100111034
Review 2
Dalam
madzab strukturalis, individu memiliki atribut yang di anggapnya sebagai hal
yang natural atau alamiah. Kehadiran ‘’yang lain’’ dari masyarakat merupakan
wujud dari katagori juga atribut yang melekat pada individu yang di sebut
sebagai identitas sosial. Wujud dari kehadiran ‘’yang lain’’ inilah pada
akhirnya memunculkan stigma masyarakat pada individu atau masyarakat tertentu.
Stigma sendiri merupakan sebuah
pandangan masyarakat terhadap individu/kelompok yang biasanya diikuti dengan
pelabelan dan berdampak pada deskriminasi. Ketika bicara tentang stigma, maka
pandangan kita akan selalu mengacu pada hal-hal negatif mengenai individu atau
kelompok tertentu. namun yang perlu diketahui bahwa stigma adalah sebuah bentuk
kontruksi dalam artian istilah ini sering digunakan untuk
kepentingan-kepentingan tertentu dan memang sengaja untuk menjatuhkan
individu/kelompok. Dalam pandangan saya, stigma ini bisa menjadi satu strategi
para elit masyarakat, orang-orang dominan ketika ia merasa terancam sehingga ia
di stigmakan jelek agar orang tersebut tidak dipercaya masyarakat. Tidak
berhenti sampai disitu, karena jika stigma tersebut memiliki power yang kuat
maka akan berlanjut pada tahap berikutnya yang berupa tindakan deskriminasi.
Terdapat tiga tipe stigma yakni yang
pertama cacat fisik, stigma karakter individu yang buruk, dan stigma kesukuan
atau agama dan lain sebagainya. stigma cacat fisik merupakan pemberian label
pada individu/kelompok yang memiliki keterbatasan fisik sehingga dengan
keterbatasan fisiknya tersebut ia di anggap tidak mampu untuk melakukakan
hal-hal yang orang normal lakukan, pada akhirnya ia tidak mendapatkan
fasilitas dan kesempatan seperti yang
orang normal dapatkan. Yang kedua stigma karakter individu yang buruk.
Sebenarnya saya sendiri kurang setuju ketika ada tambahan ‘’ yang buruk’’,
menurut saya lebih tepatnya stigma karakter individu. karena karakter individu
sendiri merupakan sebuah pembeda antara individu satu dengan yang lain dan itu
bersifat personal, namun ‘’ yang
buruk’’ ini merupakan sebuah kontruksi entah berupa moral ataupun etika yang
seringkali memiliki batasan berbada antara satu dengan yang lain. misalnya
batak dengan jawa tengah, kalau orang batak gaya bicaranya keras dan
seakan-akan terkesan memarahi bagi orang jawa tengah karena masyarakat jawa
tengah mengkontruksi bahwa sopan itu harus bersuara pelan, santun, senyum dsb.
Namun
jika berbicara mengenai stigma karakter, maka menjadi suatu yang jelas dimana
kita sudah tidak melihat baik buruk namun bicara bagaimana kita melebelkan
individi/kelompok denag menjelek-jelekkan karakternya di depan orang lain tanpa
menyebut kejelekannya tapi karakternya istilahnya melakukan oposisi biner. Dan yang terakhir stigma
kesukuan/agama. Stigma atas dasar kesukuan/agama nampaknya sudah begitu jelas
dimana kita menstigma individu/kelompok berdasarkan perbedaan suku atau agama.
Sekali lagi ketika berbicara stigma, hal ini berhubungan erat dengan bagaimana
power kita untuk mewacanakan ‘’yang lain’’ dalam konteks ini perbedaan
suku/agama sebagai sesuatu yang seakan-akan salah dan harus di tiadakan hingga
‘’yang lain menjadi seperti kita’’ atau istilahnya ada istilah unsur
homogenisasi. Sehingga tidak salah kalau stigma selalu tertuju pada hal-hal
yang negatif dan cendrung berujung pada diskriminasi sehingga Stigma bagi saya
merupakan bentuk dari keegoisan diri baik individu/kelompok dominan.
Begitu
juga teori stigma menurut Goffman yang tercantum dalam poin-poin berikut:
1).stigma merupakan relasi bahasa 2) stigma adalah processor untuk
mengkonfirmasi ketidakbiasaan orang lain 3) stigma memunculkan inferioritas 4)
stigma menyalahkan atribut yang melekat (identitas) 5) berujung pada
deskriminasi. Artinya adanya stigma pada masyarakat tertentu menandakan
minimnya rasa toleransi yang dimiliki. Menurut saya bukanlah orang yang
mendapat stigma yang harus ‘’berubah’’, namun mainset/pola pikir masyarakat yang
harus ‘’di rubah” sebab hal tersebut
mencakup identitas diri dan itu sebagai suatu tanda kebebasan individu.
artinya, ketika berbicara stigma kita harus mengetahui terlebih dahulu siapa
yang men’stigma dan apa motif di balik stigma tersebut.
Untuk
pembicaraan mengenai tubuh yang di ungkap oleh judith butler, mike oliver dan
foucault bagi saya sudah cukup jelas dimana ketiganya memperbincangkan mengenai
bagaimana tubuh menjadi alasan individu/kelompok terekslusi juga hal tersebut tidak terlepas dari kontruksi
masyarakat mengenai tubuh. Jika judith butler mengatasnamakan performa sebagai
suatu hal yang penting dan individu dengan perfomanyalah yang mengkontruksi
gender, maka faucault menggagas apa yang di sebutnya ‘’rezim of truth’’ sebagai
rezim yang mengkontruksi masyarakat yang seakan-akan berhak menentukan segala
kebenaran tentang tubuh yang pada akirnya menciptakan sebuah govermentality
dimana sebuah pembedaan antara yang sehat dan yang sakit atau normal dan
ab-nomal, yang pada akhirnya seperti yang diungkapkan mike oliver dimana
perbedaan tubuh menjadi objek utama,
sehingga lingkungan yang di bentuk membuat individu/kelompok menjadi
‘’Dis’’.
Nama:
yani fathur rohman
NIM:
115120100111034
Review 3 film
Jika
dilihat dari sudut pandang agama, maka dapat dilihat bahwa kontruksi agama
mengenai imam sholat harusnya suami yang menjadi imam. Namun karena
keterbatasan sang suami yang merupakan tuna wicara sehingga tidak bisa
melafalkan allahuakbar secara lantun maka istrinya yang menjadi imam karena ia
tunanetra dan masih bisa berbicara normal. Dari film tersebut, dapat dilihat
betapa kuat kontruksi agama di lingkungan mereka sehingga orangtuanya sempat
mempermasalahkan kondisi tersebut yang pada akhirnya sang istri terus
mengajarkan lafadh allahu akbar kepada suaminya agar bisa menjadi imam sholat.
Tidak hanya demikian, ketika berbicara kontruksi nampaknya ada kaum-kaum yang
dirugikan terutama perempuan. Sehingga orang tuanya juga protes karena harusnya
ia mendapatkan suami yang bisa menjadi imam ketika sholat, dan imam dalam
keluarga termasuk mampu menafkahi
istrinya yang tidak bekerja.
Yang
menarik adalah ketika mereka menikahi sama-sama penyandang difable. Hal
tersebut menurut saya bukannya tanpa sebab, tapi karena mereka terekslusi
secara sosial dimana masyarakat menganggapnya sebagai objek yang berbeda
sehingga kita bisa melihat mereka berdua tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang
layak dan terpaksa saling menikahi berdasarkan asas ‘’kesamaan’’ sama-sama
penyandang difable sebab ia juga akan beranggapan bahwa orang lain tidak akan
bisa menerima ia sebagai suami/istri dikarenakan kontruksi dari regime of truth. Jika dilihat dari
prespektif marxis mereka ini di sebut devian karena tidak mampu menyokong
kehidupan para kapitalis, dalam artian mereka memiliki keterbatasan sehingga
prusahaan milik kapitalis ogah untuk mempekerjakan kaum difable karena di
anggap tidak mampu, padahal mampu hanya saja mungkin di bidang yang lain.
Seringkali
masyarakat menilai seseorang dari tubuh yang menjadikannya sebagai objek
perhatian untuk membedakan. Sehingga, dari sosok suami-istri tersebut
seakan-akan mereka yang salah atas keterbatasan tubuhnya tanpa berlogika balik
bahwa hal tersebut bisa terjadi karena justru masyarakat yang tidak mampu
mendukung/tidak bisa beradaptasi dengan orang-orang seperti ini yang
menjadikannya mereka sebagai objek yang beda dengan yang lain. Dengan istilah
lain ‘’mereka menertawakan saya karena saya beda, saya pun bisa menertawakan
mereka karena mereka sama’’. Namun karena adanya regime of truth mereka semakin
di skat-skat untuk memperlancar misi orang-orang yang berkuasa atas sirkulasi
kapitalis. Pada akhirnya mereka tetap menjadi orang-orang yang terekslusi
karena tidak di imbangi dengan fasilitas yang layak untuk mereka, seperti
pendidikan dan sebagainya. jika tidak maka kaum seperti difable akan semakin
terekslusi.